Nyanyian Rindu para Peri Hutan

29 Apr 2021 13:37 2463 Hits 1 Comments Approved by Plimbi
Nyanyian rindu para peri hutan.

Pada suatu hari di negeri dongeng, Greenland.

Adalah sebuah kepulauan yang tak tersentuh dan masih perawan, terpencil dan sulit dijangkau oleh manusia, Greenland merupakan sebuah dunia liar dimana banyak terdapat jalan – jalan tikus yang belum diketahui kemana akan berakhir, apakah ke pinggir pantai Dreamland, atau bermuara ke sebuah sungai di salah satu kaki bukit es negeri dongeng, Greenland, namun tetap memberikan sebuah pilihan menarik dengan suguhan pemandangan yang sangat mempesona dan belum terjamah oleh tangan – tangan kotor para manusia usil yang menyebabkan rusaknya komunitas kecil kehidupan para manusia kurcaci di ujung selatan bumi ini.

Meskipun negeri ini identik dengan istana es, tetapi di sebuah desa kecil bernama Faroe, berlokasi di kepulauan Faroe, Denmark, terdapat sebuah kehidupan dari sekelompok kurcaci hutan yang sangat tradisional, mempunyai penghuni sebanyak 16 kepala keluarga dimana setiap sudut desa ditata sedemikian rapi dan membuat setiap kelompok lain yang berkunjung ke tempat ini akan menganga karena takjub.

Jarang dijumpai pohon – pohon yang menghijau, jalan – jalan besar serta hampir tidak ada manusia atau hewan – hewan pintar menyerupai manusia kecuali kuda, pulau ini lebih banyak dihuni oleh para Dwarf, kurcaci dan peri – peri cantik karena cuacanya sangat dingin, sehingga menjadikan Greenland adalah sebuah istana es paling indah di kutub selatan yang tak mudah terlupakan karena pesona auroranya yang magis dengan rumah – rumah unik dan atap warna – warni sebagai naungan yang asri, hangat dan nyaman dari para penghuni desa ini. 

Terdapat sekelompok peri – peri hutan tinggal di pinggir sebuah danau paling indah di dunia bernama Leitisvatn, ini adalah danau terbesar di kepulauan Faroe, luas danau mencapai 3,4 km persegi. Di dalamnya banyak hidup hewan – hewan air yang memiliki manfaat bagus untuk kelangsungan hidup para penghuni bumi. Di sekeliling danau terdapat hutan pinus, pohon cemara Natal serta jejeran pohon tua dan besar eukaliptus, tempat para peri hutan mendirikan rumah – rumah pohon mereka yang sangat indah dan unik. Adalah peri hutan bisu bernaman Catalin, peri bunga tulip bernama Mykaela, dan seorang pangeran kupu – kupu yang sangat tampan bernama Severin hidup di desa ini dan menjalin sebuah pertemanan sejak mereka masih kecil.  

Nun jauh di kaki bukit, di tengah hutan bunga liar, di dalam goa ajaib, hiduplah seorang nenek penyihir bernama Gamilah, setiap musim salju turun dan menjelang perayaan Natal dan tahun baru tiba, ia suka datang ke dalam mimpi – mimpi indah para bangsa peri, kurcaci, dwarf dan sejenisnya untuk berbagai keperluan, ia menjelma menjadi seorang bidadari pemetik harpa.

Dengan gaun pesta malam yang cantik dan elegan, Gamilah datang ke dalam mimpi – mimpi gadis – gadis tersebut, membawa harpa emas yang dawainya tersusun dari sulaman air hujan, ia menyanyikan lagu – lagu pujian paling merdu dari lembah Shangrila untuk mereka. Seandainya saja sang pangeran kupu – kupu tahu bahwa peri – peri tersebut selalu berlomba untuk menarik perhatian khusus dari dia, tentu Gamilah tidak perlu menyibukkan diri meracik beragam ramuan dan beberapa baris mantra – mantra kuno Yunani yang tertuang dalam lagu – lagu cinta dengan memakai lirik bahasa Yunani agar salah satu atau semua dari mereka melupakan sang pangeran kupu – kupu.

Peri hutan bisu, Catalin.

Namun, bagaimana aku bisa mencegah si penyihir tua agar tidak masuk ke dalam mimpi – mimpi indahku di setiap malam dan berusaha menghentikan nyanyiannya yang terdengar sangat kuno dan memaksa aku supaya segera menjauhi arena sayembara perebutan hati sang pangeran tampan dari negeri seribu satu bunga ? Aku hanyalah seorang peri hutan bisu biasa yang sedang jatuh hati kepada seekor pangeran kupu - kupu yang menjadi idola di negeri dongeng ini ? Bagaimana aku bisa melupakan pertemuan pertama dan mungkin menjadi pertemuan terakhir, pun aku tak mampu bernyanyi apalagi membaca mantra – mantra penawar patah hati agar aku bisa menemukan dunia cinta yang lain dimana seorang pangeran baru sedang menanti kedatanganku ? 

Peri bunga tulip, Mykaela.

Seperti halnya keindahan bunga – bunga tulip di musim semi, begitulah diriku, dengan sebuah nama yang sangat indah, Mykaela, tubuhku mungil dan memiliki warna kulit kuning langsat, dengan rambut sangat panjang berwarna perak sedikit ikal seperti gelombang laut di pesisir pantai Dreamland, aku suka memakai gaun – gaun cantik yang terbuat dari sulaman kelopak bunga mawar segar yang berwarna – warni, atau edelweiss kering dalam rangkaian bunga paling cantik menghiasi kepalaku sebagai mahkota seorang putri kerajaan kecil dari taman bunga tulip milik para bangsawan dari Britania Raya, dan kedua bola mataku yang berwarna biru langit adalah sebuah anugerah paling berharga dari Illahi untuk kami, para peri bunga tulip.

Mungkin engkau tidak bisa melihatku apalagi memberi sebuah perhatian khusus, karena aku hanyalah seekor peri bunga biasa dalam kehidupanmu yang sangat sempurna dikelilingi oleh berjuta peri bunga dari seluruh kerajaan bunga di dunia, apalagi tubuhku lebih kecil dari seekor kupu - kupu biasa sehingga aku kerap dijuluki si peri liliput, ras peri paling kecil yang suka bermain di sekitar taman bunga milik keluarga kerajaan kupu – kupu di negeri dongeng, Greenland, aku senang tinggal di pondok – pondok penampungan sementara pada kelopak warna -warni bunga tulip di ladang mereka yang sangat luas, sementara rumahku sendiri berada di tengah hutan, di atas pohon pinus, beratap jerami kering dan daun - daun bunga mawar.

Gamilah merasa kasihan melihat dua ekor peri baik hati mengalami kesusahan hati lalu berniat menolong mereka, Catalin dan Mykaela harus berkenalan dengan Severin si pangeran kupu – kupu, meskipun cinta mereka bertepuk sebelah tangan tetapi sebuah persahabatan adalah obat paling mujarab untuk menyembuhkan berbagai penyakit terparah.

***

Selanjutnya, para penghuni negeri dongeng disibukkan oleh cerita tentang seorang gadis berambut pirang, tinggi langsing, berkulit kuning langsat dan berbola mata biru laut bernama Karen, putri semata wayang dari pemilik ladang bunga tulip di desa ini. Setiap musim semi tiba, dia selalu bermain ke desa, mengunjungi kastil keluarganya yang sangat mewah bernama Kastil Colmberg, dia gemar memakai pakaian tradisional para Lady mancanegara dari Perancis, Belanda, Denmark atau sekali waktu ia memakai pakaian adat Nyonya Jepang atau para gadis Cina.

Maka pada suatu pagi hari, hujan turun rintik – rintik, dan tak ada orang bertanya kenapa ?

Karen bersiap – siap menuju ke ladang bunga tulip di pinggir desa, kali ini dia akan mengayuh sepeda mininya lengkap dengan keranjang cantik di bagian depan sepeda, ia membawa bekal lengkap untuk acara makan siang di ladang nanti, bersama – sama dengan para pekerja kebun, ada dua botol susu sapi segar, tiga botol wine, sebotol sari buah jeruk, sepotong kue Matcha Swiss Roll Super dan beberapa butir kurma lapis cokelat untuk makanan penutup, sekotak spageti jamur, dua buah Smoked Turkey Sandwich, semangkok Chinese Duck Noodle sebagai sajian utama dan beberapa potong Canape untuk hidangan pembuka. Dia juga senang membawa sekantong permen untuk teman – teman barunya para kurcaci ladang dan peri – peri bunga yang kebetulan berkunjung ke ladang bunganya untuk keperluan mengambil madu dan sari bunga tulip yang terkenal berasa segar dan sangat manis.  

Lalu ia ikut beberapa pekerja kebun untuk memetik bunga – bunga tulip yang sedang mekar dan jika hari sudah beranjak siang, mereka duduk berkelompok di pinggir ladang di bawah beberapa batang pohon apel, di atas padang rumput liar beralaskan selembar tikar dari daun pandan, mulai menikmati bekal makan siang seadanya dengan lahap.

Sisa waktu kerap digunakan Karen untuk bermain – main denga para peri bunga, penghuni ladang bunga tulipnya yang sangat indah dan begitu luas. Dia mulai membaca setumpuk surat dari beberapa teman – temannya di luar negeri, dengan nada tinggi dan suara sengaja dibuat keras – keras, Karen seolah ingin membagi kebahagiaannya kepada semua penghuni kelopak bunga tulip putih dan peri - peri dari hutan di pinggir desa, ia berharap mereka mendengar dan turut merasakan keriangan hatinya secantik wajah Karen.

Pada suatu hari. Di awal bulan Mei. Bunga – bunga Tulip di ladang ayah Karen sedang merekah dan siap untuk dipetik, sejak dini hari suasana ladang sudah ramai oleh para pekerja kebun. Namun, aku si peri hutan bisu, Catalin, memperhatikan Karen diam - diam dari atas pohon apel sambil berayun – ayaun di atas selembar daun apel yang sedang berbuah lebat, raut mukanya terlihat murung tidak seperti hari – hari kemarin, malah aku melihat kedua matanya sembab karena sehabis menangis kemarin di sepanjang malam, namun ia tetap menyibukkan diri dengan memetik satu - satu tangkai bunga tulip putih. Aku mencoba membaca pikirannya, berusaha menebak apakah dia bahagia dengan kegiatannya memetik satu - satu tangkai tulip atau hanya sekedar sebagai sebuah usaha kecil untuk mengusir kegalauan hatinya ?

“ Apakah kau penasaran juga ? “ tanya Catalin kepada Mykaela. “ Bagaimana kalau kita membantu dia, mencari tahu apa yang membuat gadis itu bersedih, apa yang sedang dipikirkan oleh gadis yang suka mengenakan syal merah dari rajutan wol di leher jenjangnya ? “ Catalin menghirup udara pagi yang bersih sebanyak paru – parunya bisa menampung kesegaran udara di ladang bunga ini, lalu mengepakkan kedua sayapnya yang indah dan mulai terbang ke arah Karen yang sedang melamun di bawah sebatang pohon apel.

“ Apa yang sedang kamu lakukan, Karen ? Mengapa kamu tidak lagi membaca surat – surat dari teman – teman karibmu di luar negeri ? “ “ Aku sedang menunggu beberapa pucuk surat dari teman – teman yang ada di Belanda, Jepang dan kota London, setiap pagi hari, aku menunggu kedatangan pak pos tiba di depan rumah, apakah dia berbaik hati membawakanku setumpuk kabar berita terbagus dari mereka ? Namun berkali - kali kubuka kotak surat yang terbuat dari kayu di depan rumah kami, ternyata hasilnya kosong ! “ kedua mata Karen terlihat begitu sedih sementara rambut pirang gadis ini menari – nari ditiup oleh angin pagi dari timur, seperti memainkan sebuah alunan lagu tanpa syair, sangat indah untuk dipandang hingga sore hari menjelang dan mereka harus pulang.

Keesokan harinya, Catalin dan Mykaela sudah mendahului Karen berada di ladang bunga tulip milik ayahnya tercinta. Suasana pagi begitu tentram, mereka berdua terlentang di atas rumput Jepang yang empuk dan segar dengan warna hijau terang, terdiam beberapa saat dan kedua mata mereka terpejam, membiarkan beberapa sari bunga tulip putih berguguran mengenai pipi dan rambut mereka, tak kalah cantik dengan kelopak tulip berwarna merah muda. Mykaela bangun lalu terbang ke salah satu helai daun tulip, mendekati seekor lady bag dan mereka bersama – sama bersiul mengikuti melodi pagi hari yang tercipta oleh sejuknya angin pegunungan Greenland, dan semua pekerja ladang tau bahwa mereka sedang menunggu kedatangan seorang gadis cantik bersyal merah.

***

Cerita Karen tentang waktu di masa lampau.

Pita – pita terindah dari ingatan Karen sedang diputar, memperlihatkan setumpuk memori yang pernah dia lukis di masa lalu, diam - diam dua peri bunga yang sedang patah hati (Mykaela dan Catalin) menyusup ke dalam pikirannya paling tersembunyi dan ikut menonton kehidupan gadis itu yang penuh luka dan kejutan, sama seperti yang mereka alami terhadap Severin, sang pangeran kupu – kupu yang sangat tampan dan berhati mulia.

***

“ Karen, hari ini aku akan berangkat ke Indonesia karena kedua orangtuaku dipindahtugaskan ke sana. ” “ Indonesia ? Dimanakah itu, aku belum pernah mendengar sebelumnya ? Jauhkah letaknya dari sini, Hans ? “ “ Hm … ya ! Sangat jauh ! “ “ Ceritakan kepadaku, apakah di sana ada padang tulip atau ladang ungu dari bunga – bunga lavender yang sedang musimnya ? ”

“ Mungkin ada atau entahlah … aku mendengar bahwa di sana tidak ada musim semi atau musim salju seperti di sini, hanya ada dua musim saja yaitu musim hujan dan kemarau. Meskipun tidak ada tulip, di sana bunga mawar mudah dijumpai, aku akan mengirimimu setangkai bunga mawar kering, semoga kamu suka dan tetap mengingatku meskipun kita sedang saling berjauhan. “ Hans mengusap lembut kepala Karen. “ Lalu, apa yang harus aku lakukan jika aku tiba – tiba merindukanmu ? ” “ Bukankah teknologi saat ini sudah canggih, ada internet, ada keluarga besar Pak Pos yang sangat baik hati, atau telepon ? Setiap hari jika engkau merasa rindu kami, engkau bisa meneleponku. “ “ Ya, aku akan melakukan itu. Namun bolehkah aku meminta sesuatu, bukan hanya sekedar setangkai bunga mawar kering atau sekuntum bunga edelweiss putih dari pulau Jayapura di Indonesia ? ” “Apa !? ” “ Sepucuk surat ! Membaca tulisan tanganmu yang sangat rapi dan indah, melukiskan tiap kejadian yang kamu alami di sana, akan membuatku kuat terhadap perasaan rindu dan selalu ingin berjumpa, karena surat berbeda daripada kita bertemu setiap saat melalui internet dan layar monitor atau dering telepon di tengah malam. “ “ Baiklah, aku berjanji akan mengirimimu surat setiap aku memiliki waktu luang. Dan kau pun harus berjanji Karen, untuk segera membalasnya. ” “ Ya, aku berjanji demi mahkota bunga tulip dan seluruh peri penghuni ladang di musim semi, di sini. ”

Ah, si peri bunga tulip, Mykaela dan sang peri hutan bisu, Catalin mendesah pendek. Ternyata gadis cantik ini sedang mengenang kekasihnya, Hans, seorang laki – laki tampan dari negeri Belanda.  Apakah kami pernah berjumpa  dengan  dia ? Ya, kami ingat sekarang ! Laki - laki yang gemar memakai kaus berkerah dan berlengan pendek berwarna hitam, di suatu hari di masa lampau, menjelang musim panen bunga lavender, dia beberapa kali mampir ke ladang ini bersama dengan ayah Karen. Dialah Hans, sang pemilik hati Karen. Dia membantu perusahaan perkebunan, ladang dan peternakan keluarga Karen hingga mengalami kemajuan dan selalu meraup untung berlimpah setiap musim panen tiba.

***

Ketika hari beranjak siang, bahkan kami sempat tertidur di atas rumput, saat mulut mungil Karen asyik bercerita tentang kekasihnya di masa lalu, aku – Mykaela, membuka mataku lalu terbang ke tengah ladang untuk memetik setangkai tulip berwarna ungu. Aku kembali duduk di sebelah Karen. “ Wahai teman – temanku yang baik hati, seandainya saja kalian bisa membantuku, aku akan memintamu untuk terbang ke suatu tempat nun jauh di ufuk timur, dimana Hans sedang berada saat ini, aku ingin tau sedang apakah dia ? Apakah dia sehat – sehat saja tapi kenapa tidak pernah lagi menulis sepucuk surat buatku ? Apakah dia merasakan bahwa saat ini aku sedang menunggu kabar berita terbaik darinya ? Peri – peri bunga tulip, seandainya kalian bisa, aku ingin menjelma menjadi seekor putri lady bag, atau seorang anak dari raja capung, keluarga kupu - kupu, kunang - kunang atau apa pun yang memiliki sayap untuk terbang dan sepasang tanduk di kepala agar aku bisa melihat sebuah dunia nun jauh di atas langit. Dan aku akan terbaring tenang bila sudah melihatnya baik - baik saja. “

Ternyata keluh – kesah Karen didengar oleh seseorang yang bersembunyi di balik pohon apel, si penyihir baik hati, Gamilah. Malam ini Karen, aku berjanji akan menolongmu, aku akan membuatmu terbang ke suatu tempat dimana Hans sedang berada. Memastikan bahwa dia masih ingat dengan seorang kekasih lamanya, sehingga kelopak - kelopak tulip di ladang ini tak lagi berduka cita dan dibasahi oleh air matamu, kami berharap engkau ceria seperti hari – hari sebelumnya dan mulai membaca sepucuk surat lain dari seorang teman baru.

***

Senja pun tiba tanpa sebuah badai yang membuat hidup kami bertiga terbalik. Catalin dan aku menginap di kamar tidur milik Karen yang nyaman dan sangat luas. Lalu menjelang tengah malam, Gamilah menaburkan serbuk mimpi ajaib di sepasang kelopak mata Karen dan dua peri bunga, teman bermainnya sehari – hari. Serbuk mimpi ini berfungsi untuk menutup otak kecil manusia sehingga mereka bisa tertidur namun auranya membawa alam bawah sadar si manusia ke tempat yang ingin dikunjungi melalui mimpi. Tapi, Gamilah si pencipta serbuk mimpi ajaib ini tak bisa ikut serta ke dalam alam mimpi Karen, ia hanya menunggu di pinggir tempat tidur Karen hingga pagi menjelang, esok hari.

Satu ……… dua …….. tiga ……… suinggg, tongkat ajaib Gamilah membelah kesunyian kamar Karen, mereka bertiga tertidur pulas ! Nafas mereka bermain sangat teratur, turun – naik – turun – naik hingga akhirnya mereka mati suri.

Dalam mimpi Karen, “ Aku melihat Hans tertidur di sebuah kastil yang sangat besar, di atas kasur tertutup selembar sprei bersulam benang emas dengan selimut warna putih menyelimuti sekujur tubuh Hans kecuali wajahnya. Ruangannya remang – remang, hanya ada satu cahaya kecil dari sebuah lampu meja memberi petunjuk kepada mata hatiku, aku melihat sekelompok manusia mengenakan jubah berwarna hitam dan kaum wanitanya berkerudung putih, oh bunga – bunga tulip, aku juga melihat ayah dan bunda sedang menunduk dan khusuk membaca doa – doa pujian buat Hans yang sedang terbaring lemah di atas kasur, mereka sedang menangis. Seseorang telah tiada hari itu ! ”

Aku tersentak kaget ! Dadaku berdesir hebat, denyut nadiku berubah sangat cepat bak gelombang hujan yang deras menyerang tempat tinggal kami hingga merobohkan rumah kami yang sangat kokoh. Aku melihat beberapa orang mengusap air matanya dengan salah satu punggung tangan. Dan tiba – tiba aku merasa bersalah. “ Oh bunga tulip, aku bersyukur akhirnya bisa melihat wajah tampan Hans walaupun hanya dalam mimpi, begitu dingin dan pucat, tidak seperti terakhir kami berjumpa dalam perayaan Natal dan tahun baru yang lalu, segar dan penuh tawa canda. Tapi, kenapa kedua orangtua kami tidak bercerita tentang kondisi jantungnya yang mulai memburuk kepadaku ? Kenapa mereka menyembunyikannya ? Apakah mereka khawatir jika hati ini tidak kuat menerima berita duka itu ! “

Akal sehat dan perasaanku semakin panas, lalu jantungku seperti mau meledak. Karen ………. maafkan aku ………. maafkan kami, Karen bergumam sesuatu yang tak jelas, lalu ia pingsan !

***

Aku menggeliatkan kedua sayapku, aku baru saja terbangun dari sebuah tidur yang sangat panjang. Ketika pintu jendela kamar tidurku dibuka oleh seorang pelayan keluarga kami, sinar sang mentari pagi menerobos ke dalam, sayup - sayup kudengar doa seorang gadis yang suaranya tak asing lagi di telinga ini, suara Karen. “ Tulip, apakah engkau percaya keajaiban sebuah doa ? ” Karen memetik setangkai tulip berwarna merah muda yang kelopak bunganya kerap kami gunakan sebagai gaun malam untuk pesta – pesta kecil di ladang, sementara daunnya kami gunakan sebagai selimut tidur di malam hari. Aku mengerjapkan kedua mata ini beberapa kali namun tetap terasa kaku dan sembab, lalu aku terbang ke alam bebas, mencari Karen dan bersiap – siap mendengarkan kisah terbarunya.

“ Apakah engkau mau bermimpi lagi tentang kekasih lamamu yang kini sudah berbahagia di sorga ? “ tanyaku memulai sebuah percakapan ringan, di  bawah  sebatang  pohon  apel  di  pinggir ladang bunga milik ayah Karen, “ Tidak ! Aku bermimpi memiliki sepasang sayap seperti kalian, tapi terbuat dari kelopak bunga tulip berwarna putih, dengan rambutku berwarna perak, sangat panjang, ikal dan mempesona setiap mata laki – laki yang memandang. Aku akan terbang menuju kota yang setiap malam selalu bertabur sejuta bintang, Paris, kota yang ramai oleh klakson kendaraan bermotor. Sederetan lampu - lampu jalanan seperti berlomba dengan kerlip bintang dan kunang – kunang, siap melayani para pengunjung kota, apakah engkau bisa membayangkannya, Mykaela ? “

Aku menggangguk, “ Angin akan memberiku arah dan aku berhenti di sebuah taman bunga mawar di kota Keukenhof, aku akan berusaha mengetuk pintu hatiku paling dalam, tanpa bersuara bahkan suara angin di malam hari pun lebih keras terdengar daripada ketukan kedua tanganku. Aku berusaha mengintip ke dalam, dan ternyata ………. “ Karen menghela nafas dalam – dalam lalu melanjutkan kalimatnya, datar dan bening. “ Akhir hubungan kami seperti ini. “

***

Karen mengeluarkan sepeda dari garasi, di keranjang depan sepedanya dia meletakkan sebuah jaket rajut berwarna putih, sebuah topi lebar dari daun pandan berwarna krem, dan sebuah kotak besar berisi beberapa jenis bekal  makan  siang, “ Kau mau kemana, Karen ? ” ayah bertanya setengah berteriak ke arah putri semata wayangnya, beliau melihat Karen sangat cantik dalam balutan gaun musim semi berwarna oranye. Karen menghentikan langkahnya, menoleh ke arah sang ayah di teras rumah mereka yang sangat besar, “ Ayah, aku ingin berjalan - jalan ke ladang bunga untuk menjemput dua teman bermainku, Catalin dan Mykaela. Hari ini, kami akan ke kota untuk menonton festival bunga musim semi, aku akan melihat rangkaian paling menarik dari bunga – bunga tercantik di dunia, iris, anggrek, anyelir, mawar dan yang lainnya, boleh kan, Ayah ? ”

“ Ya, tapi janganlah pulang terlalu sore. “ mereka saling melambaikan tangan, Karen bersepeda menuju ke ladang tulip untuk menjemput kedua sahabat bermainnya, si peri bunga. Di kota, akan banyak dijumpai peri – peri bunga yang lain, mereka sangat indah dalam tubuh – tubuh mungilnya, sangat kecil beterbangan ke sana dan kemari, menikmati suasana meriah festival bunga – bunga tercantik di Eropa ketika musim semi tiba.

Karen memarkir sepedanya pada tempat yang aman, memakai mantel wol dan sebuah topi lalu membawa kotak makanannya dan memasuki gerbang taman bunga negeri dongeng, Greenland.

Suasana festival.

Para pengunjung mendapat sambutan hangat dari barisan gadis – gadis cantik dan sexy dari Belanda, juga ada beberapa barisan wanita - wanita muda yang berpakaian khas Polandia, membagikan setangkai bunga krisan pink kepada para penonton yang berdiri rapi di pinggir jalan utama yang dilalui oleh peserta festival. Tema parade taman bunga tahun ini berjudul Poland Heart of Europe, terfokus pada dua negara yaitu Polandia dan taman bunga Keukenhof yang menurut cerita legenda dari negeri para peri bunga, kota ini menyimpan tujuh juta jenis bunga dalam beragam bentuk, warna dan aroma, sehingga cukup terkenal dikalangan turis mancanegara, penggemar dan pengkoleksi tanaman hias dan bunga – bunga khas Eropa.

Menjelang siang hari, suasana semakin ramai, Karen melihat beberapa teman lama Mykaela dan Catalin terbang berputar - putar di sekitar lokasi festival, mencium harumnya wangi bunga dan menghisap manisnya sari bunga. Para pengunjung yang lain berjalan – jalan santai menyusuri barisan bunga – bunga tulip dan mawar, bergandengan tangan dengan suami atau kekasih mereka, sementara anak - anak kecil berlarian di lokasi festival, begitu riang dengan tumpukan tangkai -tangkai tulip dan jenis bunga lainnya, atau sepasang kekasih sedang menulis syair cinta pada lembar - lembar kelopak tulip putih sebagai tanda bahwa hari ini mereka sangat bahagia.

Hmmm … udara segar dan harum bermain – main di sekitar tempat kami berdiri, tak hanya dari aroma tulip, hidung kami juga tergelitik oleh aroma bunga lily, bouganvile pink, anyelir putih dan oranye, hortensia, mawar, gerbera, dan puluhan bunga anggrek dalam warna – warna paling cantik di dunia. Karen mengeluarkan kamera sakunya dan mengambil beberapa foto menarik, tiba – tiba ia memekik tertahan. “ Astaga ! ” Ia melihat seekor pangeran kupu – kupu jantan sedang hinggap di atas kelopak bunga mawar berwarna merah, melihat ke arahnya lalu berpose menarik bak seorang aktor, siap dibidik oleh kameranya. Karen memandang tajam kepada kedua mata pangeran, “ Siapakah anda ? Apakah anda adalah teman dari Mykaela atau Catalin ? “ “ Namaku adalah Severin, aku seorang pangeran dari negeri kupu – kupu, kerajaan kami berada di desa Faroe, berlokasi di kepulauan Faroe, Denmark, berdekatan dengan ladang bunga milik keluarga anda, putri Karen, aku juga teman dari Mykaela dan Catalin. “ “ Senang berkenalan dengan anda, pangeran. Apakah saya boleh mengambil sebuah foto kenang – kenangan dari anda ? “ “ Tentu saja ! “

***

Karen dan Severin menjalin sebuah pertemanan yang akrab sejak mereka pertama kali berjumpa di kota, bersama – sama sedang menonton festival bunga musim semi. Hal itu bukanlah sebuah berita yang mengejutkan bagi kedua teman bermainnya, sang peri hutan bisu dan si peri bunga tulip putih. Mereka adalah pasangan yang sempurna.

Sang pangeran adalah figur laki – laki yang mandiri dan penuh rasa tanggung jawab. Seperti syair indah yang dilantunkan oleh seorang nenek penyihir yang baik hati bernama Gamilah nun jauh di kaki bukit, di tengah hutan bunga liar, di dalam goa ajaib, Greenland. Setiap musim salju turun dan menjelang perayaan Natal dan tahun baru, ia kerap mengunjungi alam mimpi paling indah para bangsa peri dan gadis – gadis penghuni bumi, untuk berbagai keperluan, ia menjelma menjadi seorang bidadari pemetik harpa, lalu menyanyikan lagu – lagu Yunani kuno bernafaskan hasrat dan cinta :

Setitik nafasku dalam senandung rindu
Setiap detak jantung dan seribu getaran kasih serta sayang
Setiap denyut nadi yang melantunkan irama penuh cinta
Terasa sunyi, kesepian dan sendiri berpacu dengan aliran darah
Bak daun - daun eukaliptus berwarna – warni yang mau bernyanyi bersamaku
Dengan bebatuan menjembatani sungai – sungai kecil
Gemercik air terdengar kian merdu
Dimana sang jagad raya, riang menyambut sang mentari pagi
Slalu kurindukan, hanya kamu
Slalu kudambakan, hanya kamu
Slalu kutakutkan, hanya satu
Terpisah oleh waktu, jarak, dan dunia

Harpa merupakan salah satu jenis alat musik yang dimainkan dengan cara dipetik. Alat musik ini sangat disukai oleh para malaikat atau bidadari. Bentuknya indah, segitiga, tinggi dan langsing, pada umumnya berwarna emas serta memiliki beberapa helai senar. Kerap digunakan pada acara – acara pesta besar di sebuah keluarga kerajaan bangsa – bangsa Eropa kuno terutama Mesir dimana pertama kali alat musik ini diciptakan dan diperkenalkan kepada manusia penghuni bumi selain para malaikat, bidadari dan bangsa peri, bersamaan dengan orkes symphony untuk suara vokal, suara flute, atau bisa juga dengan suara jazz, bass dan drum. Sebuah harpa bisa dimainkan dengan tangan, ataupun dengan tangan dan kaki, seperti jenis pedal harp. Harpa dapat bermain secara solo, atau bisa menjadi bagian dalam sebuah ensemble. Secara keseluruhan, harpa bisa menciptakan sebuah dentingan yang sangat merdu dan mempesona.

Severin dan Karen senang bermain ke goa ajaib tempat Gamilah berstana. Hingga suatu hari, musim semi di negeri Sakura, mereka berdua akhirnya menyadari bahwa waktunya sudah tiba, jiwa mereka terjerat api asmara, tak lagi sekedar sebuah permainan, namun tlah melangkah jauh menggapai satu janji ! Gamilah menyetujui rencana pernikahan mereka, hal serupa juga dilakukan oleh Catalin, Mykaela, kedua orangtua Karen, para pekerja kebun di ladang tulip milik ayah Karen dan keluarga besar kerajaan kupu – kupu di negeri Greenland. 

Ketika mentari pagi mulai tersenyum di kaki langit, dan menampakkan sepasang sejoli sedang berucap akad pernikahan di depan altar gereja, dan mulai berucap janji sehidup semati dan resmi mengikat diri seutuhnya kepada sang pangeran pemilik hati, resmilah sebuah kehidupan baru dimulai dimana sang gadis telah berserah diri, sebuah konsekuensi dari cinta, sebagai wujud kebersamaan hati dalam mengarungi bahtera kehidupan baru, berjanjilah tuk katakan yang sejujurnya, bahwa kalian saling cinta.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

About The Author

Utamii 69
Expert

Utamii

Suka membaca dan menulis
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel