Di sekitar Gunung Bromo di Jawa Timur ditempati oleh sekelompok suku yang bernama Suku tengger yakni menempati sebagian wilayah Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Probolinggo dan Kabupaten Malang. Komunitas suku ini saat ini sudah mencapai angka sekitar 500 ribu orang yang tersebar di tiga kabupaten tersebut. Etnis yang terdekat dengan Suku Tengger adalah Suku Jawa namun terdapat perbedaan yang sangat menonjol diantara keduanya terutama yang erat hubungannya dengan kebudayaan.
Asal Mula Terbentuknya Suku Tengger
Sekitar abad ke-10 terbentuklah komunitas Suku Tengger yaitu ketika Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran dan Islam mulai masuk ke dalam wilayah ini. Kerajaan Majapahit diserang dari berbagai daerah yang menyebabkan rakyatnya mengungsi ke tempat-tempat yang dianggap aman untuk bersembunyi. Para Dewa-Dewi mulai pergi dan memutuskan untuk bersemayam di sekitar Gunung Bromo yaitu terpusat di lereng Gunung Pananjakan dimana di sekitar tempat ini tinggallah seorang pertapa yang suci. Pada suatu hari istri pertapa ini melahirkan seorang bayi laki-laki yang memiliki wajah bercahaya dan kekuatan yang luar biasa sakti. Maka dari itu anak ini diberi nama Joko Seger yang artinya sehat dan kuat. Tak jauh dari tempat tinggal pertapa suci ini hiduplah sebuah keluarga yang juga secara kebetulan melahirkan bayi perempuan yang dipercaya sebagai titisan Dewi karena memiliki wajah sangat cantik dan elok, begitu tenang dan tidak menangis. Anak ini diberi nama Roro Anteng yang artinya tenang dan pendiam.
Alkisah Joko SEger tumbuh menjadi seorang lelaki dewasa yang tampan dan rupawan begitu pula dengan Roro Anteng tumbuh dewasa sebagai seorang gadis yang sangat cantik jelita. Suatu hari mereka berdua bertemu secara tak sengaja di sebuah pesta desa dimana pada pandangan mata pertama Roro Anteng telah terpikat dengan kewibawaan Joko Seger namun pada hari yang sama gadis ini juga bertemu dengan seorang raja yang terkenal sangat sakti, kuat namun berhati jahat, sehingga Roro Anteng tidak berani menolak lamarannya.
Roro Anteng selanjutnya mengajukan sebuah persyaratan kepada raja tersebut agar dibuatkan lautan di tengah gunung dalam waktu hanya satu malam saja. Raja mengerjakan syarat tersebut dengan menggunakan alat sakti berupa sebuah tempurung kelapa (batok kelapa). Pekerjaan raja sakti hampir selesai, melihat kenyataan ini hati Roro Anteng menjadi gelisah dan memikirkan cara untuk bisa menggagalkannya. Roro Anteng lalu mulai menumbuk padi di tengah malam sehingga membangunkan ayam-ayam yang mengira fajar telah tiba, ayam-ayam ini pun berkokok dengan suara yang sangat lantang di tengah malam. Raja sakti marah besar karena tidak bisa memenuhi permintaan Roro Anteng tepat pada waktunya.
Akhirnya batok sakti yang ia pakai untuk mengeruk pasir dilemparkan hingga tertelungkup di dekat Gunung Bromo yang seketika berubah menjadi sebuah anak gunung yang oleh warga sekitarnya diberi nama Gunung Batok.
Dengan kegagalan raja sakti meminang Roro Anteng maka Joko Segerlah yang berhasil menikah dengan gadis cantik itu. Mereka berdua membangun sebuah pemukiman pada suatu tempat yang mencakup wilayah sangat luas terletak di kawasan Tengger dan berkuasa di sana dengan menggunakan nama baru yaitu Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger yang berarti penguasa wilayah Tengger yang budiman. Tengger sendiri diambil dari gabungan akhir suku kata Roro Anteng dan Joko Seger yang mengandung makna bermoral tinggi dan sebagai simbol perdamaian abadi. Mereka dikaruniai momongan setelah sekian tahun menikah lalu memutuskan mendaki puncak Gunung Bromo. Tiba-tiba di pertengahan jalan mereka mendapat pawisikan gaib yang menyatakan jika mereka ingin memiliki banyak anak maka harus melakukan semedi agar doa mereka terkabul dengan syarat anak bungsu harus dikorbankan ke dalam kawah Gunung Bromo. Â
Pada akhirnya mereka memiliki 25 keturunan laki-laki dan perempuan. Namun Roro Anteng ingkar janji maka tiba-tiba terjadilah semburan api yang keluar dari dalam kawah Gunung Bromo yang langsung menyambar Kesuma (anak bungsu mereka) dibawa masuk ke dalam kawah Gunung Bromo. Setelahnya terdengarlah suara gaib yang berteriak lantang bahwa Kesuma telah dikorbankan sehingga Hyang Widi berhasil menyelamatkan seluruh penduduk sekitar yangkembali bisa hidup tentram dan damai dengan menyembah kebesaran Hyang Widi, dimana setiap penduduk di sini memperingati setiap bulan Kasada pada hari ke empat belas mengadakan sesaji ke dalam kawah Gunung Bromo dimana kebiasaan ini terus dilakukan hingga sekarang oleh masyarakat Tengger dengan menggelar upacara adat yang disebut Kesada setiap tahunnya.
Suku Tengger, Agama Dan Kepercayaan Mereka
Saat ini orang-orang Tengger menggolongkan kepercayaan mereka ke dalam kelompok ajaran agama Hindu Darma dimana kepercayaan yang dianut cenderung dipengaruhi oleh kepercayaan warga setempat. Mereka percaya akan adanya Sang Hyang Agung, roh para leluhur, hukum karma, reinkarnasi dan mokas.
Kepercayaan yang mereka jalankan setiap hari di sepanjang tahun adalah melakukan sejumlah upacara yang sifatnya massal maupun individu antara lain upacara Kasodo, upacara Unan-Unan, upacara Pujan, Barikan, Nglukat atau upacara Entas-Entas. Semua dilaksanakan menurut waktu yang sudah ditetapkan berdasarkan perhitungan waktu secara tradisional yang sudah berlaku di sini sejak ratusan tahun silam. Orang Tengger membagi satu tahun menjadi dua belas bulan yakni kasa, karo, ketiga, kapat, kalmia, kenem, kapitu, kawolu, kasanga, kesepuluh, kadesta dan kasodo.
Suku Tengger Dan Bahasa Yang Dipakai Setiap Hari
Bahasa mereka dikenal dengan nama Bahasa Tengger atau kadang-kadang disebut dengan Bahasa Jawa tengger adalah salah satu jenis bahasa daerah yang digunakan oleh Suku Tengger yang menempati kawasan Pegunungan Bromo Tengger Semeru termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang di bagian Provinsi Jawa Timur.
Secara linguistik Bahasa Tengger termasuk ke dalam rumpun Bahasa Jawa dalam cabang rumpun Bahasa Formosa Paiwanik dari rumpun Bahasa Austronesia. Beberapa orang beranggapan bahwa Bahasa Tengger merupakan turunan Bahasa Kawi dan banyak mempertahankan kalimat-kalimat kuno yang sudah tidak digunakan lagi dalam Bahasa Jawa Modern.
Suku Tengger, Mata Pencaharian Dan Kekerabatan Yang Terbentuk
Di dalam kawasan pegunungan yang menyimpan tanah sangat subur ini warga tengger mengembangkan pertanian khusus untuk menanam sayur-mayur karena daerah dengan ketinggian sekitar 2.000 meter ini tanaman padi sulit tumbuh dengan subur. Hasil sayur-mayur mereka selalu berlimpah-ruah mengisi pasaran di Surabaya dan kota-kota seputar Jawa Timur lainnya.
Masing-masing desa dipimpin oleh seorang kepala desa yang dikenal dengan istilah petinggi desa dibantu oleh caik yaitu juru tulis kantor desa. Tokoh penting di dalam kehidupan sosio religius mereka adalah para dhukun yang bertugas menjadi pemimpin upacara adat sesuai dengan agama Hindu Darma yang mereka anut sekaligus sebagai pemimpin adat kelompok dhukun masing-masing. Seorang dhukun akan dibantu oleh dua orang yaitu seorang wong sepuh yang memiliki tugas untuk mengurus upacara adat kematian dengan menyediakan segala macam sesaji dan seorang legen yang mempunyai tugas untuk mengurus upacara perkawinan dengan menyiapkan segala perlengkapan yang menyertainya.
Di dalam menjalankan tugasnya, seorang petinggi biasanya dibantu oleh sejumlah aparat yakni kampung polisi yang bertugas menjaga keamanan dan ketentraman desa, kampung gawe yang bertugas sebagai penghubung atau pesuruh desa, kampung cacar yang mempunyai tugas di bidang kesehatan masyarakat dan seorang kebayan bertugas di bidang kebersihan desa.
Orang Tengger mempunyai sistem kekerabatan yang bersifat bilateral dimana keluarga inti terlihat sangat menonjol yaitu memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari mereka tetapi dalam keperluan sosial lebih cenderung terlihat kelompok kekerabatan bilateral memegang peranan yang lebih nyata.
Sistem pewarisannya sama dengan masyarakat Jawa pada umumnya yaitu diperhitungkan menurut ungkapan sepikul segendongan, sepikul untuk anak laki-laki dan segendongan untuk anak perempuan yang artinya sama-sama banyak sumbangannya. Dalam kehidupan sosial masyarakat tidak mengenal perbedaan status yang tajam.
Sumber tulisan :
https://www.gurupendidikan.co.id/suku-tengger/
Â
Â