Mau sampai kapan menganggap aturan dibuat untuk dilanggar? Padahal bila kita semua patuh, 14 hari virus Corona sudah keok. Insya Allah.
Hai kalian semua, kapanpun kalian baca tulisan ini. Ketahuilah Indonesia dan dunia secara keseluruhan sedang berjuang menghadapi ancaman virus menular bernama Covid-19. Dan kondisi demikian diperkirakan akan berlangsung lama hingga 2021. Sementara sekarang belum setengah tahun 2020 belum terlewati. Suatu masa sulit yang mesti dihadapi dengan pembatasan dan protokol kesehatan cukup ketat.
Biar tulisan ini menjadi salah satu bukti betapa sebagian warga Indonesia (yang di luar negeri dianggap orangnya ramah) ternyata bar-bar juga. Bandel, acuh, egois dan tidak mau ikut aturan. Jika alasannya untuk bekerja atau urusan penting, mungkin orang masih akan maklum jika ternyata masih banyak yang keluyuran ditengah Pandemi.
Tapi bila ternyata untuk urusan selebrasi atau perayaan semata. Suatu kegiatan yang sebenarnya masih bisa tiadakan. Bukan malah berkerumun di restoran cepat saji yang akan tutup, juga berjubel di mall dan sebagainya. Coba bayangkan di kerumunan itu ada satu atau dua orang saja Orang Tanpa Gejala (OTG) Covid-19, apalagi sampai si OTG tadi bersin ditengah kerumanan tersebut. Kelar hidup lo!
Namun tenang saja. Buat kamu yang merasa sering melanggar aturan protokol kesehatan ataupun PSBB terkait Covid-19. Ini semua bukan sepenuhnya salah kalian kok. Kalian begitu, saya yakin karena ketidaktahuan kalian.
Terus ini salah siapa? Gak ada yang salah. Juga gak ada yang benar. Kita selama ini terbiasa mempelajari dan membiasakan terhadap suatu hal yang baru secara bertahap. Umumnya manusia begitu saya pikir.
Namun datanglah wabah penyakit virus Corona. Seketika dalam waktu saat ini juga, kita semua harus bersiap meskipun tidak pernah siap. Mempelajari banyak hal baru dan istilah dalam waktu singkat. Apa coba itu pandemi, psbb, new normal, otg dan sebagainya?
Tapi saya pikir sampai detik saya menulis ini, tak semua orang paham betul apa itu Covid-19. Belum lagi bersiap dengan kondisi tidak menentu seperti sekarang. Ekonomi misalnya. Meskipun belakangan sedikit membingungkan, katanya kesulitan ekonomi tapi bisa borong ke Mall.
Barangkali, sesulit-sulitnya ekonomi. Masih lebih sulit meninggalkan sebuah tradisi yang sudah sangat mengakar sejak lahir ini.Â
Â
Jadi apasih sebenarnya penyebab banyak orang Indonesia yang mau ikut aturan pencegahan Covid-19?
Saya awalnya bingung ini kenapa. Namun belakangan mulai paham setelah merasakan apa yang terjadi di sekitar saya. Gambarannya seperti fenomena gunung es. Di permukaan memang sudah terlihat dengan bagus. Berbagai imbauan, kampanye dan kepedulian sosial terhadap dampak penyebaran Covid-19 dari pemerintah dan berbagai pihak lainnya. Sebagaimana terlihat di media. Tapi entah kenapa pesannya itu belum sampai pada kesetiap lapisan masyarakat.
Karena saya dari kalangan masyarakat biasa. Maka saya sampaikan saja apa yang saya rasakan dari sana. Bahwa persepsi usang tentang "aturan dibuat untuk dilanggar" masih berlaku. Kemudian aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) bukannya dipatuhi tapi diakali. Apalagi cuma yang sifatnya himbauan dari pemerintah dan pihak terkait, masih ada orang-orang yang menganggapnya sebagai angin lalu. Mungkin dikira karena yang kasih imbauannya tidak tatap muka langsung (hanya lewat media massa). Maka tidak ada kewajiban untuk mematuhinya. Terkadang memang ada sifat manusia yang perlu didatangi dan dikasih tahu secara satu per satu, bahkan diperlukan sedikit penekanan baru dia bisa paham.
Perlu kamu tahu, sebagian besar masyarakat dari yang saya amati. Masih menganggap bahwa aturan PSBB beserta prokol kesehatan terkait Covid-19. Tak ubahnya seperti razia lalu lintas. Takutnya sama petugas PSBB, bukan sama penyakitnya.
Okelah jika selama ini kalau razia lalu lintas, kita takut sama polisi. Karena kepentingannya selain keselamatan berkendara, juga terkait penerimaan negara dan kecurigaan pada oknum nakal. Tapi kalau aturan PSBB ini murni kepentingan bersama. Ruang gerak kita dibatasi guna memutus penyebaran virus Corona.
Ya jadi gitu. Mindset masyarakat yang sejauh saya amati kira-kira seperti itu. Padahal kalau kita melanggar aturan protokol kesehatan Covid-19, yang sakit kita sendiri dan menyusahkan banyak orang.
Kemudian mindset lainnya yang ada di masyarakat belum sejalan dengan "the new normal" Covid-19. Alhamdulillah, sejumlah orang sudah paham dan biasa dengan pakai masker, jaga jarak, cuci tangan dan sebagainya. Namun sebagian masyarakat lainnya belum begitu. Menjalankan protokol kesehatan terkait Covid-19 itu dirasa kikuk dan aneh. Karena lebih banyak yang tidak patuh, dibanding yang patuh.Â
Setidaknya begitu yang saya rasakan. Masih banyak yang acuh dan terkesan meremehkan. Lebih dominan "rasa-rasa" dibanding akal; "rasanya aman-aman saja kok".
Begitu juga saat hari Lebaran di masa Pandemi Covid-19. Rasa untuk merayakan Lebaran seperti biasanya lebih kuat dan mengakar. Perkara penyakit belakangan. Karena merasa aman dan sehat. Lagi-lagi karena "rasanya".
Dilema bagi mereka yang ingin merayakan Lebaran sesuai protokol kesehatan; e-sungkeman, dirumah aja dan tidak kemana-mana. Pasti akan dihadapkan pada cibiran; "Lebaran kok gak kemana-mana, umur sudah ada yang atur. Takut banget mati".
Itulah kira-kira yang saya rasakan di lingkungan sekitar dan diamati dari media sosial. Jika hal tersebut terus terjadi dan di banyak tempat. Maka patut saja banyak orang Indonesia yang melanggar aturan PSBB maupun protokol kesehatan Covid-19.
Mungkinkah ini yang dinamakan demokrasi. Suara yang terbanyak, maka itu yang diikuti tanpa memperhatikan kebenarannya. Kita terlalu terbiasa dengan kedigdayaan mayoritas. Jika keluarga, teman dan lingkungan mengatakan setelah A itu C, maka kuasa untuk melawannya susah sekalipun itu jelas salah.
Jadi meskipun cara memutus penyebaran virus Corona ini butuh kekompakan. Tapi apa boleh buat jika orang masih tak peduli. Terpenting ialah kuatkan diri sendiri dan orang terdekat bahwa kita mampu. Ya kita kasih contoh saja sama orang lain. Terkadang orang-orang suka gitu, jika cuma sekedar himbauan gak peduli. Tapi jika sudah ada contoh dan banyak kawannya, baru rasa kesadaran itu muncul. Insya Allah.