Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia dikagetkan dengan rencana pemerintah akan mengimpor beras lagi. Jumlahnya pun tidak terbilang sedikit karena mencapai ratusan ton, padahal beberapa bulan lagi menjelang panen raya.Â
Tak ayal, hal ini membuat seluruh petani di Indonesia ketar-ketir. Berbagai kekhawatiran pun terus bermunculan... Apakah akan rugi lagi? Apakah beras kita akan habis terjual? Apakah ada yang membeli dengan harga yang pantas? Lalu, Bagaimana jika tidak ada uang untuk membeli bibit dan untuk makan keluarga dan sekolah anak-anak bagaimana?Â
Perihal itu yang selalu mengendap dalam benak dan pikiran para petani di Indonesia. Karena tiada tahun tanpa kemelut di catatan mereka. Tak hanya tenaga dan keringat yang terus mengalir di lahan mereka, tetapi harapan mereka pun tak ada habisnya dikuras.Â
Padahal yang mereka punya hanya kulit yang mulai menghitam karena terbakar sinar matahari, jari jemari yang perlahan mengkaku karena air, tanah, dan alat-alat bertani lainnya. Tak hanya itu, kaki-kaki yang tak peduli lagi beralas atau pun tidak, bahkan terkadang terluka oleh benda tajam, serta punggung dan pundak yang tidak dipedulikan lagi rasa sakitnya. Semua itu, hanya untuk melihat keluarga mereka tersenyum dan terlelap tanpa kelaparan, serta putra-putri yang mengenakan seragam. Pun, bagi mereka itu sudah cukup bagi mereka.Â
Miris realitanya, mengingat Indonesia merupakan salah satu negara agraria yang besar harus melihat pejuang pangan Indonesia harus berkehidupan seperti demikian. Bahkan, saat ini mayoritas dari petani tidak menginginkan putra-putrinya kembali bertani seperti mereka. Lebih baik memimilih mereka menjadi buruh pabrik.Â
Padahal, apabila penerus petani saja tidak ada, lalu bagaimana dengan kebutuhan pangan negara ini. Masih ada petani saja sudah banyak impor, bagaimana jika tidak? Haruskah terjajah lagi dengan istilah "impor"?Â
Hal demikianlah yang mendorong putera-puteri Indonesia berupaya memberikan kontribusi, melalui pendidikan dan teknologi yang melaju pesat. Salah satunya putra-puteri akademisi dari Universitas Gajah Mada dan UMG Idealab yang berupaya melahirkan sebuah sistem baru sebagai solusi untuk permasalahan-permasalahan sektor pertanian.Â
CEO UMG Idealab, Kiwi Aliwarga mengungkapkan, sistem baru yang dibentuk ini disebut RiTX. Sebuah aplikasi sektor pertanian yang akan membantu memecahkan masalah-masalah yang terjadi di sektor pertanian, khususnya permasalahan yang dihadapi oleh petani-petani.Â
"Kita percaya masalah itu ditimbulkan oleh manusia yang berpikir terpecah-pecah dan mendorong timbulnya berbagai masalah. Padahal, banyak hal yang harus dilakukan/dibenahi untuk mengurai dan menyelesaikan masalah-masalah itu," katanya.
RiTX yang sudah berjalan dua tahun ini,berkomitmen untuk memberikan solusi terpadu agar dapat meningkatkan taraf hidup petani. Solusi yang ditawarkan adalah ilmu pengetahuan pertanian yang benar. Salah satunya adalah, bagaimana cara mengurangi dan penggunaan yang lebih tepat dalam pemakaian air, pupuk, peptisida, tenaga dan alat-alat pertanian. Sehingga, dapat mendorong tingkatan hasil produksi dengan optimal.Â
Ia pun menjelaskan, aplikasi RiTX memfasilitasi untuk memudahkan para petani mendapatkan modal/investor untuk operasionalnya tanpa rasa khawatir terlibat hutang yang suku bungannya tinggi dan beresiko untuk petani. Bahkan, aplikasi ini memfasilitasi dana syariah yang menggunakan sistem bagi hasil.Â
Disamping, mewadahi para petani untuk menjual hasil pertaniannya ke industri atau pasar. Bahkan, diketahui pula jenis pertaniannya, lahan di mana, bibit, pupuk dan pestisida yang digunakan apa. Sehingga, para petani mendapatkan nilai tambah dari hasil pertaniannya.Â
"Kami bercita-cita dapat melihat kehidupan para petani Indonesia sejahtera, seperti petani di negara lainnya. Sehingga, mereka pun tak perlu khawatir lagi apa yang bisa mereka berikan untuk keluarganya makan ataupun apa bisa putera-puteri mereka berpendidikan, karena mereka telah mampu memberikan itu semua," harap Kiwi. Â