Dia cantik, dia masih muda, dia sudah siap untuk bereksperimen dengan hidupnya. Sukses adalah satu - satunya moto dan ia siap untuk pergi ke tempat itu jika waktunya sudah tiba. Dia percaya pada akhirnya akan mampu mewujudkan itu dengan berbagai cara. Vengeance adalah satu - satunya kelemahan dia dan hanya menyisakan hubungan sebatas teman biasa. Lalu dia memutuskan untuk lebih dalam menekuni karirnya di industri fashion dan mencapai puncak karena bakat. Dia ingin memiliki segala sesuatu yang dia cintai dan berusaha menghapus setiap rintangan yang datang dengan caranya sendiri bahkan jika itu adalah sahabatnya.
Daisey mengenakan gaun paling indah dengan wajah polos tanpa polesan make – up yang bisa membuat kecantikan seorang gadis menjadi termanipulasi. Dia terlihat berbeda dari orang lain. Dia terobsesi dengan filosofi insects dan merasa bahwa mereka adalah sumber dari segala hal yang sebenarnya akan dipelajari dalam sebuah kehidupan di masa depan. Dia berusaha mengambil hikmah tentang apa yang dia inginkan, memiliki dan menghancurkan siapa pun dan apa pun merintangi jalannya. Karena rivalnya hanya bisa memenuhi bencana kehidupan dan menghancurkannya. Lalu apa yang akan dilakukan Daisey untuk rencana jangka panjangnya ? Dimana akan terjadi penuntutan kebutuhan – kebutuhan gila padanya untuk memiliki segala sesuatu yang dia suka dan membawanya ke dalam dunia mimpi dan setumpuk asa yang terpendam ?
“ Lihatlah aku. Aku sangat cantik bukan ? Nama saya Daisey.
Jika saya memberitahu lebih lanjut tentang diri saya dan lingkungan dimana saya tinggal untuk hidup, anda akan bertanya - tanya bahwa apa yang ada adalah layak dimiliki di dunia ini dan belum sempat saya lakukan sebelumnya. “ Ini bukan kisah cinta yang selalu berakhir dengan bahagia seperti kondisi umum yang dialami oleh sepasang kekasih baru. Ini adalah kisah unik dari seorang gadis yang terlihat mempunyai karakter istimewa layaknya tokoh utama dalam serial love stories pada beberapa canel televisi swasta. Cerita mereka adalah sebuah roller coaster dimana anda kadang - kadang akan merasa kurang nyaman, bahkan merasa terlalu berempati dengan masalah – masalah kecil yang ditonjolkan hingga beberapa diantara mereka merasa takut untuk menjadi seorang pahlawan.
Daisey adalah seorang gadis yang terobsesi akan akal sehatnya dengan pengaruh kuat dari filosofi insects dan nilai - nilai moral tergantung dari salah satu tempat yang dihadirinya. Justru hal ini mendorong rasa takut semakin menguasai alam bawah sadarnya untuk berpikir bahwa mungkin ada orang lain seperti dia dalam masyarakat dimana dia hidup saat ini. Praduga inilah yang membuat ia memutuskan untuk berlibur ke Montpellier, menemui Papa dan Mama tercinta.
***
Kedua kakiku mulai lelah melangkah tuk menyusuri sebuah jalan raya utama Montpellier. Sudah lebih dari satu jam aku melalui jalan ini tapi aku ragu bahwa tujuanku belum segera menjumpai satu titik temu yang terang.
Desa ini tidak jauh dari kota Paris. Di sinilah aku dilahirkan. Dua puluh lima tahun yang lalu adalah waktu tepat namun sangat panjang bagiku untuk menjalaninya dengan berbagai lukisan warna di dalam rentang waktu tersebut. Tetapi hati ini tetap terasa hangat karena ceruk kerinduan di dalamnya terisi penuh oleh air lalu mengalir dan luber, meluap ke segala arah hingga tubuh ini terasa hangat. Aku tidak mau terus - menerus menyiksa diri.
Hari ini aku terfokus untuk menengok Papa dan Mama di desa. Aku mengendarai mobil seorang diri dan ketika tiba di persimpangan jalan, pemandangan di sekelilingku menyuguhkan panorama alam yang begitu memukau seperti saat aku pertama kali merelakan diri ini untuk meninggalkan kampung halaman, sebuah desa nan asri untuk bekerja di kota metropolitan, Paris.
Kuhirup aroma asri hingga merasuk ke rongga dada. Desa ini sulit untuk aku lupakan. Ladang – ladang stroberi dan kebun buah apel terbentang luas di kanan - kiri jalan – jalan tikus. Butir – butir kecil berwarna merah sangat anggun bergurau dengan angin dan beberapa burung liar yang hinggap di tengah ladang untuk berbagai keperluan. Salah satunya adalah burung dari jenis Bondol Peking atau Lonchura Punctulata yang fasih bersenandung kidung Natal dan suka menyambut keluarga petani dan para pekerja kebun dengan seraut wajah penuh keramahan dan bersahabat. Terdapat sebuah sungai kecil yang mengalir di pinggir area kebun dan ladang, membentur bebatuan dan menimbulkan riak – riak kecil. Airnya sangat jernih dan terasa sejuk di tangan dimana beberapa ikan sungai dengan riang hati berenang di dalamnya.
Oh, janjiku, terpatri sangat indah di relung hati paling dalam. Beruntung, aku mendeklarasikan bahwa meskipun aku memilih untuk hidup dan berkarir di kota saja, jiwa, raga, dan pikiranku tetap akan betah dalam dekapan alam kampung halaman yang mempesona.
Sekarang telah terbukti.
Sudah tiga tahun aku mengais ilmu di perkotaan sambil bekerja di sebuah kantor swasta dengan gaji lumayan besar untuk menghidupi diri sendiri, aku rindu pulang. Aku ingin segera menjabat telapak tangan Papa dan Mama, menyatu dalam pelukan hangat tubuh sang bunda yang penuh kasih sayang. Sengaja kepulanganku kali ini tanpa mengirim pesan terlebih dahulu kepada mereka karena aku memang ingin memberikan sebuah kejutan. Inilah hasilku selama tiga tahun hidup di kota besar. Setiap hari bergumul dengan ilmu pengetahuan dan aku berhasil mendapatkan sukses besar dalam genggamanku berupa selembar kertas bernama ijazah dimana bisa aku gunakan sebagai bukti bahwa ilmu yang aku pelajari di sekolah benar – benar sudah aku kuasai. Aku melangkah penuh keyakinan diri sambil sesekali melempar sebuah senyuman manis ketika melewati orang - orang yang menyapaku penuh ramah.
Inilah aku dewasa dengan setumpuk asa dan cita - cita masa kecilku yang hampir semua tercapai.
***
Ketika kedua mata ini teringat akan kehidupan kami di masa kecil, pikiranku langsung terbayang pada jejeran pohon kersen yang berada di dekat lapangan sepak bola. Pohon – pohon tersebut berusia sekitar 8 tahun lebih tua dari usiaku, terlihat begitu sederhana namun tetap menarik perhatianku untuk fokus kepada masa lalu. Masa – masa dimana aku dan Papa senang menghabiskan waktu seharian di bawah salah satu pohon tersebut untuk bernaung dari sengatan sinar matahari di siang hari. Dulu, anak - anak seusiaku mengenal buah kersen dengan nama cantik yaitu buah seri. Jika matang, buah kecil yang berwarna merah cerah itu berasa sangat manis dan begitu lembut di lidah sehingga kami sulit melupakan kelezatannya.
Matahari baru saja terbenam.
Aku tiba di depan rumah kedua orangtuaku. Dalam kondisi tubuh sangat lelah karena harus menyetir mobil seorang diri dari kota ke desa yang berjarak cukup jauh. Kedua  kakiku  segera  bergegas  melangkah  menuju  ke  pintu  gerbang.     “ Mamaaaaaaaaaa ! “ Aku berlari kecil mencarinya ke seluruh ruangan di dalam rumah kami yang sangat besar. Kudekap tubuhnya yang terlihat ringkih dan semakin tua. Namun aku yakin bahwa dialah orang yang selama dua puluh dua tahun  lalu telah melahirkanku, merawatku dan  membesarkanku  seperti  saat  ini. “ Engkaukah itu, Daisey ? “ “ Iya Mama. Ini Daisey J “ balasku sigap. Kulihat kedua matanya mengeluarkan tetes – tetes air bening yang mengalir membasahi kedua pipinya. Ia terbelalak memandangi sekujur tubuhku yang telah berubah banyak. “ Kamu sangat cantik seperti Mama dulu ? “ candanya. “ Tapi, apa yang kau kenakan, Daisey ? “ Mama kelihatan bingung dan berusaha menerka – nerka sepotong gaun aneh yang aku kenakan saat ini. “ Ini toga, Mama. Toga ! Aku sudah berhasil menjadi seorang sarjana. Aku telah lulus dengan mendapatkan nilai terbaik di kampus. Lihat aku ……….. sangat cantik dan aku rasa aku adalah salah satu orang sukses ! †Lalu kubuka seutas tali berwarna hitam yang melingkar di selembar kertas nilaiku. Aku memperlihatkan ijazah tersebut kepadanya bahwa aku benar – benar telah lulus dan menyandang predikat Cumlaude (namun aku sedih karena Papa dan Mama tidak sempat aku kirimi kabar gembira tersebut sehingga mereka tidak hadir dalam acara sakral di auditorium kampus kami). Terlukis bulir – bulir haru di wajahnya yang mulai keriput. Air mata semakin deras keluar. Dan suaranya mulai terdengar parau. “ Mama sangat bangga kepadamu. “ Kedua tangannya gemetar melingkar lembut di bahuku. Kehangatan yang tulus menjalar ke seluruh tubuhku yang selama ini begitu haus oleh kerinduan.
***
Satu minggu berlalu di Montpellier.
Ada banyak cara simpatik bagi aku untuk menikmati liburan musim panas kali ini di desa. Salah satunya adalah dengan bersepeda. Montpellier menyediakan penyewaan sepeda bagi warga setempat dan para turis mancanegara. Keliling desa tua Montpellier dengan mengayuh sepeda sangatlah menyenangkan, dulu, kebiasaan ini sering kami lakukan sekeluarga, karena desa ini tak memperbolehkan kendaraan roda empat berseliweran di sepanjang jalan raya apalagi jalan – jalan tikus. Jika aku merasa lelah dan ingin beristirahat, di setiap sudut taman desa disediakan kafe – kafe kecil untuk sekedar melepas lelah, ada taman bunga dengan meja dan bangku – bangku cantik tempat pengunjung berleha - leha.
Seperti pagi hari ini, sang embun pada kelopak bunga Tulip cerah menyapa seluruh warga, para turis yang kebetulan berkunjung dan aku. Aku sedang jalan – jalan santai menyusuri sebuah jalan tikus dengan hanya mengenakan pakaian kasual, celana panjang Blue Jean dan Tank Top, hari ini udara cukup panas sehingga model baju ini sangat tepat digunakan buat sporty look dan elegance dipadupadankan dengan celana jeans. Namun keceriaan di pagi hari tertahan sejenak yang membuat nafasku sedikit sesak ! Deg ! Jantungku mulai berdegup sangat kencang. Keringat dingin keluar membasahi kedua telapak tanganku dan darah hangat berdesir menyirami seluruh tubuh dari ubun - ubun. Seketika aku tak bisa berbuat apa – apa lalu mematung. Tak percaya dengan apa yang aku lihat di depan mata.
Ketika itu bulan Desember, tiga tahun yang lalu. Aku ingat ! Aku stres setengah mati karena Papa dan Mama akhirnya memberi ijin kami bertunangan. Malah kami berencana minggu depan akan melangsungkan pernikahan. Dia adalah Adam, putra tunggal dari keluarga juragan kerang di desa ini. Adam adalah pemuda biasa tetapi ia mempunyai kebiasaan buruk yaitu suka minum minuman alkohol dalam porsi berlebihan sehingga setiap kami berkencan, dari mulutnya tercium bau alkohol yang busuk. Dia juga tipe laki – laki pemalas dan jarang gosok gigi. Sebenarnya aku tidak suka dengan orang yang kurang bisa menjaga kebersihan diri sendiri, tetapi karena cinta, aku terbiasa dengan kondisi buruk tersebut. Anehnya, Mama melihat peluang ini sebagai sebuah tambang emas. Ia mendorong agar kami segera saja menikah sebelum aku berangkat ke kota Paris. Tapi sekali lagi, aku berdebat dengannya bahwa aku tak begitu suka dengan laki – laki jorok yang jarang menggosok gigi apalagi gemar minum minuman keras. Alasanku terdengar klise dan lucu serta sedikit kamuflase. Meskipun aku mencintainya sejak awal kami memulai sebuah hubungan serius dimana waktu – waktu terindah kami lalui dengan jalan – jalan ke pinggir pantai, lalu duduk – duduk santai di atas pasir putih sambil merenung, menatap buih - buih ombak yang rajin menepi, lalu kedua kaki kami direndam oleh ombak dan terbalut pasir basah. Hingga sore hari menjelang, aku tak berani bertegur sapa dengannya lalu aku meninggalkan taman begitu saja.
Malam hari, aku sedang bercakap – cakap dengan Mama di depan televisi. Jam menunjukkan pukul 7 malam, sebentar lagi kami akan menikmati acara makan malam bersama. Hari ini Mama memasak sajian istimewa buat kami, ada Beef Bourguignon, Crème Brulee dan sajian pembuka berupa Nicoise salad. Hmmmmmmmm, lezat. Banyak hal sudah berubah sejak kepergianku ke kota Paris. Tapi ternyata di dalam  rumahku tidak. Ada beberapa pelayan dan tukang kebun yang sangat rajin merawat rumah kami yang besar selama aku tidak ada. Aku masuk ke kamar tidur lalu duduk di pinggir ranjang, menatap pohon cokelat yang masih setia berdiri di depan jendela kamar tidurku. Ternyata bukan hanya waktu dan beberapa kenangan – kenangan manis di masa lalu saja, pohon cokelat itu menyimpan banyak rahasia kehidupan yang tetap kujaga dan masih akan kumiliki hingga aku lelah berdiri. Pohon itu berusia sangat tua dan mulai jarang berbuah sehingga aku tak bisa mengharap banyak darinya. Tiba – tiba aku mendengar pintu kamar diketuk. Sebenarnya aku sedikit enggan untuk membukanya, tapi aku paksakan diri beranjak menuju ke pintu. “ Ada tamu istimewa sedang menunggu di ruang tamu J “ Mama tersenyum arif. Aku terkejut, siapakah dia ? Begitu melihatnya, hati ini terasa riang gembira. Ia mengenakan kemeja cokelat senada dengan warna kulitnya dan celana panjang Blue Jeans.
Adam menghempaskan tubuhnya di salah satu sofa yang besar dan nyaman. Adalah sebuah kebetulan belaka saja bahwa teman kencan lamanya berkunjung ke rumah, ia menyunggingkan sebuah senyuman menarik, seraya membuka suasana kaku menjadi sedikit santai, “ Kamu sedang berlibur ya ? †katanya ramah. “ Ya, †sahut Daisey singkat. “ Apakah engkau sendirian atau sedang bersama dengan teman – teman ? †tanya Adam selanjutnya. Aku tersenyum. “ Seharusnya saya berlibur dengan teman – teman tetapi mereka sedang sibuk. Jadi saya memutuskan untuk datang sendiri saja dengan mengendarai mobil, saya rindu kampung halaman dan kedua orangtua. “ Laki – laki ini ternyata sudah menjadi seorang pria dewasa yang menarik, pikir Daisey. Tetapi, aku melihat kedua bola matanya sama sekali tidak berminat untuk melanjutkan percakapan kami. Aku membuka tas tangan yang tergeletak di atas meja dan mengeluarkan sebuah novel tebal berjudul Grey karya mahabesar E L James, berharap ia menangkap isyarat bahwa aku mengerti saat ini ia sedang tidak mau diganggu. Tetapi untuk menjaga kesopanan, Adam membalas uluran tangannya. “ Terimakasih, akan saya baca di rumah. “ sahutnya singkat. Pertemuan yang menyebalkan, pikir Daisey. Dilihat dari umur, kami sama - sama bukan lagi sepasang remaja akil balik yang baru pertama kali mengenal cinta monyet. Sepasang anak muda yang mudah berkenalan, lalu kami saling bertukar nomor telepon. Daisey menatap pria itu tanpa tersenyum. “ Dimanakah anda sekarang bekerja ? “ “ Marketing  di  perusahaan  Papa  yang  ada  di  luar negeri J †jawabnya masih datar. “ Saya mengepalai divisi marketing. †Aku mengangkat alis. “ Hmmmm, cukup menarik, â€. “ Daisey, saya tidak akan mengganggu waktu makan malam anda dengan Papa dan Mama. Juga anda kan masih lama berlibur di sini ? Terima kasih sudah meminjamkan saya novel menarik ini. Saya pamit dulu, lusa kita akan bertemu lagi ? J “ kata Adam sambil tersenyum dan mengakhiri pembicaraan serta pertemuan pertama mereka. Aku membalas senyumannya dengan sopan.
Keesokan hari.
Dalam jejeran pohon kersen yang sedang panen, di sinilah kami bertemu untuk kedua kalinya. Terletak di ladang paling ujung, terdapat sebuah lahan kosong yang ditumbuhi oleh rumput liar berdekatan dengan hutan bambu sebagai pembatas ladang dengan kebun buah apel dan cokelat milik warga setempat. Terdapat sebuah rumah panggung sederhana di pinggir danau dengan beberapa angsa liar asyik berenang sambil mencari ikan – ikan danau. Di depan rumah panggung tumbuh subur beberapa pohon kelapa hijau. Beberapa petani yang lalu lalang di depan kami hampir tidak peduli dengan keberadaan kami. Mereka berjalan dengan santai diantara jejeran pohon kersen, melawan ranting atau cabang – cabang tak berguna dari pohon tersebut yang bisa melukai kulit atau membentur kepala. Juga kadang – kadang mereka bertemu ular atau kalajengking yang bersembunyi diantara daun - daun kersen yang jatuh, mereka sewaktu – waktu siap menyerang
Seperti halnya kami yang tak peduli dengan kehadiran mereka. Seorang pelayan datang membawa dua cangkir kopi dan sepiring kue biskuit cokelat, “ Kopi terlezat yang pernah aku minum J ,†ungkapnya. Aku ingat bahwa ia adalah penikmat kopi sejak usia remaja. Pada tiap pagi di hari Sabtu atau Minggu seperti ini, ia selalu datang dengan mengayuh sepeda tuanya. Masih dalam perjalanan, kami tahu bahwa ia sudah datang. “ Aku datang ! “ Memerlukan waktu sekitar lima belas menit untuk mencapai pintu gerbang halaman rumah panggung milik keluargaku di ladang. Ia seperti kami : mencintai pohon - pohon kersen dan buahnya. Setiba di depanku, ia tersenyum dengan seraut wajah lucu sambil mendendangkan sebuah lagu India, sangat norak tetapi aku suka, ia akan menaiki beberapa anak tangga, dan duduk di salah satu kursi rotan di teras rumah kami.
Kami diam sebentar sambil menikmati pesona alam ladang yang sangat mempesona. “ Aku akan kembali ke kota Paris sekitar dua bulan lagi ! †Ia terlihat sedikit kaget, dan aku sudah tahu. “ Kita sudah lama sekali tidak pernah saling bertukar kabar sejak kamu memutuskan kuliah ke kota. Sekarang, tiga puluh baris pohon kersen menutupi pemandangan menarik lainnya di taman rumah ini. Sementara pekerjaanku yang lain adalah bekerja di ladang. Membersihkan rumput liar, memotong ranting - ranting pohon apel yang tak berguna, dan dua hari sekali kami memetik buah apel dan stroberi yang ranum. Kami melakukan semua itu dengan ketulusan hati. “
Musim panas identik dengan musim semi, dimana ladang buah stroberi dan kebun pohon apel tumbuh subur dengan sangat menakjubkan. Pohon - pohon apel menjulang tinggi dengan batang – batang mereka yang besar dan berusia tua, mereka berbuah di sepanjang tahun walaupun panen raya hanya terjadi beberapa kali saja dalam setahun. Kami berkeliling menikmati sepuluh pohon kersen yang sedang berbuah sangat lebat dan beberapa diantaranya matang di pohon, lalu kami melepas lelah dengan duduk – duduk santai di bawah sebatang pohon apel yang rindang. Sebuah hiburan yang sederhana namun mampu menyatukan hati kami yang telah lama terpisah oleh jarak dan waktu. Seorang anak gembala kebetulan lewat di depan kami sambil membawa Serune Kalee, alat musik tradisional warga Perancis, kami meminta tolong dia untuk berhenti dan memainkan alat musik tersebut di depan kami. Sangat menakjubkan karena aku bisa meniup alat musik tersebut dengan sempurna.
Aku menjadi pendiam ketika sudah berada di rumah dan Adam pamit, ia pulang ke rumah kedua orangtuanya tidak jauh dari rumah kami. Mama terbawa ke dalam suasana kaku yang aku ciptakan. Namun Mama berusaha memancing obrolan menarik di sela – sela kegiatannya menonton TV, aku bercerita bahwa aku sangat tertarik sekali dengan sebuah alat musik tradisional bernama Serune Kalee yang menciptakan nada – nada merdu seperti sebuah seruling bambu. “ Dimanakah kita dapat membeli Serune, Mama ? Apakah harganya mahal ? “ “ Besok pagi kita ke pasar tradisional untuk mendapatkan sebuah. “
Malam ini kami lalui dengan suasana hati yang sangat sulit untuk dilukiskan, terutama aku J
Di atas tempat tidur, dalam balutan selimut tebal yang hangat, aku merenung dan melamun. Terdengar burung hantu menyanyikan seuntai puisi malam, “ Ketika kurasa malam mulai hadir, dirimu melintas bak sebuah bayang – bayang tanpa bentuk, terengkuh oleh kesunyian alam, mencoba menjarah namun terasa hampa, aku dan kamu akan menyatu, mungkin itulah yang terbaik. “
Barangkali bunga – bunga di taman mempunyai perasaan yang sama denganku saat ini. Mereka sedang melampiaskan seluruh rasa meskipun sudah hampir satu bulan jarang berbunga, ini pertanda buruk bahwa kami kurang melakukan perawatan yang telaten terhadap mereka. Aku dan Mama sempat risau akan taman bunga kami. Tapi aku berharap besok pagi bisa menikmati sekuntum bunga Tulip putih mekar karena tadi sore aku melihat beberapa kuncup yang muncul malu – malu di sela – sela rimbunnya semak Tulip.
Pagi hari, aku bangun dengan suasana hati ceria, aku memutuskan untuk mengelilingi pohon - pohon apel di kebun bersama Mama, aku berharap menemukan buah apel ranum berjatuhan di tanah. Buah besar berwarna merah atau yang masih kecil – kecil berwarna hijau. Dugaanku benar, aku segera berlari ke sana, sedikit terburu – buru menemukan beberapa biji buah  apel  telah   memenuhi   permukaan   tanah   sejak   kemarin   malam.  Aku  berteriak senang, “ Mama, apel – apel itu sangat menggodaku ! “ Tak lama kemudian, kami mendengar suara sepeda motor dari jalan di pinggir kebun. Aku menoleh, seorang pria dewasa datang sambil membawa Serune, ia menerobos rumput – rumput liar menuju ke tempat kami.
Dua bulan kemudian.
Tak membuang waktu terlalu lama, segera kukemas barang – barangku ke dalam beberapa koper besar. Aku harus kembali ke kota Paris untuk keperluan kantor, masa cuti musim panas telah usai, kali ini Papa dan Mama menemaniku. Kami akan mengendarai mobil.
Aku mendengar otakku berdiskusi tentang beberapa hal, aku sangat senang melewati liburan musim panas di kampung halaman. Aku mendaki gunung, memasang tenda gantung sendiri dengan sempurna, memasak beberapa jenis kue khas Perancis, jalan – jalan ke kebun buah apel, bercerita tentang cuaca yang hangat, semua aku lalui seakan – akan tidak sedang terjadi apa – apa dengan hati ini. Tapi ketika Adam menghampiri kami, pertahananku ambyar ! Kupinjam pundak Mama dan membasahinya dengan air mata. Entah berapa banyak waktu yang aku habiskan sia – sia, dan akhirnya aku tidak mengerti kenapa aku menangis, meskipun akal sehatku memerintahkan air mataku untuk berhenti mengalir, kubujuk hatiku agar tidak cengeng. Mungkin lamanya waktu yang pernah kami berdua jalani dulu adalah tali pengikat sebuah hubungan kekasih yang sempat terputus karena beberapa hal. Dan kami saling memahami melebihi keluarga kami masing – masing.
Angin subuh berdesir sangat lembut bercampur dengan beningnya embun pagi bertiup membelai rambutku. Aku sedikit menggigil kedinginan. Namun bersamanya aku mantapkan hati untuk menyatu hingga usia tua dan kematian memisahkan kami berdua. Berjanjilah kepadaku, jangan pernah menangis lagi J .