Siang ini, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali menorehkan sejarah. SBY membuat kultwit “nasionalisme vs globalisasi’ via akun twitternya @SBYudhoyono. Presiden ke-6 RI ini mengomentari “serangan-menyerang†antara para pemimpin negara barat tentang nasionalisme, utamanya Presiden AS Donald Trump lawan Presiden Perancis Emmanuel Macron. Jujur saja, apa yang dipikirkan SBY ini luput dari perhatian pemerintah dan elit politik tanah air.
Padahal pertentangan ini akan berefek bagi Indonesia. Sudah lumrah kebijakan-kebijakan negara Barat, apalagi AS dan Perancis, pasti berdampak bagi jagat internasional. Terlebih Indonesia berkawan baik dengan AS dan Perancis.
Jadi di manakah posisi Indonesia dalam pertentangan negara-negara Barat ini? SBY kembali menawarkan gagasan bernas: nasionalisme terbuka. Globalisasi dan nasionalisme jangan dipertentangkan. Keduanya bisa akur dan berdampingan. Â Â Â Â
Nasionalisme perlu diartikan sebagai “cinta bangsaâ€. Setiap bangsa tentu punya “rasa, semangat dan wawasan kebangsaannya†masing-masing. Andaikata kini negara-negara hidup dalam perkampungan global (global village), tetap saja miliki rumah sendiri. Rumah itulah “kebangsaannyaâ€.
Gagasan SBY sudah terbukti nyata. Sebelum era kepemimpinan SBY, potensi 7-8 juta diaspora Indonesia seakan terlupakan. Padahal ada 7-8 juta orang Indonesia yang menetap di luar negeri. Potensi ini dirangkul SBY. Alhasil, pada bulan Juli 2012, untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia digelar Congress of Indonesian Diaspora (CID) di Los Angeles Convention Center. Kongres yang dihadiri lebih dari 2.000 diaspora Indonesia dari lima benua tersebut menghasilkan "Deklarasi Diaspora Indonesia" yang salah satu kesepakatannya adalah membangun komunitas global bernama "Jaringan Diaspora Indonesia".
Pola serupa ditetapkan SBY saat menghadapi dampak gempa tsunami Aceh. Kala itu banyak penolakan masuknya bantuan-bantuan asing. Banyak alasannya. Padahal kala itu kemampuan Indonesia amat terbatas sebab masih diguncang dampak krisis moneter 1998 dan embargo alutsista AS.
Tetapi SBY teguh dijalannya. Relawan, paramedis, tentara kemanusiaan datang ke Aceh dan Nias dengan perlengkapan lengkap. Operasi penyelamatan ketika itu menjadi operasi kemanusiaan terbesar di dunia. Alhamdulillah berkat kepiawai SBY, Indonesia mampu menghimpun donasi US$ 500 juta dari masyarakat internasional untuk pembangunan Aceh dan Nias kembali. Dan faktanya, semua itu tidak mengubah nasionalisme kita. Bahkan belakangan Aceh bertransformasi menjadi provinsi “syariahâ€.
Masih banyak contoh sepanjang era kepemimpinan SBY. Semua itu menggambarkan SBY sebagai penganut nasionalisme terbuka yang berpolitik santun dan bersih. Dengan melangkah di jalan prinsip itu, kepemimpinan SBY berorientasi pada kepentingan masyarakat Indonesia. Ada banyak program-program pro-rakyat era kepemimpinan SBY. Bonusnya Indonesia mendapat penghargaan dunia, sesuatu yang hilang sejak krisis moneter 1998 menerpa Indonesia.
Indonesia jadi Ketua ASEAN bahkan masuk anggota tidak tetap Dewan Keamanan PPB. Pertama kalinya dalam sejarah Indonensia, SBY didapuk memberi pidato kunci pada KTT Seabad ILO PBB. PBB juga mendaulat SBY untuk memimpin para kepala pemerintahan dunia untuk merumuskan program kelanjutan pembangunan millennium.
Setiap warga Indoensia pasti ingin negaranya tampil terhormat di mata dunia. SBY berhasil melakukannya tanpa mengorbankan nasionalisme dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Bravo!
Indonesia beruntung punya putra bangsa sekaliber SBY. Meski sudah pensiun menjabat presiden yang memimpin Indonesia, pengabdian SBY tak berhenti. Dia terus menyumbangkan gagasan dan pemikirannya demi kemashalatan bangsa dan negara. Dia juga bergerak nyata untuk membantu rakyat lewat pengabdian sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.