Dunia sedang menghadapi pandemi terbesar di sepanjang sejarah yang sudah terjadi hampir dua tahun belakangan ini. Ada banyak keluarga yang berduka karena harus kehilangan salah satu atau beberapa anggota keluarga dan teman-teman. Ini tentu saja bisa menanggung beban mental berkepanjangan. Dimana dalam sebuah studi observasional oleh Maxime Taquet dan team yang terbit di jurnal ‘The Lancet Psychiatry’ April 2021 menjelaskan tentang rekam medis dari 236.379 pasien covid-19, secara statistik satu dari tiga penyitas ternyata mengalami gangguan saraf atau gangguan psikiatri dalam kurun waktu 6 bulan pasca infeksi.
Anggapan Beberapa Warga Terkait Dengan Pandemi Ini
Ada beberapa orang yang beranggapan bahwa gejala pasca covid-19 hanyalah omong kosong atau akal-akalan elite global saja. Mereka bersikukuh bahwa covid-19 adalah penyakit influenza atau gangguan saluran pernapasan lainnya. Fakta menjelaskan bahwa virus ini memiliki spesifikasi bahkan sampai pada efek pasca infeksi. Taquet dan team lalu membandingkan tingkat gejala gangguan psikiatri pada penyitas covid-19, influenza dan gangguan saluran pernapasan lainnya. Nah ditemukan bahwa gangguan saraf sebagian besar terjadi pada penyintas covid-19 dibandingkan penyintas influenza dan kelompok lainnya. Dan risiko terbesar ada pada penyintas dengan covid-19 parah.
Studi Taquet dan team mengungkapkan bahwa sekitar 13 persen responden mengeluhkan ciri-ciri gejala gangguan psikiatri yang jarang dialami sebelum terinfeksi SARS-CoV-2. Artinya adalah gangguan psikiatri menjadi diagnosis pertama dalam hidup mereka. Dimana gangguan psikiatri erat berhubungan dengan penyintas yang meliputi insomnia dan gangguan kecemasan dimana gangguan ini yaitu khususnya insomnia pada skala lebih luas akan berkembang menjadi tandem-epidemi yang disebabkan oleh kondisi yang semakin buruk beriringan dengan pandemi.
Dimana semenjak dunia berurusan dengan wabah covid-19 ini, kasus insomnia menjadi meningkat secara global. Studi oleh Haitham Jahrami dan team yang diterbitkan melalui Jurnal Clinical Sleep Medicine (Februari 2021) menjelaskan bahwa sekitar 40 persen orang dari populasi umum terkena insomnia. Sedangkan pada pasien covid-19 gangguan ini memiliki tingkat prevalence lebih tinggi. Pandemi adalah kondisi dimana ada begitu banyak beban dan kecemasan yang datang secara simultan menyebabkan orang menjadi susah untuk tidur malam.
Sejak musim panas 2020, istilah ‘covid-somnia’ atau ‘corona-somnia’ mendadak menjadi sangat populer. Istilah ini muncul untuk menjelaskan dengan lebih sederhana tentang dampak pandemi global terhadap pola tidur seseorang. Data-data dari berbagai belahan dunia memperlihatkan populasi besar dengan keluhan insomnia. Misalnya oleh British Sleep Society melaporkan bahwa hampir separuh penduduk Inggris mengeluhkan kurang enak tidur pada tahun 2020. Sementara Centers for Disease Control / CDC Amerika Serikat telah mengganggap masalah covid-somnia adalah sebagai epidemi. Kondisi ini bisa menetap selama 2 tahun setelah seseorang mengalami tekanan emosional berat seperti ketika pandemi ini berlangsung. Ada semacam rasionalitas berhubungan dengan tandemi covid-somnia ini. Pembatasan adaptasi aktivitas di dalam rumah dan paparan sinar matahari yang kurang menyebabkan banyak orang mudah menjadi stres. Akibatnya adalah irama sirkadian-proses siklus tidur-bangun-pun menjadi kacau. Stres meningkatkan kadar kortisol dan hormon antimelatonin (hormon yang bertanggung jawab untuk kualitas tidur). Selama kostisol dalam konsentrasi tinggi maka kualitas tidur akan terganggu.
Belajar Dari Pandemi Sebelumnya
Di samping terhadap penyintas, pandemi covid-19 juga mempengaruhi kesehatan mental masyarakat luas. Kebijakan yang dikeluarkan untuk pembatasan fisikmenyebabkan banyak orang wajib untuk mengurangi bahkan tidak bisa lagi beraktivitas sebagaimana biasa dan pastilah akan merasakan penat dan rasa bosan. Kondisi pandemi juga berdampak pada kelompok umur yang lebih tua. Menurut WHO, kelompok ini-terutama yang menjalani isolasi mandiri dan mereka yang mengalami penurunan kemampuan kognitif atau demensia-rawan menjadi mudah cemas, marah-marah dan stres atau gelisah.
Nah berkaca pada ancaman virus korona sebelumnya-yakni SARS dan MERS-wabah memang membawa pengaruh terhadap kehidupan sosial dan ekonomi (di Cina). Kesehatan mental masyarakat di sini sempat terganggu akibat respons lambat dari pemerintah yang menyepelekan epidemi. Kepercayaan publik di Cina terhadap transparansi dan kompetensi pemerintah dalam pengambilan keputusan menjadi terkikis. Semakin beratlah tekanan psikis masyarakat ketika negara memutuskan melakukan karantina wilayah. Dan pada saat bersamaan, masyarakat yang kalut masih pula dihadapkan pada banyaknya informasi dari media sosial termasuk laporan soal kekurangan staf medis, APD dan kapasitas rumah wakit di Wuhan, Cina.
Pola serupa juga terjadi di Indonesia. Di awal Januari 2020 ketika negara lain tengah bersiap menghadapi ancaman covid-19, negara ini justru menganggap enteng dan malah menggenjot sektor pariwisata. Skenario selanjutnya persis seperti kondisi yang terjadi di Cina dalam menghadap wabah SARS dan MERS.
Studi lainnya yang dilakukan oleh Kaushal Shah dkk (2020) menganalisa pola gangguan psikis ketika dunia sedang menghadapi wabah SARS dan MERS. Pada masa ini publik kerap kali melaporkan beberapa komorbiditas psikiatrik yang mereka alami seperti depresi, serangan panik, kecemasan, pemikiran bunuh diri, delirium dan gejala psikotik. Keluarga pasien MERS harus terisolasi dari masyarakat meskipun sudah dinyatakan bebas dari penyakit tersebut. Hampir sebanyak 25 persen penyintas SARS menunjukkan tanda-tanda adanya gangguan stres pascatrauma dan 15,6 persen lainnya mengalami depresi berat.
Di sepanjang catatan sejarah, manusia telah menghadapi beberapa wabah yang menyebabkan mereka seperti mati berkali-kali. Sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa setiap menghadap wabah anyar, manusia hampir selalu panik akan menghadapi derita berkepanjangan. Semua mahluk hidup memang harus menghadapi siklus tumbuh, berkembang, beradaptasi dan berevolusi. Siklus alamiah ini memang tak terhindarkan tetapi anda bisa menempa kesiapan dan kesigapan Semua makhluk hidup memang harus menghadapi siklus tumbuh, berkembang, beradaptasi, dan dalam menghadapinya.