Menanggapi soal fenomena kemunculan kerajaan palsu baru-baru ini yang bikin geger publik Indonesia. Semoga kita semua sepakat jika hal itu hanya sebuah imajinasi belaka.
Kita sadari, setiap orang didunia tidak mungkin selalu satu frekuensi satu dengan yang lainnya. Antar saudara juga lumrah terjadi beda pendapat.
Namun dalam kondisi ekstrim. Kita akan dihadapkan pada perbedaan pendapat yang jauh berbeda. Dapat mengusik akal sehat dan susah diterima logika.
Mendengar perdebatan di sejumlah tv nasional baru-baru ini antara petinggi "kerajaan baru" dengan narasumber terkakit. Agaknya seperti sesuatu yang buang-buang waktu. Karena idealnya sebuah dialog mesti berlandaskan ilmu pengetahuan dan logika yang baik. Jangan sampai pembicaraan itu arahnya kemana-mana, yang dengarnya juga pusing.
Tapi kok ya tetap diangkat juga ke media. Meski sebenarnya juga gak apa. Mungkin agar publik tahu bahwa logika bisa dengan mudah dikalahkan oleh imajinasi bila bekal ilmu yang dimiliki kurang. Agar kita tahu tingkat imajinasi saat ini jauh lebih tinggi dari apa yang kita  bayangkan.
Beruntung bagi kita yang tidak ikut larut argumen yang menjadi pembenaran dasar berdirinya kerajaan. Rasanya gak perlu kita menjelaskan fakta sejarah pada orang yang berhalusinasi.
Menariknya disini, video-video viral tentang kerajaan palsu ini sebenarnya sudah ada tidak baru-baru ini saja. Tapi seolah dinaikkan kembali ke permukaan. Dianggap lucu-lucuan aja.
Meskipun pada kasus Keraton Agung Sejagat ini murni kriminal. Namun publik sudah kadung meresponnya sebagai lelucon.
Setelah pemilu 2019 kemarin. Hari-hari setelahnya menjadi terasa lebih cepat. Publik seakan kehilangan objek pembicaraan. Seolah ada rasa berbeda kalau ngomingin politik terus, karena peta politik kini sudah berbeda dibanding sebelum pemilu.
Makanya tidak heran bila publik dan juga media memang sengaja mencari topik-topik baru untuk diobrolin. Sesuatu yang natural.
Bisa juga diartikan sebagai residu atau sisa-sisa dari peristiwa politik. Bagi mereka yang terobsesi menjadi pemimpin, tapi gak kesampaian. Â Makanya berhalusinasi menjadi raja.
Terserah kita mau menilainya gimana. Presiden Jokowi sendiri menilainya sebagai hiburan.
“Ya, itu hiburan saja,†kata Jokowi saat berbincang dengan media di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (17/1/2020). Jokowi merespons pertanyaan tentang kemunculan kerajaan itu sangat singkat dan dengan tersenyum.
Sementara itu Wakil Presiden Ma’ruf Amin sebelumnya mengatakan, fenomena kemunculan kerajaan palsu menunjukkan banyak orang Indonesia yang sakit secara pemikiran. Wapres bahkan pernah mendengar orang Indonesia mengaku sebagai nabi.
Padahal di negara lain tidak pernah ada orang mengaku nabi," ujar Ma'ruf saat berdiskusi dengan pemimpin redaksi sejumlah media massa nasional di rumah dinasnya, Jalan Diponegoro, Jakarta, Jumat (16/1/2020).
Kiranya masyarakat perlu me-refresh pikiran. Seperti kita tahu beberapa tahun belakangan ini nyaris seluruh ruang-ruang publik selalu disesaki isu politik.
Hingga akhirnya pasca pemilu barulah muncul fenomena-fenomena baru yang bikin geger. Terserah kalau kita mau menggapnya sebagai hiburan saja.
Karena mau bahas politik terus juga muak. Pemilu berikutnya juga masih lama. Mungkin fenomena kemunculan keraton palsu ini sebagai pengisi "hiburan" menuju 2020. Sambilnya kita sama-sama mengambil hikmah disetiap peristiwa. Jadi tidak dapat lucunya saja.