Beberapa hari terakhir di bulan Desember, mentari sungguh tak terlihat. Langit sepertinya sengaja menyuruh awan menutupi keberadaannya dari penglihatanku. Bahkan, tak henti-hentinya ia menangisi kota kelahiranku. Kota kembang yang membendung sejuta kenangan. Gerimis sudah turun sejak pagi, tapi ia tak pernah membesar dan enggan berhenti. Keadaannya tetap seperti itu, hingga waktu terus berganti. Aku tak paham dengan kedatangannya. Tapi, aku berusaha menikmatinya dengan senang hati.
Hari ini bukan ulang tahun kotaku. Tapi, keramaian ibukota jawa barat tak kunjung berhenti. Kedatangan tangisan langit tak menyudahi semangat mereka menikmati weekend kali ini. Yang ada, waktu berganti orang-orang lebih banyak menghampiri dan menempati setiap titik yang belum terisi.
Kotaku sudah banyak berubah. Tak seperti dulu kala aku kecil. Tempat dimana aku berdiri, dulu adalah rumah sahabatku sebelum memutuskan pergi ke Semarang ikut bersama kedua orangtuanya. Sedang aku harus tetap tinggal di Bandung. Seberang rumahnya merupakan sebuah taman, tempat aku bermain bersama sahabatku. Robi. Ia bukan hanya sahabat kecilku, tapi dia bagian dari saudaraku yang aku anggap sebagai kakakku. Dua tahun sudah. Ia tak pernah kembali ke sini. Padahal aku sering berharap dia kembali walau sekedar menemuiku hanya satu hari. Waktu terus saja berjalan dan berganti. Entah berapa lama ia meninggalkanku di sini. Hingga aku bersama keluargaku pindah ke Denpasar ibukota Bali.
Kamu masih ada di situ. Tetap dengan posisimu. Tak pernah berubah bahkan tak pernah pergi. Bajumu masih tetap sama. Tak pernah diganti dengan baju yang kau miliki. Saat ini aku kembali. Tapi kamu tak ada di sini. Aku hanya ditemani oleh secarik foto kita yang sudah mulai lusuh. Kamu. Mengapa kamu pergi? Mengapa kamu malah pergi sesuka hati dan meninggalkan luka besar yang tak bisa sembuh walaupun sudah berkali-kali ku obati. Mengapa? Mengapa?
“Kamu akan tetap menjadi kamu. Seperti Bandung yang akan selalu dihiasi rasa rinduku kepadamu. Aku akan tetap menjadi aku. Tak akan berubah jika waktu tak mendesaku. Kita akan menjadi kita. Apabila hujan terus mengalirkan perasaan yang sama dan berusaha mempertemukan kita. Aku akan kembali. Tunggulah. Tak lama hanya sebentar. Kamu tak boleh meninggalkan tempat ini. Kamu pergi, semua ikut pergi. Percayalah. Waktu tak mungkin ingkar janji.â€
Aku ingat perkataan itu, sebuah perkataan terakhir yang kamu ucapkan di tengah derasnya hujan Desember kala itu. Aku senantiasa menahannya. Basah dan dingin bukan masalah bagiku. Kepergianmu luka mendalam bagiku. Kamu pergi aku pun pergi. Kamu benar. Aku pergi semua ikut pergi. Bahkan kenangan kita ikut mati karena sudah terganti dengan gedung-gedung tinggi.
Kamu masih saja diam. Tak menyahut setiap perkataanku. Kamu juga ternyata sudah ikut berubah. Aku tahu. Karena kamu sudah lama melupakanku. Mungkin kamu juga tak akan pernah mengingatku. Tak apa. Semua terserahmu. Aku memang rindu kepadamu. Tapi, apa boleh buat. Kamu tak memiliki perasaan yang sama sepertiku.
“Tidak. Aku tidak seperti itu. Aku selalu kembali. Bahkan aku tinggal di sini. Sendiri. Tak ada yang menemani. Sungguh sepi, tapi aku tak mau kembali pergi. Kamu benar. Kenangan kita sudah mati. Dibunuh waktu. Kamu mengapa pergi? Untungnya hujan selalu mengalirkan perasaan yang sama. Hingga akhirnya kita dipertemukan di tempat yang sama pula. Kamu tak boleh pergi. Kita bangun kembali kenangan kita. Di sini.â€
Suaranya membuatku kaget. Terlebih wajahnya yang tak bisa aku lupakan dari ingatanku. Masih sama. Hanya lebih tinggi dan sedikit berisi.
“Kamu? Benarkah itu? Sejak kapan kamu berada di sampingku?†Aku sedikit tak percaya dengan semua kejadian ini. Sungguh. Ini seperti cerita yang dibuat-buat.
“Kamu tak perlu tahu kapan tepatnya aku berada di sini. Kamu benar-benar tak percaya? Atau kamu berharap aku pergi?â€
“Tidak. Cukup satu kali kamu pergi. Tak ada bagian yang perlu diulang untuk menambah goresan yang mengiris hati. Cukuplah.â€
“Mari kita mulai bangun kenangan kita. Semua sudah tak ada yang bersisa. Mereka pergi. Kamu tahu itu. Bahkan, getuk yang selalu kita makan di senja hari? Di bawah pohon rindang sambil menikmati kepergian lembayung senja? Sekarang penjualnya telah tiada. Itu makanan favorite kita.â€
“Getuk? Getuk yang terbuat dari singkong itu? aku sudah lama tak memakannya. Aku merindukannya juga. Tapi apakah masih ada getuk getuk lain yang rasanya sama seperti itu?â€
“Kamu melupakan makanan itu? Kamu tak boleh melupakannya. Itu makanan favorite kita. Selain itu, getuk adalah makanan tradisional yang banyak dilupakan. Meski banyak dijual tapi rasanya berbeda dengan dulu. Aku akan tetap mempertahankan makanan itu. Kamu tahu orang pertama yang membuat getuk? Kamu juga tak boleh melupakannyaâ€
“Aku tidak melupakannya. Hanya saja aku sudah lama tak mencicipi makanan itu. Tapi, aku tak tahu siapa orang pertama yang membuatnya.â€
“Tenang saja, kamu tak perlu khawatir. Aku bisa membuatnya. Ibuku pernah mengajariku membuat getuk, kala kita kecil. Masalah orang pertama yang membuat getuk, hemm... aku sendiri tidak mengetahuinya.â€
Diam-diam langit mulai bersinar. Awan memperbolehkan mentari melihat hiruk pikuk kota Bandung. Gerimis masih tetap hadir dengan keadaannya seperti pagi. Tapi aku merasa bahagia, menikmati senja bersama getuk yang dibuat Robi.
“Ini getuk makanan favorite kita. Ini tak boleh hilang. Harus tetap ada dengan rasa yang sama.†Ujar Robi sembari memasukan getuk ke dalam mulutnya. Aku terseyum melihatnya.
“Iya kamu benar. Aku tak mau makanan ini hilang. Harus dipertahankan. Sama seperti kamu.†Timpal Ray dengan senyuman yang tersungging di kedua bibirnya.
Robi hanya mengangguk sambil menatapku dengan tersenyum.
Langit mulai senja. Warna favorite langit kembali hadir di sana. Aku tak mau ketinggalan menikmati lembayung senja kali ini. Meskipun bukan di bawah pohon rindang, tapi setidaknya getuk tetap setia hadir diantara kita. Meski hanya getuk, aku menikmatinya.