Haruskah UU tentang Penodaan Agama di Revisi ?

18 Nov 2018 08:08 1886 Hits 0 Comments
beragama merupakan hal yang harus dipunyai setiap WNI. Di pancasila sendiri sila pertama mempunyai arti setiap orang harus beragama dan percaya kepada Tuhan yang maha Esa. Namun dikarenakan banyaknya organisasi/aliran sesat yang bermunculan pemerintah membuat UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama. Namun UU ini banyak diprotes dikarenakan ketidak sesuaian dengan HAM dan mempunyai sifat multitafsir 

Beragama merupakan salah satu hal yang harus ada di setiap WNI (Warga Negara Indonesia).  Di pancasila sendiri di sila nya yang pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” mempunyai arti bahwa seluruh WNI wajib beragama dan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Namun didalam kenyataanya banyak organisasi/aliran sesat yang muncul dengan ajaran yang menyimpang dari sila pancasila pertama tersebut dan tidak sesuai dengan ajaran agama-agama yang ada

Maka dari itu pemerintah membuat UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama. UU tersebut berisi tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan aagama.

UU ini dubuat oleh pemerintah jaman dahulu pada masa pemerintahan soekarno dengan tujuan untuk membendung ateisme dan kekhawatiran pemerintah akan adanya organisasi/aliran baru yang muncul dengan untuk merusak agama-agama yang ada dan mempengaruhi masyarakat dengan ajaran-ajaran yang sesat.

Namun UU ini sekarang dimaknai sebagai pelarangan untuk membuat organisasi/aliran tertentu atau untuk berpendapat tentang sesuatu yang tidak sejalan dengan ajaran agama-agama yang ada.

Selain itu menurut Imdadun, selaku Komisioner Komnas HAM, hal itu terjadi karena ketidakjelasan Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965.

Di dalam pasal tersebut menyatakan bahwa “Setiap  orang  dilarang  dengan  sengaja  di  muka  umum menceritakan, menganjurkan  dan  mengusahakan  dukungan  umum,  untuk  melakukan penafsiran  tentang  sesuatu  agama  yang  dianut  di Indonesia  atau  melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu".

Didalam pasal tersebut terdapat kata “di muka umum” yang bersifat multitafsir dan kata “di muka umum” sendiri tidak diperjelas kembali di dalam UU tersebut. Hal ini dapat dijadikan celah bagi seseorang/kelompok yang ingn membuat organisasi/aliran sesat yang bertujuan untuk menyebarkan pemahaman sesat di masyarakat.

Kasus penodaan agama sendiri sudah sering terjadi di era reformasi dibandingkan dengan tahun terbitnya UU ini sampai tahun 1998.  Terhitung hanya ada 10 kasus penodaan agama dalam jangka waktu 1965 sampai 1998.  Namun setelah reformasi jumlah kasus penodaan agama sudah mencapai 50 kasus.

Contoh kasus di jangka waktu 1965 sampai 1990 adalah kasus dugaan pencemaran agama yang menyebabkan pemimpin redaksi Tabloid Monitor, Arswendo Atmowiloto dihukum penjara selama lima tahun pada 1990.

Contoh kasus di era reformasi yang banyak mengandung pro dan kontra adalah kasus ahok yang didakwaa menistakaan agama dan kasus meliana yang memprotes volume suara azan yang terlalu keras.

Dua kasus sendiri diatas sudah diputuskan hasilnya, untuk kasus ahok yang didakwa menistakaan agama di dalam pidatonya dijatuhi hukuman penjara 2 tahun sedangkan untuk kasus meiliana dijatuhi hukuman penjara 18 bulan.

Sebetulnya beberapa pihak sudah pernah mengajukan uji materi Undang-undang No 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, namun ditolak oleh Mahkamah Konsitusi. Pada tahun 2013 juga, UU ini pernah diajukan kembali ke Mahkamah konsitusi tetapi tetap ditolak.

 

Tags Agama

About The Author

KEVIN GIRVAN IGORIO 18
Novice

KEVIN GIRVAN IGORIO

Seorang mahasiswa dengan jurusan Business Law
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel