Ketika berkunjung ke Desa Getas ,Kecamatan Kaloran ,Temanggung ,Jawa Tengah toleransi yang seutuhnya masih bisa dijumpai pada masyarakat desa yang berada dikaki Gunung Sindoro ini.Kebersamaan dan kerukunan masyarakat Desa Getas masih terjaga dengan baik hingga saat ini.Â
Masyarakat Desa Getas sebagian warganya menganut beberapa keyakinan ada berjumlah 1.481 jiwa beragama Budha kemudian sisanya beragama Islam berjumlah 1.742 jiwa sebagian beragama Kristen Protestan 769 jiwa serta sebagian lagi beragama Kristen khatolik 12 jiwa hingga akhirnya masyarakat desa Getas sering disebut sebagai Desa Pluralis.
Desa yang terletak di Lereng Gunung Sindoro ini seolah menjadi Indonesia mini yang menjunjung tinggi toleransi dan persaudaraan. Di kawasan Desa Kemiri ini 3 rumah ibadah yang jaraknya saling berdekatan : gereja Isa Al-Masih berjarak 500 meter dari gereja Sidang Jemaat Allah dan 150 meter terdapat Mushola Al-Iman kemudian 250 meter ada gereja Pantekosta .Tak jauh dari gereja Pantekosta berdiri Vihara Dharma Sasan .
Tempat ibadah yang ada di Desa Getas yang saling berdekatan tidak membuat perpecahan akibat dari perbedaaan keyakinan .Beda keyakinan membuatnya mereka sadar akan arti hidup yang sebenarnya terlihat dari toleransi yang seutuhnya masih tetap terjaga dengan harmoni dan damai.
Toleransi masyarakat Desa Kemiri demikian tinggi, meski berbeda keyakinan dan rumahnya saling berdekatan kata Dwiyanto yang juga pemuka agama Budha di Dusun Kemiri warga saling menghormati ketika pemeluk agama satu dan lain melaksanakan ibadah.
Â
Kehidupan beragama di Desa Kemiri terjalin dengan baik ,rukun dan damai tidak ada konflik antar warga yang bersumber dari agama. Warga desa Kemiri tidak pernah memaksa suatu keyakinan kepada individu lain.
Masyarakat Desa Kemiri memiliki kebebasan dalam memilih keyakinan. Kebebasan beragama dan kerukunan antar umat beragama tercipta secara alami turun temurun dari generasi ke generasi hingga sekarang.
Toleransi yang utuh mampu menciptakan pluralitas agama dikalangan masyarakat Desa Getas.Toleransi dan pluralitas demikian tinggi di Desa Kemiri dilihat dari jumlah tempat beribadah berimbang, letaknya yang berdekatan dan tidak ada lagi mayoritas maupun minoritas di desa ini.
Tingkat pluralitas agama tidak hanya terjadi pada tingkat masyarakat, tetapi juga terjadi pada keluarga dimana satu keluarga beda agama misal :orang tua beragama Budha hidup seatap dengan anak, cucu ,menantu yang beragama Islam atau Kristen. Seorang kakek beragama Budha biasa mengantarkan cucunya pergi mengaji ke masjid.
Atau seorang anak beragama Budha mengantarkan ibunya yang beragama Islam ke pengajian desa sebelah menjadi pemandangan indah .Berbeda agama bagi Suparmin yang mantan sekretaris Desa Getas dan pemuka agama Budha di Dusun Kemiri menyebutkan justru saling menguatkan dan saling mengingatkan.
Pendapat lain yang berasal dari Badri berasal dari Dusun Kemiri yang keluarganya penganut agama Islam,Kristen dan Budha juga menyebutkan berbeda dalam keluarga menjunjung tinggi toleransi.
Beda keyakinan menjadi sumber semangat dalam menjalani hidup dengan hidup gotong royong dan menyulam kebersamaan menjadi ciri khas masyarakat Desa Kemiri, meski berbeda keyakinan dan budaya tidak membuat mereka terpecah belah.Hidup rukun dan saling menolong terlihat jelas saat pembangunan tempat ibadah.
Hampir semua penduduk desa turun tangan bergotong royong bahu-membahu kerjasama membangun tempat ibadah dari membantu tenaga ,makanan dan lainnya agar tempat ibadah yang mereka bangun cepat terwujud .Mereka semangat gotong royong membangun tempat ibadah tanpa membedakan budaya dan agama.
Ketika hari raya tiba kebersamaan masyarakat di Desa ini tetap terjaga kendati yang mereka rayakan adalah hari besar agama lain seperti saat lebaran tiba masyarakat saling mengunjungi dan saling berbalas makanan satu sama lain.
Demikian juga saat hari Natal, Waisak dan hari raya lainnya mereka akan melakukan hal yang sama. Ketika hari natal tiba warga muslim dan Budha dengan senang hati mendirikan tenda bahu membahu untuk kebaktian atau misa Natal bagi umat Kristen.
Setiap perayaan agama yang ada di Desa Getas kata Pendeta Yunius Suramin dilakukan bersama-sama dengan mengundang tokoh agama.
Toleransi utuh juga bisa dijumpai saat pembangunan gereja di Dusun Plorot ,Desa Getas beberapa warga non Nasrani dengan suka rela menawarkan bantuan tenaga sebagai wujud kebersamaan.
Toleransi yang seutuhnya, kerukunan hingga tercipta pluralitas agama pada masyarakat Getas sebagaimana dikatakan Kepala Desa Getas Dwiyanto yang menyebutkan kehidupan beragama telah ada sejak ratusan tahun yang lalu.Kerukunan antar umat beragama dilingkungan Dusun Kemiri telah mendarah daging dalam kehidupan sehari-hari.
Kebersamaan terjalin selama ini, karena ada toleransi yang tinggi hingga bisa hidup damai berdampingan.
Toleransi dan kerukunan antar warga berdampak luarbiasa terhadap pola hidup masyarakat di Dusun Kemiri, Desa Getas sehingga muncul ciri khas atau tradisi unik masyarakat Kemiri salah satunya keunikkan berbusana.
Cara berbusana masyarakat desa Kemiri ini memang unik yaitu jilbab .Jilbab selama ini simbol bagi muslimah, tetapi hal ini nyaris tidak berlaku bagi di Dusun Kemiri. Pasalnya kaum perempuan di Dusun Kemiri yang beragama Budha dan Kristen biasa berpakaian muslim lengkap dengan jilbab.Â
Alasan kaum perempuan di Dusun Kemiri memakai jilbab bukan menutup aurat ,melainkan agar tidak kedinginan saat ke pasar waktu subuh.
Atau peci dan sarung cirikhas pakaian muslim kaum laki- laki pun sudah biasa dipakai oleh pemeluk agama Budha dan Kristen di Dusun Kemiri saat malam hari atau acara resmi lainnya.
Toleransi yang utuh di Desa Getas, Kecamatan Kaloran ,Temanggung ini menjadikan desa Getas sebagai desa penjunjung toleransi dilereng gunung dan menjadi Desa Pluralitas di Temanggung.
Kegiatan budaya yang ada di Desa Getas seperti tradisi nyadran yang biasanya digelar masyarakat muslim jelang bulan ramadhan kemudian kegiatan budaya tersebut diwujudkan dalam Nyadran Lintas Agama.
Tradisi nyadran sebagai temoat mempererat persaudaraan dan juga meningkatkan toleransi antar umat beragama.Hal ini juga terjadi saat tradisi peringatan 1 Muharam yang dihadiri semua warga baik penganut agama Islam,Kristen dan Budha.
Perayaan peringatan 1 Muharam dilakukan di sebuah kuil Budha yang berada di sebuah puncak bukit kecil yang disebut Bukit Watu Payung. Kokohnya pondasi toleransi beragama di Desa Getas membuat isu-isu sensitif terkait fanatisme keagamaan tidak lagi ada di desa ini.
Toleransi yang seutuhnya di Desa Getas demikian tinggi dengan keunikan, kebersamaan dan kemajemukannya seperti  yang dimiliki Indonesia menjadikan desa ini sebagai Indonesia kecil. .