Menjelang pemilihan Presiden dan Legislatif 2019, terdapat banyak fenomena yang muncul dalam kontestasi politik. Ada fenomona yang tidak menjadi sorotan, namun perlu menjadi ancaman bagi para calon petahana, yakni Swing Voters dan Doublethink yang sering terjadi pada pemilihan legislatif.
Swing voter adalah istilah untuk merujuk pada kelompok pemilih yang pada pemilu sebelumnya mendukung partai A, tetapi pada pemilu mendatang dapat berubah mendukung partai B.
Hal ini biasa dilakukan oleh pemilih yang cenderung mempunyai sifat terbuka. Kontestasi politik memang sering menciptakan sebuah anomali, ditambah lagi apabila pemilih disajikan oleh visi misi atau isu-isu politik yang mungkin tidak sesuai ekspetasi oleh para calon kontestan. Dari swing voters ini maka lahirlah doublethink, yang mempunyai hubungan cukup relevan dengan swing voters.
Doublethink merujuk pada pemilih yang kritis namun cenderung akan menjadi bagian dari golongan putih. Pemilih doublethink akan memikirkan segi positif dan negatif dari visi-misi dan track record calon. Seperti ia sudah menyukai satu program dari calon penguasa, namun tidak menyukai program lainnya yang ditawarkan. Sehingga performa calon akan ada diambang baik dan tidak baik bagi pemilih.
Perlu ditegaskan, swing voters paling banyak dijumpai di Indonesia. Alasan tersebut dikarenakan party identification (ikatan psikologis dengan partai) di Indonesia termasuk kategori lemah. Temuan SMRC mengungkapkan bahwa kedekatan psikologis dengan partai itu hanya sekitar 11,7%, jadi, hanya satu dari sekitar 10 orang Indonesia yang punya ikatan psikologis kuat dengan partai tertentu.
Alasan lainnya yang cukup konkrit dapat dilihat dari regulasi pemilu 2019 ditetapkan pada Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 yang membahas tentang (1) Sistem pemilu terbuka, (2) perubahan timeline presidential treshold, (3) parliamentary treshold, dan (4) metode konversi suara, dan (5) pembagian kursi per-dapil, 3 untuk suara minimal dan 10 untuk suara maksimal. Regulasi tersebut membuat pemilih swing voters akan menyayangkan suara yang akan mereka keluarkan pada pemilu 2019 mendatang.
Swing voters dan doublethink pada dasarnya telah menjadi sinyal buruk untuk para calon petahana. Artinya, para calon petahana harus berusaha keras untuk merangkul atau mengambil hati dari para kaum swing voters dan doublethink. Selama ini para calon petahana hanya fokus pada meningkatkan elektabilitas dengan cara mengambil suara dari kubu ke kubu, padahal swing voters dan doublethink adalah kaum yang diluar dari kubu – kubu politik yang terjadi di masyarakat. Para calon petahana harus lebih bisa mengatur strategi kampanye mereka masing – masing karena mengingat swing voters dan doublethink lebih sering dijumpai di masyarakat Indonesia.
20 tahun Indonesia lahir kembali dari Orde Baru dan menjadi Reformasi, masih banyak masyarakat yang menganggap swing voters adalah pemilih yang kurang memiliki konsistensi dalam berpolitik. Padahal secara Demokrasi, swing voters sah – sah saja. Dalam pengaturan hak politik warga negara yang telah diatur, terdapat hak politik bahwasanya setiap masyarakat bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.
Lebih jelasnya lagi dalam ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU, menyatakan “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.†Tidak ada ketentuan bahwasanya masyarakat harus konsisten dengan pilihan pertamanya. Dalam kehidupan Demokrasi pun, masyarakat dikenal dengan pemikiran yang beragam sehingga swing voters tidak dapat disangkal.