1

Candidacy Buying Sebabkan Wajah Demokrasi Acakadut dan Nihilnya Kepemimpinan Bersih

24 Nov 2017 20:53 2161 Hits 0 Comments

Candidacy Buying Sebabkan Wajah Demokrasi Acakadut dan Nihilnya Kepemimpinan Bersih

( Menyorot Proses Pilkada Jateng 2018 )

 

 

IniEraAcakadut (Jurnalisme Ayam Alas)

 

Di Tahun 2018 tepatnya dibulan Juni, KPU RI sudah menetapkan pagelaran Pilkada Serentak di seluruh Indonesia yang sedianya akan diikuti 171 daerah. Di Jawa Tengah sendiri pagelaran Pilkada Serentak 2018 bakal di selenggarakan di 8 daerah kab/kota dan propinsi. Diantaranya 7 pilkada Bupati/wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota, dan Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur.

 

Di Era Reformasi paska 1998, khususnya paska revisi UU No. 32 tahun 2004, dalam rutinitas 5 tahunan rakyat di suguhkan macam-macam pesta demokrasi, baik mulai dari tingkat Desa, Kabupaten, Kota, maupun tingkat Propinsi, padahal ini belum termasuk pesta pemilihan yang di selenggarakan oleh rakyat sendiri, seperti pemilihan RT, RW, dsb. Konon kabarnya sistem demokrasi melalui pemilihan langsung ini dalam rangka mewujudkan kedaulatan rakyat, “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” (kata Abraham Lincoln). Sehingga proses pemilihan langsung yang bertubi-tubi datang dan konon menghabiskan banyak biaya ini dianggap sesuatu yang lumrah dan wajar saja.

 

Di balik meriahnya pesta Demokrasi ini, dalam kamus politik, kita mengenal istilah “Candidacy Buying” atau dalam praktek perpolitikan kita disebutnya “Mahar Politik”, “duitokrasi”, “Membeli Nominasi (Rekomendasi)”, dsb inilah kenyataan proses demokrasi yang selama ini kita jumpai dan nyata terjadi. Proses kaderisasi partai politik yang sangat buruk dan gagal hingga mekanisme partai yang tidak bersih dan tidak transparan ini telah bertemu dengan ambisi pribadi mengejar kekuasaan membuat praktek-praktek politik yang menyimpang semakin tumbuh subur di era demokrasi elektoral.

 

Sadis memang jika kita mendengar soal “Candidacy Buying”. Dimana Dalam prakteknya seorang calon pemimpin ketika ingin mencalonkan diri dalam proses pilkada harus di awali dengan proses rekruitmen yang begitu jorok dan kotor.

 

Politik transaksional dengan cara membeli kendaraan politik (Partai Politik) menjadi sesuatu yang tak terhindarkan dan sudah menjadi rahasia umum, mekanisme pemilu/pilkada yang mengharuskan seorang calon harus diusung partai politik ataupun gabungan beberapa partai politik sesuai aturan ambang batas (threshold) membuat masing-masing calon harus melalui langkah awal yakni mengikuti proses rekrutmen di dalam partai politik yang jauh dari kaidah-kaidah prinsip berdemokrasi.

 

Penetapan rekomendasi calon lebih diprioritaskan berapa banyak sang calon mampu membayar rekomendasi Partai Politik, persis hampir mirip pasar, disana konon ada jual beli, tawar menawar, dsb. sementara soal popularitas di nomor duakan, toh di “era pencitraan” ini mereka pikir jauh lebih simple, dalam tiga bulan misalnya dengan kekuatan uang bayar media yang dimilikinya mereka mampu mencitrakan diri sangat pro wong cilik, terlihat sangat merakyat dan bersih, padahal apa yang dilakukannya tak lebih dari sesuatu yang absurd dan cenderung menipu.

 

Mekanisme lain yang di sediakan Undang-undang misalnya melalui “Calon Independen”  dengan aturan main yang sangat berat dan cenderung tidak masuk akal membuat si kandidat berpikir beribu-ribu kali ketika ingin memutuskan maju sebagai calon independen atau tanpa melalui rekomendasi partai poitik.

 

Dari banyak cerita umum yang berkembang, mereka sang kandidat harus membayar atau partai minta di beli bahkan sampai berjumlah ratusan miliar untuk mendapatkan kendaraan politik. Jumlah Ini tergantung daerah mana yang di perebutkan, konon kalau di Jawa Tengah saja jumlahnya sudah mencapai puluhan Miliar Rupiah.

 

Di era maraknya “candidacy Buying” ini, calon-calon pemimpin yang bersih, berintegritas dan berkomitmen tinggi terhadap keberpihakan rakyat, pemberantasan korupsi dan totalitas lainnya secara otomatis bakal tereliminasi dari proses rekruitmen kepartaian yang jorok dan kotor ini. Politik sebagai saluran rakyat untuk mendapatkan kesejahteraan bersama (bonum commune) menjadi mimpi belaka bagi rakyat. 

 

Proses “demokrasi prosedural” yang di puja-puja berujung pada wajah “demokrasi acakadut”, alias “demokrasi berantakan” akibat praktek “candidacy buying”. Tragisnya lagi rakyat tak ada pilihan calon pemimpin harapan mereka karena monopoli rekrutasi sang kandidat di dalam internal sistem partai yang berantakan tersebut.

 

Penguasa-penguasa yang dihasilkan di era “demokrasi acakadut” ini tentu jauh dari idealisme kepemimpinan, mereka akhirnya hanyut bak monster bagi rakyatnya, mereka tak lebih dari penguasa pragmatis yang hanya berfikir mengeruk uang sebanyak-banyaknya demi mengembalikan biaya “candidacy buying”.

 

Padahal selain dari biaya “candidacy buying” itu, sang kandidat juga masih harus membiayai operasional kampanye, atribut kampanye, hingga menggerakkan mesin partai politik dari awal sampai akhir. Tergadai sudah idealisme sang kandidat masuk seperti dalam kubangan lingkaran setan rekrutasi kandidat di dalam mekanisme partai politik, kekuasaan yang semestinya di peruntukkan untuk mensejahterakan rakyatnya selaku pemilik kedaulatan tertinggi harus digadaikan dengan realitas “mahalnya ongkos politik”. Tragisnya lagi, Ujung dari semua cerita itu adalah maraknya korupsi yang merajalela, jual beli kebijakan, jabatan, dsb.

 

John Perkins, seorang konsultan Ekonomi Amerika Serikat menyebut era demokrasi seperti ini  sebagai era “koorporatokrasi”, atau era kekuasaan yang hanya dimiliki pemilik uang (korporat). Proses demokrasi berantakan (acakadut) ini sejak dini terjadi, kepemimpinan Bersih yang menjadi harapan pemilik kedaulatan nihil belaka terkalahkan dengan kepemimpinan yang dihasilkan dari proses rekrutasi yang kotor dan jorok bak lingkaran setan tersebut. Pesimisme dalam sistem demokrasi seperti ini tak jarang membuat rakyat frustasi, hilang kepercayaan, hingga berujung terjadinya krisis multidimensi.

 

Di sisi lain, konsensus sistem politik yang di pilih dalam kita berbangsa dan bernegara adalah sistem “Demokrasi”, salah satu wujud nyata terbukanya demokrasi adalah dengan keberadaan partai politik. Richards Katz; “Modern democracy is party democracy”. Fakta ini menuntut pilar-pilar demokrasi tersebut untuk saling kontrol dan mengingatkan dalam berbagai godaan dan jebakan lingkaran tersebut.

 

Untuk itu partai-partai harus berbenah diri dengan memulai dari proses kaderisasi dan rekrutasi yang bersih dan Transparan, di satu sisi sang kandidat juga sebaliknya, mewujudkan kepemimpinannya dengan proses yang jujur dan transparan berdasar idealisme, integritas dan keberpihakan. sehingga harapan rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi tidak merasa terkhianati dan tertipu karena sosok pemimpin Bersih yang di inginkannya dapat terwujud, bukan sosok pemimpin yang dihasilkan dari proses jual beli mekanisme rekrutasi yang jorok dan kotor itu.

 

Salam Bersih Menuju Pilkada Jateng 2018

 

 

Tags

About The Author

Dewi Masitoh Andini 14
Novice

Dewi Masitoh Andini

Rakyat Biasa
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel