Poligami adalah isu yang hingga kini masih pembahasan sensitif untuk dibicarakan. Perdebatan demi perdebatan atas nama ‘adil’ masih menjadi pembahasan yang tak lekang di makan waktu. Dan ketika poligami kemudian diangkat ke layar lebar, saya pun penasaran. Penasaran saya awalnya bermula dari buku Asma Nadia berjudul ‘Surga yang Tak dirindukan’. Usai membaca buku itu, saya geram dengan Prasetyo (tokoh utama pria) yang memutuskan berbagi cinta. Saya kesal dengan Arini (tokoh perempuan) yang cenderung lemah dan tak mampu berbuat banyak untuk memperjuangkan cinta. Dan saya sangat kecewa dengan Mei yang tega merebut hati pria yang telah menikah. Membaca film Asma, membuat saya benar-benar marah. Apalagi saat tahu Pras meninggalkan Arin demi Mei, perempuan yang baru dikenalnya.
Kekesalan saya menjadi rasa penasaran saat buku tersebut diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama. Apakah Prasetyo tega mengkhianati pernikahan? Apakah Arin akan merebut cintanya kembali? Bagaimana sikap Mei setelah tahu pria yang ia cintai telah menikah?. Pertanyaan demi pertanyaan membuat saya semakin ingin menonton film ‘Surga Yang Tak Dirindukan’ yang disutradarai Kuntz Agus.
Saat launching film pada Juli 2015. Saya menonton di bioskop terdekat. Di bioskop itupula saya tonton film Asma sebelumnya yakni ‘Assalamu Alaikum, Beijing’. Lagi-lagi, saya menonton film Asma Nadia karena terpicut dengan buku dengan judul yang sama. Saat Hari Film Nasional, saya ditanya film Indonesia apa yang berkesan, saya menjawab ‘Surga yang Tak Dirindukan’.
Awal cerita film ‘Surga Yang Tak Dirindukan’ bermula saat pertemuan tak sengaja antara Prasetya (Fedi Nuril) dengan Arini (Laudya Cynthia Bella). Arini, panggilan Citra Arini awalnya adalah pengajar yang kerap menceritakan dongeng untuk anak-anak yang tinggal di Jogjakarta. Sedangkan Pras, panggilan Prasetya, adalah mahasiswa yang datang ke Jogjakarta bersama kedua sahabatnya. Cinta pandangan pertama yang kemudian membawa keduanya duduk di pelaminan.
Pernikahan Arini dan Prasetya kemudian menjadi pernikahan bahagia. Pernikahan yang menjadi contoh pernikahan ideal oleh sahabat Arin, Nadia (Sandrina Michelle) yang bermasalah dengan suaminya. “Kamu enak. Suamimu setia dan sayang padamu. Sedangkan aku?,†kata Nadia kepada Arin. Arin mencoba menguatkan sahabatnya. Namun ia bersyukur, suaminya memang setia.
Namun kesetiaan dalam pernikahan terkadang mengalami godaan yang tak pernah diduga. Seperti Pras yang tak sengaja bertemu Meirose (Raline Shah), perempuan depresi yang mengalami masa kecil yang kelam. Pertemuan tak terduga itu terjadi saat Mei kecelakaan dan ditolong oleh Pras. Namun teryata Mei dalam keadaan hamil sebelum pernikahan itu terjadi. Kecelakaan yang dialami Mei karena Mei berusaha untuk bunuh diri karena depresi dengan kehidupannya. Saat Pras tahu Mei memiliki masa lalu yang kelam, seperti ibunya yang bunuh diri di depan Pras, Pras merasa perlu dan wajib menyelamatkan hidup Mei.
Pras tak ingin nasib anak Mei, akan bernasib sama dengannya. Ia tak ingin sejarah pahit itu berulang dan menyisahkan kenangan pahit yang buruk. Maka saat tahu Mei akan bunuh diri untuk kedua kali, Pras menawarkan sesuatu yang tak diduga. “Aku akan menikahimu, Mei. Demi Allah, aku akan menikahimu,†kata Pras sambil memegang tangan Mei yang mencoba bunuh diri dengan lompat dari atas rumah sakit.
Pernikahan Pras dengan Mei pun terjadi di kamar rumah sakit, tempat Mei di rawat. Ia menyayangi anak Mei, anak yang dinamai Akbar Muhammad, layaknya menyayangi anaknya sendiri. Pras kemudian melakukan kebohongan demi kebohongan kepada Arin, perempuan yang selalu setia kepadanya. “Kapan kamu akan katakan kepada Arin tentang keadaan kita?,†kata Mei. Bagi Pras, ia akan mengatakan kepada Arin pada waktu yang tepat.
Arin kemudian menyadari ada yang ganjil saat ia menemukan kwitansi pembayaran atas nama Akbar Muhammad di kantong celana Pras. Ia kemudian menyelidiki dan kemudian menyadari, kesetiaannya dikhianati. Suaminya, yang dulu dibangga-banggakan, teryata tak setia. Suaminya telah menikah, lagi!.
Film ini menyajikan secara ‘utuh’ latar belakang sikap para tokoh. Ini terlihat dari beberapakali adegan flashblack masa lalu Mei dan Pras, sehingga penonton menjadi tahu mengapa tokoh melakukan tindakan seperti itu. Mei misalnya diceritakan mengalami depresi karena ditinggal calon suami sedangkan ia hamil. Depresi yang dialami Mei juga dikarenakan ia tumbuh dengan ibunya yang kerapkali membawa laki-laki ke rumah. Bapaknya pergi meninggalkan Mei saat Mei berulangtahun ke 12. Sedangkan ibunya memilih bunuh diri.
Fedi Nuril tampil seperti biasa. Tanpa ekspresi dan terkesan terlalu datar. Tak ada perubahan ekspresi yang terlalu menonjol yang ditampilkan Fedi. Sedangkan Zaskia Adya Mecca yang juga hadir sebagai sahabat Arin, muncul sebagai sahabat yang amat sangat minim berbicara. Padahal, kehadirannya dalam film ini termasuk sering.
Saya terpesona dengan suasana kota Jogjakarta yang seolah membuat saya (sebentar) melupakan Jakarta yang sesak. Pemandangan sawah yang disajikan membawa ketenangan. Â Â
Poligami dalam Film
Isu poligami menjadi benang merah yang dihadirkan dalam film ini. Film ini menunjukkan bahwa memilih poligami adalah mampu bersikap adil. Perdebatan tentang poligami ditunjukkan melalui diskusi bernuansa islami pada percakapan antara Amran (Kemal Pahlevi) dengan Hartono (Tanta Ginting).
Saya terkesan dengan debat kedua sahabat yang mampu menunjukkan pro dan kontra poligami di masyarakat. Pro dan kontra itu ditunjukkan melalui percakapan yang berisi tafsir dalam Ayat Al Quran di surat An-Nisa. Pro kontra yang tersaji itu kemudian diakhir dengan pengucapan ayat Al Quran di surat An-Nisa ayat 129 “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (An Nisa ayat 129).
Film ini menunjukkan kegelisahan (walau nggak terlalu gelisah banget) seorang suami yang memilih untuk poligami. Kegelisahan itu ditunjukkan melalui dialog antara ia dan istrinya tentang setia. Namun kegelisahan itu tidak sebanding dengan sakit hati seorang istri yang dikhianati. Laudya Cinta Bella mampu tampil dengan baik saat ia menunjukkan sakit hati atas pengkhianatan suaminya. Saya melihat perubahan pola sikap Laudya yang awalnya menjadi istri yang menurut dan bahagia dengan suami, kemudian menjelma menjadi istri yang marah atas sikap suaminya. Laudya menampilkan perempuan berani yang (bahkan) datang ke rumah perempuan yang dinikahi suaminya. Saya yang menganggap poligami kerap merugikan perempuan dan anak-anak, merasa terwakili dengan sikap Laudya.
Namun sayangnya, sikap berani itu mendadak kendor setelah mendengar wejangan-wejangan ibunda yang teryata juga dipoligami. Bagi saya, perubahan sikap itu terlalu cepat. Terlalu mudah untuk berkompromi dengan hati yang melanggar pernikahan, kemudian memilih menerima poligami.
Sikap yang kemudian dipilih oleh para tokoh, menunjukkan sikap yang mungkin masih terjadi di masyarakat. Berkompromi atas berbagai alasan. Kompromi menerima poligami demi keluarga atau kompromi atas nama agama?. Hidup memang pilihan. Termasuk memilih untuk poligami atau tidak. Â Â Â Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
http://www.plimbi.com/event/menulis-film/
Â
""
Â
Â