Akhir-akhir ini istilah bodong kembali mencuat dari bumi Cianjur, Sukabumi dan Bandung Barat, yakni terkait dengan yang namanya investasi bodong. Masyarakat terbuai dengan bujuk rayu dan iming-iming berupa arisan dan paket kurban. Hasil tak kunjung datang, penyelenggara menghilang.
Nyatanya, ini bukan kali pertama investasi bodong itu memakan korban. Investasi bodong memang marak karena masyarakat memang menikmatinya yang namanya sensasi bodong. Tak mengenal latar belakang pendidikan tinggi atau tak berpendidikan sama sekali, korbannya terbuai dengan iming-iming untung besar atau kaya dengan cara cepat.
Siapa sih yang tidak tertarik dengan yang namanya untung besar atau cepat kaya dengan cepat? Di hadapkan pada hal-hal yang demikian, latar belakang pendidikan tak berpengaruh sedikit pun. Toh, korban dalam banyak kasus investasi bodong tidak sedikit yang pendidikannya tinggi.
Mau sekolah tinggi atau tidak sekolah, pada dasarnya masyarakat kita itu boleh dikata gampang hilang nalar berpikirnya ketika dihadapkan dengan yang namanya iming-iming untung besar dan cepat kaya.
Terbius bujuk rayu karena sudah pingin atau ngebet untung besar dan cepat kaya, orang berbondong-bondong menyerahkan dana yang dimiliki. Apa mau dikata, bukannya untung malah buntung, istilah yang kerap diidentikkan dengan investasi bodong.
Boro-boro modal kembali, orang yang selama ini jadi tumpuan investasinya menghilang bak ditelan bumi. Sembunyi. Modal yang disetor ikut tertelan bumi. Mimpi untung besar atau mendadak kaya itu pupus. Korban hanya bisa gigit jari.
Begitulah, sensasi investasi bodong. Nikmat di awal, nyesek di akhiran. Nikmat di awal karena bayangan cuan besar dan mendadak kaya, nyesek di akhiran karena semuanya musnah tanpa sisa sedikit pun.
Bodong memang bukan kondisi normal, seperti halnya pusar bodong sebagai hernia umbilikalis (umbilical hernia) yang beralih makna menjadi negatif begitu didekatkan dengan bidang lain.
Saat didekatkan dengan dunia otomotif, masyarakat mengenal dan menikmati yang namanya mobil atau motor bodong yang tanpa surat-surat lengkap. Lalu ke ranah pendidikan muncul kampus bodong yang dekat dengan kampus yang mengeluarkan ijazah dan gelar bodong.
Sensasi bodong digemari masyarakat tentu karena keuntungan lebih yang didapatkan atau bisa jadi karena masyarakat pada dasarnya memang suka dengan apapun yang bertone palsu, ilegal dan tak berizin?
Pun dalam investasi bodong yang tiap tahun selalu muncul dengan modus-modus terbarunya, sebenarnya kalau ditelisik lebih mendalam akan didapati kalau mereka ini biasanya ilegal alias tak berizin. Mereka hadir dengan modus dan rayuan mautnya.
Selain penting untuk mewaspadai bujuk rayu untung besar atau cepat kaya dalam waktu singkat, penting juga untuk mengecek legalitas usaha dari investasi yang ditawarkan. Secara hukum penting juga dipertanyakan jika investasi yang ditawarkan tidak terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Mengecek izin usaha dan badan pengawasnya menjadi salah satu jaminan keamanan investasi yang hendak diikuti. Legalitas penting supaya investasi yang dilakukan benar-benar akan menghasilkan alias tidak menghilang begitu saja.
Contoh investasi yang legal dan badan pengawasnya jelas adalah investasi pasar modal yang menawarkan keuntungan yang wajar dan diselalu diingatkan akan risiko ruginya karena dalam investasi di pasar modal berlaku prinsip high return high risk.
Tak selebay janji-janji kepastian akan keuntungan yang ditawarkan investasi bodong, investasi di pasar modal mulai, entah reksa dana maupun saham mudah dilakukan karena sudah berbasis aplikasi semisal aplikasi IPOT besutan Indo Premier Sekuritas.
Investasi legal dan berbadan pengawas jelas ini melihat risiko kerugian sebagai sensasi yang justru harus ditundukkan demi cuan. Cara menaklukkannya tentu saja dengan nalar yang bisa terus diupgrade dengan analisis fundamental dan teknikal yang makin mudah dipelajari kapan saja dan dimana saja di tengah pandemi Covid-19 ini. Bagaimana pun mau investasi yang legal atau illegal itu pilihan yang mensyaratkan nalar. Sudahkan menyiapkan nalar?