Bagi banyak orang, buku adalah jendela dunia. Bagi kami, penyandang rabun jauh, kacamata lah jendela kami untuk melihat dunia.
- saya dan adik, di Optik, 2016
Â
Sejak duduk di sekolah dasar hingga mengenyam bangku kuliah, Mama saya selalu mengeluhkan satu hal dari saya. “Sebelum tidur kacamata tuh dilepas dulu!â€. Kalimat klasik itu tidak terasa sudah menjadi bagian hidup saya selama lebih dari satu dasawarsa. Ya, selama itu pula saya bermata empat. Ketika di rumah, dulu, Mama lah yang dengan (berusaha) sabar mencopot kacamata ketika saya ketiduran karena main ponsel ataupun membaca buku. Mungkin beliau sangat berhak untuk kesal dengan kebiasaan jelek saya yang malas mencopot kacamata. Bahkan sudah sewajarnya Mama marah-marah karena selama sepuluh tahun ini sudah 5 kacamata yang gonta-gonti bertengger di wajah saya.
Ketika saya merantau dan tinggal sendiri, kebiasaan buruk saya semakin menjadi. Apalagi tidak ada lagi yang repot-repot mengingatkan untuk melepas kacamata dan menaruh di tempat yang aman sebelum pergi tidur. Rekor selama 4 tahun hidup jauh dari Mama, 2 kali saya ganti kacamata. Kebiasaan ala anak kos adalah mengerjakan semuanya di kasur. Well, apa hanya saya? Ganti kacamata itu salah satu hal yang paling saya benci di dunia. Pertama, harga frame yang biasanya terlihat normal-normal saja, dipatok dengan harga yang fantastis. Frame kacamata saya yang saat ini masih oke adalah Maru dan Mama sudah mengingatkan ini akan menjadi terakhir kalinya beliau membelikan saya kacamata dengan frame yang tidak murah. Bila Maru saya ini rusak, Mama sudah menegaskan, “Kono tukuo dhewe nggawe duitmu.†Sana, beli sendiri pakai uangmu. Kedua, lensa kacamata saya tidak pernah murah. Karena minus yang banyak dan sudah di atas 5, maka lensa kacamata saya harusnya tebal sekali. Lensa yang tebal tentu akan berat bila dipakai. Beruntung kita hidup di zaman di mana semuanya lebih mudah, asal ada uang. Biaya untuk menipiskan lensa dengan minus tinggi tidak murah, sayangnya. Belum lagi material lensa kacamata. Ono rego, ono rupo. Ada harga, ada kualitas. Lensa saya ini campuran kaca dan fiber, jadi untuk ukuran minus 6.5 cukup tipis. Ketiga, karena lensa yang minusnya banyak butuh penanganan yang lama, biasanya saya harus menunggu hingga beberapa hari sebelum kacamata saya jadi. Menunggu dalam penglihatan yang kabur bukanlah hal yang menyenangkan! Apalagi di sore hingga malam hari, pantaslah disebut rabun ayam! Tersiksa sekali. Jadi begitulah, saya sangat meng-eman-eman kacamata saya ini.
Demi menjaga kacamata saya ini (dari kerusakan, karena, kalian tahu, anak kos tidak punya banyak uang untuk sekedar membeli…kacamata baru!), saya terpikir untuk membuat glasses hanger atau gantungan kacamata di tembok. Mengapa di tembok? Mengapa tidak ditaruh saja di meja? Saya sudah pernah menaruh kacamata di meja belajar yang agak jauh dan bangun tidur kemudian harus berjalan merengkuh kacamata di tempat yang jauh bukanlah pengalaman yang menyenangkan. Kaki saya tersandung kabel. Mengapa tidak di meja di samping tempat tidur? Setiap pagi, alarm dari jam selalu berbunyi dan untuk mematikannya, tangan saya mau tidak mau menyikut apapun yang ada di meja samping. Kacamata saya sudah seringkali terjatuh. Alhasil, temboklah yang kemudian terpilih untuk menjadi space terbaik untuk glasses hanger ini. Pada dasarnya, membuat glasses hanger tidak membutuhkan waktu yang lama maupun bahan-bahan yang sulit. Hanya sedikit waktu luang dan kreativitas saja. Tutorial lebih lengkap bisa dilihat di channel Youtube saya: https://www.youtube.com/watch?v=yG5r9Q022gU. Saya yakin orang yang pertama-tama akan bangga dengan “bentuk karya seni inspiratif†ini adalah Mama saya, bukan karena bentuk gantungan yang penuh dengan comotan warna yang diwarnai dengan asal, tapi karena fungsinya! Setidaknya beliau agak lega, Maru (mungkin) akan bertahan lebih lama daripada ke empat kacamata yang sudah tak berguna di laci kamar saya.