PENCA SUNDA SEBAGAI IDENTITAS DAN FILOSOFI KASUNDAAN

2 May 2020 16:20 8960 Hits 1 Comments Approved by Plimbi
Pencak silat

Oleh: Ira Indrawardana (Dosen Departemen Antropologi FISIP Unpad) Budaya Menca atau Penca (tanpa pencak dalam bahasa Indonesia) atau budaya seni dan beladiri khas urang Sunda atau etnik Sunda sudah lama berkembang selama berabad-abad lamanya. Kalau kita simak pasukan jagabaya pada jaman kerajaan Sunda dan Galuh diterangkan bahwa kerajaan-kerajaan tersebut memiliki pasukan berani mati yang dikenal pasukan bala sarewu.

Pasukan kerajaan-kerajaan tersebut yang mustahil kalau tidak memiliki kemampuan ilmu beladiri yang dikenal sekarang sebagai budaya menca atau pencak silat. Kalau kita simak cerita pantun sebagai bagian warisan tradisi lisan atau budaya tak benda masyarakat Sunda yang bersifat buhun atau kuno, maka dalam cerita pantun pun dikisahkan pasukan kerajaan zaman Prabu Siliwangi yang sangat mahir dan menguasai ilmu beladiri pencak silat Sunda.

Jika ditelusuri, kata Penca telah tertulis pada Naskah Kidung Sunda (Bale Pustaka, Jakarta, 1976 dalam Fadillakusuma,2006) halaman 99 bait ke-6 yang tersusun dalam Pupuh Pucung sebagai berikut: Puluh-puluh rombongan henteu kaitung Tujuh rupa penca Nu ulin pakarang bae Lain deui bangsa serimpi badaya Dahulu bahkan sampai sampai sekarang , di kalangan masyarakat Sunda masih ada yang berpendapat atau menyebut budaya menca ini disebut dengan istilah menpo atau maenpo yang berasal dari ungkapan singkatan maen poho (maen=main, gerak, aktivitas..poho=lupa,kosong).

Bisa jadi bahwa budaya menca atau menpo ini sebagai budaya seni beladiri khas urang sunda yang bersifat menggunakan tangan kosong alias tanpa senjata atau tanpa alat bantu (golok, tri sula, dan tombak). Selain maenpo ada yang menyebut dengan ulin usik (permainan gerak gerak olah tubuh) , atau ameng (main atau bermain-arti secara harfiah). Selintas kalau menyimak dari beberapa sebutan tentang istilah budaya pencak (pencak silat) di kalangan masyarakat tatar Sunda itu, maka bisa dikatakan bahwa budaya pencak silat sebagai bagian olah tubuh yang bersifat menyenangkan, rileks atau menenangkan, sarat unsur hiburan atau seni meski demikian tidak lepas dari unsur ketangkasan bela diri yang membutuhkan kekuatan fisik dan keseriusan berlatih. Menca atau Penca ketika dipandang sebagai suatu budaya maka hal tersebut telah membudaya atau menjadi kebiasaan dan kebiasaan masyarakat pengusung budaya menca tersebut, dalam hal ini masyarakat Sunda atau urang Sunda.

kebiasaan menca itu berlangsung mulai dari kanak-kanak sampai orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan. Bisa jadi budaya menca itu sendiri tidak secara sengaja dibuat atau diciptakan tetapi sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Sunda masa lalu sebagai upaya memenuhi kebutuhan kenyamanan dan keamanan kehidupan dari gangguan lingkungan alam. Pada perkembangannya, kemudian budaya menca seolah hanya dikembangkan dalam budaya golongan masyarakat kelas tertentu, para ksatria, pasukan tentara kerajaan atau raja sekalipun. Dalam perkembangan kemudian golongan masyarakat yang secara khusus mengembangkan atau dalam bahasa Sunda dikenal istilah ngamumule atau ngarumat yaitu menjaga dan melestarikan budaya menca ini dikenal sebagai golongan para jawara.

Meski demikian, tidak berarti bawa budaya menca hanya milik para jawara atau kalau ada masyarakat yang bisa dan menggemari maen penca kemudian disebut jawara. Jawara sendiri mempunyai arti juara, yang mendalami agama dan sikap-sikap yang kepahlawanan serta semangat juang yang tinggi Pada awalnya, bisa diperkirakan bahwa gerak menca itu tidak berpola alias suka-suka menurut âpemain penca.

Konon menurut cerita para ahli penca kekinian, bahwa gerak penca dahulu banyak mengikuti atau belajar dari gerak alam atau fenomena alam air, angin dan sebagainya termasuk meniru gerakan binatang. Sebagaimana umumnya makhluk hidup, baik manusia maupun hewan akan berusaha untuk tetap survive atau eksis agar tetap terjaga keberlangsungan kehidupannya, maka masing-masing makhluk hidup tersebut, khususnya hewan nampak menunjukkan sikap perlawanan terhadap gangguan hewan lainnya atau menyerang hewan lainnya dengan cara dan gaya masing-masing hewan tersebut.

Dalam kaitan dengan inilah maka dalam ilmu penca Sunda dikenal jurus-jurus yang meniru gaya hewan dalam menyerang atau mempertahankan hidup dan kehidupannya dari serangan lawan atau hewan lainnya.

Dikenalah jurus pa macan, Jurus pa monyet, jurus jatayu/garuda, jurus pa oray (ular) dan sebagainya. Kalangan jawara tau orang-orang yang bergelut di dunia persilatan suka menyebutnya dengan jurus-jurus buhun (masa lalu/kuno). Pada perkembangannya juga budaya menca tidak hanya terkait jurus-jurus yang meniru gerak tingkah laku hewan saja, tetapi juga tumbuh gerak-gerak yang bersifat khas berdasarkan penemuan tokoh-tokoh penemu jurus-jurus penca tersebut, yang kemudian dikenallah beberapa aliran penca atau aliran-aliran pencak silat. Beberapa aliran penca sunda yang berkembang diantaranya; aliran Cimande dan aliran Cikalong dan sebagainya.

Dalam tradisi ilmu beladiri Sunda, yaitu penca atau pencak silat Sunda yang menarik dan berbeda dengan ilmu beladiri dunia pada umumnya adalah adanya iringan waditra karawitan atau alat musik karawitan yang terdiri dari 2 (dua) buah kendang besar (patingtung) dan 2 (dua) buah kendang kecil ( kulanter). Kendang-kendang ini bertugas mengisi gerak serta mengatur tempo, sedangkan terompet sebagai melodi , gong kecil sebagai pengatur irama. Jenis Irama pada dasarnya ada empat yaitu tepak dua, tepak tilu, golempang, padungdung.

Dalam ibing penca sikap dan gerak dilakukan untuk kenikmatan penari yang bergerak mengikuti irama karawitan dan untuk kenikmatan yang menonton ibing penca. Berdasarkan koreografi, ibing pencak sangat kaya kreatifitasnya pada masing-masing perguruan penca. Karena tiap paguron penca memiliki gerakan ibing penca yang berbeda walaupun berpatokan pada irama yang sama. Dapat dipahami, ibing penca merupakan tari yang paling populer dan paling banyak penggemarnya di Jawa Barat dan Banten. Penca menurut kamus umum Basa Sunda LBSS adalah ngaran sarupa seni gerak badan pikeun ngabela diri.

Secara terjemahan bebas berarti nama seni gerak badan yang bertujuan untuk membela diri. Menurut Adil A. Fadilakusumah (2006) bahwa penca merupakan pengerahan kekuatan-kekuatan jiwa dan raga untuk membela diri. Dalam penca terdapat unsur pengerahan kekuatan jiwa berupa pengerahan kekuatan akal(rasio), daya khayal(imajinasi), perasaan (emosi) dan kemauan.

Seluruh kekuatan itu diolah sedemikian rupa sehingga melahirkan gerakan-gerakan jurus bela diri. Dalam konteks ruang dan waktu, penca Sunda sarat makna dengan nilai-nilai sejarah, falsafah dan sosiokultural Sunda. ketika penca pun berkembang di kalangan pesantren misalnya, maka nilai-nilai agama (Islam) pun mewarnai nuansa gerak dan etika penca. Menurut Guru Besar Silat Tajimalela (Alm) Iyan Kusumahdinata, justru paripurnanya ilmu penca Sunda adalah dalam kepasrahan kepada Sang Pencipta. Seorang yang menggeluti atau mempelajari dunia persilatan Sunda atau penca harus bisa menjadi MAUNG atau Manusa Unggul.

Unggul dalam konteks ini sebagai petarung, yang paling utama adalah harus mampu atau unggul memerangi hawa nafsu. Memerangi hawa nafsu dalam hal ini menurut ajaran Sundawiwitan yaitu manusia harus memiliki jiwa wiwaha yuda na raga atau memiliki jiwa pertimbangan yang matang dalam setiap mengambil segala keputusan atau bersikap. Hal ini mengingat ada peribahasa Sunda juga yang mengatakan: sagagah-gagahna maung moal nyorang pibahalaeun, yang artinya segagah-gagahnya harimau tidak akan mendekati marabahaya.

Sebagai seni bela diri, menurut Fadilla kusuma (2006), bahwa sudah tentu di dalam penca ketangguhan jasmani sangat diperlukan, artinya pula seorang pemain penca harus unggul dalam kesehatan jasmaninya. Dalam hal ini maka siapapun yng belajar penca maka dia secara langsung atau tidak langsung akan dibentuk menjadi pribadi-pribadi yang sehat secara fisik. Namun bersamaan dengan penempaan jasmani, para guru penca juga menempa potensi-potensi rohani murid-muridnya.

Bahkan kadang secara khusus Sang Guru suka memilih beberapa murid terpilih untuk ditempa secara kebatinan khusus sebagai peningkatan penempaan potensi kerohaniannya. Dilihat dari dimensi etika, secara filosofis dalam budaya penca menerapkan kebiasaan berdoa sebelum dan sesudah menca atau bertarung. Mengenai doa-doa atau babacaan doa masing-masing guru penca mempunyai babacaan doa, mantra atau jampi-jampi tersendiri (private space). Namun demikian konon menurut para saehu atau guru penca justru doa pesilat atau jawara atau pemain penca sebelum bertarung (atau ketika akan bertanding misalnya) maka etika doanya adalah kurang lebih mendoakan agar pribadi dia dan orang lain (lawan) yang diajak bertarung itu agar sama-sama selamat. Diantaranya ada pula ungkapan sebagai berikut; mun ampun teu meunang ampun, eleh teu meunang eleh, kakara ngalawanÃ(artinya; kalau takluk tidak boleh takluk, kalau kalah tidak boleh kalah, baru kemudian melawan) atau papada manusa baroga rasa, urang diteunggeul nyeri, batur oge diteunggeul nyerieun (artinya: sesam manusia sama-sama memiliki rasa, kita dipukul sakit, orang lain dipukul juga pasti kesakitan.

Maka dengan demikian jampi-jampi dalam penca Sunda yang suka diungkapkan/ dipetuahkan oleh para guru penca adalah batur usik urang anggeus. Ungkapan terakhir ini memiliki makna yang dalam bagi kehidupan dan tidak mudah untuk dilaksanakan. Karena hakekat dari ungkapan ini adalah sebaik-baiknya petarung silat atau pemain penca adalah mereka yang mampu menghindari suatu pertarungan atau perkelahian (konflik).

Artinya pula disini menegaskan bahwa penca dalam Budaya etika Sunda bukan untuk gagah-gagahan atau untuk dijadikan sebagai kesombongan apalagi untuk menghina orang lain atau lawan.

Seperti ada ajaran Sunda Wiwitan yang terkait hal ini pula adalah:teuas peureup, tapi lemes usap ( yang artinya secara harfiah keras kepalan tangan tapi halus/santun menjamah orang) yang mengandung makna bahwa meskipun seorang pemain penca itu harus memiliki kepalan tangan yang keras untuk memukul roboh lawan, tapi ada yang lebih penting dari hal itu yaitu keras dan teguh pada pendirian alias harus memiliki keteguhan jiwa dengan tetap bersikap ramah dan tepa salira terhadap sesama.

Kondisi sebagaimana yang diutarakan diataslah, maka penca menurut penulis dianggap sebagai ilmu bela diri bertahan (defensive) bukan ilmu bela diri menyerang (opensive). Apalagi dikuatkan dengan adanya tradisi ibingan penca yang diiringi waditra kendang, tarompet dan goong kecil yang dominan sehingga penca yang gagah, garang atau lincah tapi kuat itu menjadi suatu seni bela diri yang menarik untuk dipertontonkan.

Bahkan ada juga penca yang diiringi dengan alunan musik kecapi dan tarawangsa. Namun demikian sebagai seni pertunjukan/ tontonan, penca Sunda sarat dengan nilai-nilai tuntunan di dalamnya, yang mengarahkan manusia agar selalu berserah diri dan yakin terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai ajaran keyakinan yang dianutnya.

Selain itu nilai-nilai tuntunan penca juga sarat dengan filosofis etika perikemanusiaan, agar para pesilat atau pemain penca menyadari hakekat diri sebagai manusia yang harus mengembangkan sikap santun dan tenggangrasa kepada sesama manusia dan lingkungan alamnya.

Simpulan Penca Sunda pada awalnya terbentuk sebagai gerak suka-suka dengan cara meniru alam sekitar (termasuk cara survival/mempertahankan kehidupan para hewan) dalam upaya manusia Sunda bertahan menghadapi segala bentuk gangguan dari lingkungan. Namun kemudian penca berkembang sebagai bagian pengendalian diri dan sosial untuk menjaga keharmonisan dalam kaitan hidup antar sesama manusia dan lingkungan alam.

Penca terbagi dua dalam impelementasinya, yaitu yang bersifat private (sebagai bagian pembentukan karakter, kualitas dan potensi diri, serta menjaga eksistensi diri dari marabahaya sekitar) serta yang bersifat non private (sebagai tontonan yang bersifat menghibur baik bagi diri maupun publik dalam bentuk gerak seni ibing penca dan seni bela diri).

Baik yang bersifat privat dan non privat, pada dasarnya penca membutuhkan keseriusan dalam olah tubuh atau fisik, dengan tetap menjaga stamina dan ketangkasan tubuh yang dibarengi dengan penguatan spiritual dan pengendalian emosi.

Sebagai cabang olah raga, maka penca Sunda dapat diajarkan dalam bentuk kegiatan kompetisi antar padepokan atau perguruan baik dari tingkat lokal sampai internasonal. Namun demikian pada hakekatnya penca Sunda sebagai ilmu bela diri yang cenderung bersifat bertahan atau menguasai ilmu pertahanan dari serangan lawan. Namun demikian bukan berarti pula ilmu penca Sunda tidak mampu mematahkan atau menumpas serangan lawan (dalam konteks pertarungan).

Tags

About The Author

Wahyudin 37
Ordinary

Wahyudin

Wahyudin Jurnalist Bandung
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel