Â
DI Singapura, hadirnya pihak ketiga dalam hal ini penyedia jasa layanan taksi online sudah diendus oleh pemerintah. Bukan tidak mungkin akan memunculkan konflik seperti di Prancis atau Indonesia. Siapa yang paling bertanggungjawab dalam kelolaan hal ini?
Pemerintah Singapura menunjuk Kementerian Transportasi. Menteri Transportasi  melakukan diskusi dengan parlemen sebelum itu. Di Singapura, orotitas transportasi darat dikendalikan oleh LTA (Land Transport Authority). Saat ini setidaknya ada lima aplikasi taxi on-line di negeri jiran ini.
Apa boleh buat Jakarta Selasa, 22 Maret 2016 dikuasai sopir taksi, sebagai buntut dari ketidakpuasan pada hadirnya apliksi taksi (taksi online). Â Persaingan yang menggusur penghasilan para sopir itu membuat suhu memanas. Walaupun harus disesali pula, bahwa aksi unjuk rasa itu diwarnai oleh perusakan dan tindakan brutal sejumlah sopir taksi.
Lain halnya dengan Singapura, LTA meletakkan lima regulasi dasar untuk mengatur hadirnya taxi online. Cukup dengan perangkat satu ini, Singapura sudah mengantisipasi agar tidak terjadi kekacauan. Tidak perlu melibatkan kementerian Komunikasi dan Informatika. ÂDi Singapura, berikut ini lima regulasi dasar yang diberlakukan oleh LTA;
Â#1. Aplikasi hanya bisa digunakan untuk sopir dan taksi yang terdaftar.
Aturan ini tegas, karena LTA tidak akan membiarkan sopir biasa (atau yang tidak memiliki lisensi taksi online) memperoleh penumpang. Karenanya perlu dibuat persyaratan yang jelas untuk kualifikasi sopir taksi online. Termasuk peraturan yang terang jika sopir kehilangan lisensi atau berhenti menjadi sopir. Dengan aturan ini diharapkan sopir taksi biasa punya kesejajaran dengan sopir taksi online.
#2. Â Harus ada perlindungan akan tarif bagi penumpang.
Semua informasi tarif, surcharge dan fee harus diketahui oleh penumpang sebelum naik. Sehingga tidak akan ada lagi tawar-menawar tarif.
#3. Penyedia aplikasi harus membuat layanan bagi pelanggan.
LTA mengharapkan layanan untuk pelanggan yang optimal. Hal ini dibuat agar jika terdapat keluhan, maka penumpang bisa segera melaporkan. Juga bagaimana pihak penyedia aplikasi memberikan respon cepat kepada pelanggan. Jika taksi pesanan tidak muncul ketika dipesan, pelanggan bisa menyampaikan keluhan.
Pokok-pokok regulasi ini kemudian jadi acuan bagi pemerintah untuk membuat peraturan yang lebih tegas dan jelas. Termasuk soal kompetisi dan tarif. Bahkan denda bagi pelanggar pun telah ditetapkan. Misalnya bagi pelanggar bisa kena denda hingga 10 ribu dolar Singapura atau bui selama enam bulan. Â Pada akhirnya aturan ini berlaku bagi sopir taksi biasa maupun taksi on-line.Â
#4. Aplikasi harus terdaftar di LTA.
Semua perusahaan penyedia jasa taxi online wajib mendaftarkan diri ke LTA. Perusahaan yang lolos akan diberi lisensi yang belaku selama tiga tahun. LTA membuat kriteria untuk taxi online, misalnya secara fisik harus kelihatan, termasuk kantornya, sehingga jika terjadi masalah LTA mudah melakukan tindakan. Selain itu juga musti jelas jenis layanan yang disediakan, termasuk jangkauan operasinya.
#5. Aplikasi mengharuskan penumpang menentukan tujuan mereka sebelum proses booking.
Banyak sopir taksi di Singapura suka memilih mana yang nyaman dan sebaliknya. Aturan baru di mana pada aplikasi telah terisi tujuan perjalanan penumpang, akan membuat sopir taksi mau tidak mau melakukan perubahan. Jika tidak mau mengangkut, LTA bisa menindak.
Perbedaan Tarif
Dengan skema tarif yang berada di bawah rata-rata batas bawah tarif taksi reguler, Uber dan Grab jelas unggul. Ambil contoh untuk perjalanan sejauh 10 kilometer, dengan taksi reguler minimal Anda harus membayar sebesar Rp 47.500,-
Sementara dengan Uber (UberX yang merupakan taksi online kelas biasa), Anda cukup mengeluarkan kocek sebesar Rp 23.000,-. Grab menawarkan tarif sedikit lebih mahal ketimbang UberX. Untuk simulasi tadi (10 km), konsumen membayar Rp 37.500,-
Sebenarnya antara Grab dengan taksi reguler terpaut hanya Rp 10.000,- saja. Alias tidak signifikan untuk jarak sedang. Kecuali UberX yang dengan tarif taksi reguler bisa untuk perjalanan pulang-pergi.
Itu baru soal tarif. Grab dan Uber memiliki keunggulan lantaran bisa dipantau keberadaannya melalui aplikasi mobile. Dengan kata lain, ketika Anda sedang berada di kantor, lalu hendak pergi keluar, cukup pesan lewat aplikasi selanjutnya taksi menghampiri. Bagi sebagian orang cara seperti ini tidak saja memudahkan, namun juga lebih hemat waktu.
Jadi kendatipun umpamanya perusahaan aplikasi seperti Uber dan Grab mengikuti aturan dan persyaratan yang ditentukan oleh Departemen Perhubungan, bukan tidak mungkin soal persaingan tarif lalu mengemuka. Butuh sikap tegas mengatur industri teknologi informasi yang layanannya bersentuhan dengan sektor lain. (*)
Â
sumber: chip, kompas
Â