IBM CEO Study 2012: Perubahan Budaya Etos Kerja dengan Jaringan Sosial
Hasil penelitian terhadap CEO (Chief Executive Officer) yang dilakukan IBM 2012, sangat mencengangkan. Kini, para di kawasan ASEAN tengah melakukan perubahan budaya etos kerja perusahaan yang lebih menekankan keterbukaan, transparansi dan pemberdayaan karyawan.
Hasil penelitian terhadap CEO (Chief Executive Officer) yang dilakukan IBM 2012, sangat mencengangkan. Kini, para di kawasan ASEAN tengah melakukan perubahan budaya etos kerja perusahaan yang lebih menekankan keterbukaan, transparansi dan pemberdayaan karyawan.
Penelitian lebih dari 1.700 CEO dari 64 negara dan 18 industri menunjukkan, adanya tren perusahaan yang dikelola secara modern dan terbuka, mengalami perkembangan sangat cepat. Bahkan mampu mengungguli sekitar 30 persen dibandingkan perusahaan yang dikelola secara konvensional dan tradisional.
Apalagi perusahaan modern dan terbuka itu, ditunjang dengan pemanfaatan serta penggunaan media sosial sebagai pendorong utama kolaborasi dan inovasi. Sehingga, sangat mempengaruhi etos kerja karyawan dan kinerja perusahaan kian mengalami perkembangan yang signifikan.
Selain itu, para CEO kini mengadopsi model kerja yang baru dengan memanfaatkan *collective intelligence* yang dimiliki perusahaan dan jaringannya. Sehingga, dapat memunculkan ide dan solusi baru untuk meningkatkan profitabilitas maupun pertumbuhan.
Juga, untuk mempererat hubungan dengan pelanggan, mitra dan karyawan generasi baru, para CEO berhasil menggeser perhatian mereka dari email dan telepon sebagai sarana komunikasi ke jaringan sosial sebagai cara baru menjalin hubungan langsung.
Sekarang ini, hanya 16 persen CEO yang menggunakan platform social business untuk berhubungan dengan pelanggan secara individual. Namun, angka ini diperkirakan akan mengalami grafik lonjakan menjadi 57 persen dalam waktu tiga hingga lima tahun mendatang.
Tren ini semakin kentara di kawasan ASEAN, dimana penggunaan jaringan sosial diramalkan akan meningkat menjadi 68 persen dari 25 persen. Hal ini terjadi, seiring dengan rencana para CEO di kawasan ASEAN untuk beranjak dari cara-cara konvensional ke media sosial sambil tetap menjalin hubungan tatap muka.
Setelah berpuluh-puluh tahun bekerja dengan kendali top-down, pergeseran ini memiliki ramifikasi yang cukup substansial. Bukan hanya bagi para CEO saja, tapi juga dirasakan bagi perusahaan, termasuk para manajer dan karyawan. Juga perguruan tinggi, sekolah tinggi bisnis dan para pemasok teknologi informasi.
"Jadi hasil penelitian IBM 2012 membuktikan, ternyata teknologi informasi sudah dipandang sebagai sarana yang dahsyat untuk merestrukturisasi perusahaan," papar Shyam R Mamidi, Consulting Services Leader, Global Business Services, IBM ASEAN dalam keterangannya di Jakarta, kemarin.
Shyam melanjutkan lebih dari setengah CEO (Global: 53 persen, ASEAN: 53 persen) berencana menggunakan teknologi informasi untuk memfasilitasi kemitraan dan kolaborasi, yang lebih luas dengan pihak eksternal. Bahkan, 52 persen (ASEAN: 47 persen) menggeser perhatian mereka untuk mempromosikan kolaborasi internal yang baik.
Para CEO menyadari saat ini pengendalian yang ketat, tidak dapat mendorong inovasi dan performa keuangan. Bahkan, para pemimpin perusahaan membuktikan bagaimana [jaringan](http://www.plimbi.com/article/5291/teknologi-jaringan-wireless "Mengenal Teknologi Jaringan Wireless WiGig (Wireless Gigabit), 10 Kali Lebih Cepat Dibanding WiFi") sosial yang dinamis dapat digunakan sebagai landasan yang kuat untuk berkolaborasi dengan baik, tandasnya.
Namun demikian, tambah Shyam, keterbukaan juga mengandung resiko sekaligus menimbulkan kerentanan. Internet, terutama melalui jaringan sosial dapat mewujudkan berbagai jenis interaksi karyawan, baik positif maupun negatif.
"Agar perusahaan dapat beroperasi dengan baik di lingkungan ini, karyawan harus mengikuti prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk memperbaiki proses pengambilan keputusan," sarannya.
Shyam juga mengungkapkan lebih banyak CEO di kawasan ASEAN, dibandingkan tingkat global, yang menganggap kecakapan antar-pribadi dalam berkolaborasi (Global: 75 persen, ASEAN: 87 persen) dan kreativitas (Global: 61 persen, ASEAN: 72 persen) sebagai pendorong utama untuk mendorong karyawan meraih sukses saat bekerja di lingkungan yang rumit dan terinterkoneksi.
"Karena mereka ingin mewujudkan keterbukaan yang lebih luas. Para CEO cari karyawan yang mau kerja dalam lingkungan seperti ini. Para CEO juga inginkan karyawan mampu memperbaharui diri dan harus merasa nyaman jika terjadi perubahan,†sambung Widita P Sardjono, Country Manager, Global Business Services, IBM [Indonesia](http://www.plimbi.com/article/4752/perkembangan-teknologi-di-indonesia "Perkembangan Teknologi di Indonesia: Internet & Mobile (part-1) ").
Karena itu, lanjut Widita, guna membangun tenaga kerja generasi mendatang, perusahaan harus secara aktif merekrut dan mempekerjakan orang-orang yang dapat bekerja optimal dalam lingkungan berbasis tim yang terbuka.
Pemimpin perusahaan juga harus membangun dan memupuk berbagai praktek, yang mendukung karyawan untuk meraih sukses, seperti merangsang pengembangan tim-tim yang tidak konvensional, mempromosikan teknik-teknik pembelajaran dari pengalaman dan mendukung penggunaan jaringan karyawan bernilai tinggi, usulnya.
Menurutnya, tren mewujudkan kolaborasi yang lebih luas, juga merambah keluar perusahaan melalui hubungan kemitraan eksternal. Kemitraan kini sedang mengalami masa jaya. Lebih dari dua per tiga CEO Global (69 persen) yang diwawancarai IBM berencana menjalin kemitraan secara ekstensif.
Sejak penelitian IBM CEO Study dimulai, teknologi informasi semakin penting di mata CEO. Saat ini, 71 persen CEO Global menganggap teknologi informasi sebagai faktor utama yang mempengaruhi masa depan perusahaan mereka dalam waktu tiga tahun mendatang.
Melihat ledakan data yang dihadapi sebagian besar perusahaan, para CEO juga menyadari mereka membutuhkan *business analytics* yang lebih canggih untuk menggali data yang dilacak secara online, di ponsel dan situs [media sosial](http://www.plimbi.com/regulation/2198/regulasi-pengawasan-media-sosial-oleh-pemerintah "Regulasi Pengawasan Media Sosial Oleh Pemerintah").
"Tujuh dari sepuluh CEO (Global: 73 persen, ASEAN: 73 persen) meningkatkan investasi mereka guna mengembangkan kemampuan perusahaan untuk meraih wawasan pelanggan yang berharga dari data yang ada," jelas Widita.
Sementara para CEO ASEAN sepakat teknologi informasi (68 persen) adalah faktor penting yang mempengaruhi perusahaan mereka, mereka menganggap kecakapan manusia (87 persen, Global: 69 persen) sebagai faktor terpenting, diikuti oleh faktor pasar (74 persen, Global: 68 persen).
"Kecakapan manusia semakin mendapat tempat di negara-negara ASEAN karena kawasan ini mengalami perkembangan pengalaman sebagai akibat dari kekurangan SDM yang cakap. Perang memperebutkan talenta semakin sengit jika kita lihat bagaimana para pemimpin perusahaan di kawasan ini (ASEAN: 72 persen, Global: 71 persen) juga menganggap SDM sebagai faktor terpenting untuk mempertahankan nilai ekonomi perusahaan mereka," katanya. [*endy]
About The Author
999
Administrator
Plimbi Editor
Plimbi Chief Editor
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel