Lebaran di kampung khilafah sebenarnya tak jauh berbeda dengan berlebaran di kampung kelahiran. Bedanya terletak kepada suasana, nuansa, dan aroma. Tentu bukan aroma kecap bango, ataupun kecap piring lombok yang ga bakalan ditemukan di bumi Syam ini. Meski sambel pedes indofood masih bisa ditemukan, meski harganya cukup mahal perbotolnya. Kecap disini diolah dari dua jenis buah-buahan. Yang pertama, adalah dari buah kurma yang menjadi sari kurma yang aromanya mirip meskipun tak sama dengan kecap kedelai Indonesia. Kedua, adalah dari buah anggur yang juga terfermentasi. Pilihan kedua, lebih mirip kepada rasa kecap kedelai, meski gw sendiri bingung koq tiba-tiba bahas kecap.
Kecap adalah menu khas dalam hidangan khas ala lebaran. Meski tak semua masakan memerlukan kecap, misal kolak maupun es buah. Karena pasti anda akan aneh merasakan masakan tersebut, meski bokap gw yang demen kecap suka menu yang dicampur aduk begitu. Hahaha... Kangen bokap nih.
Jadi inget becandaan WS Rendra di sanggar senam Maniratari Solo terkait kecap yang menyebabkan meninggalnya seorang teman. Para murid 'bunda' bertanya-tanya kepada WS Rendra kenapa kecap bisa menyebabkan wafatnya seorang teman. Tentu bukan kecapnya yang menyebabkan wafat, meski klo kecapnya satu kwintal atau satu ton memang cukup untuk  menyebabkan seseorang meninggal dunia. Tentu bukan karena kecapnya, akan tetapi karena orang yang memakan tempe dengan kecap ketika menyeberang tidak berhati-hati.
Kembali ke tema ah.. ngaco mulu bahasnya. Lebaran di kampung Khilafah sungguh luar biasa bagi saya. Bukan karena tidak ada rempeyek udang, rempeyek laron, maupun rempeyek belalang yang kadang jijik melihatnya. Namun karena suasana syahdu dan khusyu' didalamnya. Bagaimana tidak? Kampung khilafah yang dimana masyarakat muslim benar-benar dilindungi dalam suasana penuh dengan aturan Pencipta Alam Semesta didalamnya. Terkadang kita masih merinding dengan serangan bom pesawat dan drone yang didatangkan oleh Amerika, Rusia, Iran, dan lain-lain. Operasi Militer di Suriah bagaikan Stalingrad jilid kedua, dimana semua kelompok dan negara bermain didalamnya. Ramai, dan seru...
Eit... jangan salah. Merindingnya serangan bom tersebut bukan berarti warga kampung khilafah ketakutan terhadap serangan tersebut. Namun merinding seraya berharap kapan bisa mendapatkan kesempatan meraih kesyahidan. Gw sendiri lebih merinding mendengarkan suasana lebaran yang diisi oleh orkes tunggal berisi para penyanyi berpakaian mesum dan setengah telanjang daripada mendengar suara roket dan rudal berjatuhan dari pesawat bomber B52 Amerika. Karena tak jarang, Karomah-karomah dari syuhada korban kebringasan pesawat tersebut bermunculan. Seperti darah korban yang wangi. Darah segar yang masih mengalir dari tubuh korban. Hingga munculnya angin kencang yang menyebabkan drone-drone dan pesawat tersebut berjatuhan.Â
Suasana yang kedua adalah suasana khusyu' lebaran yang lepas dari segala tradisi yang tidak islami. Kumpul-kumpul bercengkrama dan bercanda yang melupakan batasan mahram didalam Islam. Hingga bersolek-menor melebihi batas dan beraroma seperti kecap (kecap ya .. bukan pelacur). Tidak ada pula makan-makan berlebihan, seolah menjadi balas dendam seusai berpuasa 30 hari lamanya. Kekhusyu'an ini juga nampak dari tema khutbah khutbah idul fitri yang bercerita tentang kematian (jihad), dan pengorbanan. Sehingga suasana disini adalah sangat menghargai kehidupan dengan berbuat baik semaksimal mungkin. Bukan berbuat enak, semau mungkin.
Suasana yang ketiga adalah nuansa syahdu lebaran yang lepas dari segala kerinduan yang kita sadari betul akan kita limpahkan kelah di Firdausil a'la. Kerinduan kepada orangtua, sanak saudara, dan kerabat kami limpahkan dengan doa dan munajat kepadanya agar senantiasa dilindungi oleh Allah, dilimpahkan keimanan dan ketaqwaan, dan bukan sekedar menanyakan kesehatan dan kehidupan semata. Bagi kami, pilihan hidup adalah pasti, dan pilihan kematian adalah sesuatu yang harus disiapkan dengan pasti pula. Berbeda di Indonesia, dimana kami sering sekedar mencukupkan diri kepada pilihan hidup semata. Tanpa memikirkan bagaimana pilihan kematian yang akan kita siapkan.
Suasana yang keempat adalah aroma wangi dan segar bermain-main di halaman surga. Bagaimana tidak? hampir setiap hari kami mendengarkan si Fulan dan Fulanah mendapatkan kesyahidan. Hampir setiap hari kami mendengarkan bom menimpa rumah dan bangunan ini dan itu. Maka bagi kami surga sangatlah dekat. Dan kami bermain-main di tamannya saat ini. Wangi darah dan wangi misik seolah menjadi ciri tersendiri apabila ada seseorang yang mendapatkan kesyahidan. Mungkin kami seolah lupa aroma darah sebenarnya. Karena jarang mencium wangi darah yang normal, kecuali apabila ada episode pemenggalan para mata-mata dan informan salibis. Seolah bau darah seperti darah dari bangkai yang telah membusuk. Demikian pula rasa segar dan bahagia senantiasa terpancar dari teman-teman yang baru pulang dari tugasnya diluar kota. Berjaga dari serbuan syiah nushairi, komunis kurdi, maupun tentara shohwat bayaran amerika.