Under Nun Korea

19 Apr 2016 17:35 4423 Hits 0 Comments
Perjuangan seorang wanita yang merindukan kekasihnya

Seluas langit membentang, sejauh mata memandang hanya awan hitamlah yang dapat kupandang dari jendela kamarku. Angin sepoi membelai wajahku dengan lembut, dengan senang kubuka jendela kamar lebar-lebar, aku berharap angin segera datang kembali dan membawaku terbang ke atas awan supaya aku bisa melihat semua tempat kenanganku bersama kekasihku. Tapi angin sudah kalah cepat dengan hujan, gemercik air mulai turun ke bumi dan membasahi kota kembang yang banyak membendung kenangan yang sulit kulupakan. Aku tahu maksud hujan mengalahkan angin, ia ingin aku segera melupakan kekasihku ia juga akan menghapus semua kenanganku. Tapi hujan, maafkanlan aku, aku tak akan mengikuti keinginanmu, kamu boleh menghapusnya di luar sana tapi kau tak akan bisa menghapusnya dari dalam hatiku. Tiba-tiba lagu Everytime yang dinyanyikan oleh Chen dan Punch terdengar dari ponselku tanda ada seseorang yang menghubungiku, dengan berat aku menghampiri ponselku yang sudah aku campakan beberapa jam di atas kasur. Sebelum kujawab, aku memandangi layar ponselku dengan sejuta tanya, sebuah no baru yang kode nomornya bukan kode negara Indonesia, dan entah kenapa setelah melihat kode nomor itu hatiku meresa senang dan tak sabar ingin segera mendengar suara seseorang yang ada di balik sana

“Hallo, apa kabarmu sayang? Aku merindukanmu, maafkan aku yang sudah hampir satu bulan baru bisa menghubungimu. Sayang, aku sungguh merindukanmu. Sepulang kerja, hampir setiap hari aku menangis ingin bertemu denganmu. Sayang, apakah kamu bisa mendengarku? Apakah kamu baik-baik saja? Aku tahu kamu marah padaku, aku tahu kamu kecewa dengan keputusanku, maafkan aku sayang. Tolong! Maafkanlah aku, aku hanya ingin mendengar suaramu sebagai obat rinduku padamu, izinkanlah aku mendengar suaramu walaupun hanya satu kali.”

“Dion,, aku tahu kamu merindukanku, aku tahu kamu mencintai dan menyayangiku,  aku tahu itu dion, kamu tak akan bisa melupakanku dengan mudahnya begitupun aku. Tapi kamu sudah meninggalkanku di sini, di Bandung. Bersama kenangan kita. Aku ingin marah padamu Dion, tapi aku tak bisa. Dion, apakah kamu tahu, terkadang aku berpikir aku akan menyusulmu ke Korea dan hidup bersama denganmu di sana. Sayangnya tekadku tidak terlalu kuat untuk menyusulmu ke sana, ayah dan ibuku pasti akan melarangku, dan mereka akan kecewa dengan keputusanku. Dion, cepatlah kembali,  hanya itu yang kuminta. Aku ingin kamu segera pulang.”

“Sayang, maafkan aku, aku tak bisa mengabulkan keinginanmu. Aku tak akan bisa pulang secepat itu ke Bandung. Butuh waktu lima tahun untuk kembali ke Bandung setelah pekerjaanku selesai. Sayang, kesinilah. Temani aku.”

Setelah kepergian Dion ke Korea, aku terlalu mencampakkan ponselku, hingga ponselku mati dan percakapanku dengan Dion akhirnya terputus.

Malam harinya Yuna membereskan semua baju yang akan ia bawa ke Korea. Tekadnya sudah cukup kuat untuk menemui Dion. Ia akan berusaha untuk mendapatkan izin dari orangtuanya untuk pergi ke Korea. Setelah selesai packing, Yuna memberanikan diri menghampiri ayah dan ibu untuk mendapatkan izin. Ternyata ayah dan ibunya sudah mempercayai Dion sebagai kekasih yang baik bagi Yuna dan ia diizinkan pergi ke Korea.

Pagi hari sekitar pukul 06.00 Yuna sudah selesai mempersiapkan segalanya dan ia akan segera pergi ke Bandara karena keberangkatan pesawat yang ditumpangi Yuna pukul 07.10. Hatinya sangat gembira karena sudah tak sabar ia akan segera menemui kekasihnya, hal itu tidak bisa Yuna tutupi dari ayah dan ibunya.

Sesampainya di Bandara Korea, Yuna kebingungan ia tak tahu harus pergi ke mana karena ia tak tahu tempat tinggal Dion.

Ya ampun... bodoh sekali aku ini. Kenapa tadi malam aku tidak menghubungi  Dion bahwa aku akan pergi ke sini. Dion, kamu dimana? Aku takut. Tak ada seorangpun yang kukenal di sini. Bahasa inggrisku juga tidak mahir dan aku tidak paham bahasa Korea bagaimana aku bisa menemuimu Dion.

Semilir angin mulai merasuk urat nadiku. Perlahan, menyapaku dan akhirnya memeluku dengan erat. Dingin. Begitulah rasanya. Sepertinya korea akan segera turun salju. Bibirku mulai memutih, wajahku mulai pucat. Aku tak kuasa menahan kiriman dingin dari angin korea, tapi kakiku sepertinya lebih kuat menerimanya ia tak pernah berhenti melangkah untuk mencari kekasihku. Aku membiarkannya hingga ia merasa lelah tapi, semakin ia melangkah, dingin semakin memeluku dan menyelimutiku. Tanganku sudah seputih mayat, bayanganku mulai kabur. Aku ingin berhenti dan duduk sebentar, rasanya kaki ini terlalu egois ia tak mendengarkanku hingga akhirnya aku terjatuh dan aku tak kuasa untuk berdiri kembali. Aku hanya bisa melihat seorang laki-laki berlari menghampiriku dan bibirku mampu mengucapkan “Dion, aku kedinginan”.

Langit Korea mulai menjingga, terlihat indah dan sangat memesona. Angin menyapa pepohonan membuat ranting pohon menari-nari. Angin belum bisa merubah suhunya, ia masih tetap dingin. Salju memang belum turun, tapi dinginnya sudah mulai menyelimuti Korea. Kali ini, dinginnya tak bisa dirasakan oleh Yuna. Karena ia sedang terbaring di sebuah kamar apartemen yang ditempati Dion. Yuna memang belum mengetahuinya karena ia belum sadar dari tidurnya. Sedangkan Dion tak pernah lelah menemani Yuna, ia tetap setia menunggu Yuna sadar. Tiga jam sudah berlalu, dengan perlahan Yuna berusaha membuka matanya yang ditakdirkan sipit hingga ia tak bisa melihat jelas kekasihnya yang tertidur di sampingnya.

“Aku ada di mana? Aku ingin pulang. Aku tak kenal tempat ini. Kamu siapa? Heii kamu siapa?” ucap Yuna sambil menusuk-nusuk Dion menggunakan jari tangannya

Dion bangkit dari tidurnya sambil melihat ke arah Yuna yang ternyata sudah sadar.

“Dion... kamu Dion kan? Atau kamu hanyalah salah satu dari tujuh orang yang mirip dengan Dion?”

Dion hanya memandang Yuna, tanpa berkata apa-apa.

“Heii, jawab! Kamu Dion atau bukan?”

“Kamu ini, baru saja siuman, sudah kuat marah-marah ya?”. Ledek Dion. “Aku kekasihmu, aku Dion sayang. Aku tadi melihat seseorang berjalan sambil seloyongan hingga terjatuh, aku pikir itu orang yang sedang mabuk, setelah aku menghampirinya ternyata itu kamu. Hanya saja ketika aku memanggil namamu kamu tak sadarkan diri dan tubuhmu sangat dingin. Jadi aku memutuskan membawamu ke sini supaya kamu merasa hangat.”

“Ah.. sayang... kamu benar-benar nyawaku. Kira-kira nasibku akan seperti apa jika aku tidak bertemu denganmu. Ahh sayang. aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu.”

Purnama sepertinya akan segera datang, ia meminta mentari segera pergi, langit menjadi gelap ulahnya. Aku tak menyalahkan purnama karena gelap, tentunya karena sinarnya tak terlalu kuat memberi penerangan di waktu gelap. Purnama, tenanglah aku tak akan marah padamu. Malam ini ada yang membuat langit lebih gelap, awan, karenanya aku tak bisa memandangmu, awan menghalangi keberadaanmu. Tapi kebahagiaan tetap dirasakan olehku dengan memandang kekasih sejuta rindu. Dion Trisna Wahyu. Bahagia yang dirasakan sungguh tak bisa diungkapkan dengan satu kalimat yang mudah diselesaikan. Ini cerita pertamaku.

Dion melirik Yuna bersama dengan senyum yang diukir di kedua belah bibirnya. Tangannya sungguh erat, sedikitpun tak pernah melepaskan genggamannya dari tangan Yuna. Mereka terlihat bahagia, meski suhu dingin tetap setia hadir dalam cerita. Dionpun membalikan badan Yuna, sehingga mereka menjadi berhadapan.

“Sayang, apa yang kamu lakukan?”

“Yuna, aku mencintaimu. Aku yakin kamu pasti mengetahuinya. Yuna, aku tak bisa selalu jauh darimu. Kamu tidak tahu betapa bahagianya aku melihatmu berada di sini. Di Korea bersamaku. Aku ingin kamu selamanya di sini, melewati berbagai rintangan kehidupan bersamaku. Menjalani hari-hari baru bersamaku. Berjanjilah padaku untuk setia menemaniku. Tinggalah di sini dan pulanglah ke Bandung bersamaku.”

“Tapi sayang... “

Yuna belum selesai bicara tapi Dion dengan sigap memotongnya.

“Yuna, menikahlah denganku. Aku tahu ini terlalu cepat. Tapi aku tak bisa meninggalkanmu di Bandung, sedangkan aku harus bekerja di sini untuk beberapa tahun tanpa melihatmu. Aku tersiksa dengan keadaan seperti ini.” Dion menatap Yuna penuh harap. Matanya terlihat memohon kepada Yuna.

Yuna memandang Dion dengan pandangan tajam. Bibirnya mulai merekah mengukir sebuah senyuman. Ia pun mengangguk.

Dion pun akhirnya ikut tersenyum. Ia sangat bahagia. Tangannya melingkar memeluk Yuna, sedang Yuna memasukan tangannya ke dalam saku jaketnya. Nun pertama mulai turun. Ia akan menjadi saksi cinta mereka di Korea bersama angin malam dan orang yang berlalu-lalang.

Tags Celoteh

About The Author

Karomah 20
Novice

Karomah

Seorang mahasiswa S1 jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel