Jika tidak malu maka Hidup lah sesuka mu

18 Sep 2018 09:40 3239 Hits 0 Comments

“Dari Abu Mas’ud radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya perkataan yang diwarisi oleh orang-orang dari perkataan nabi-nabi terdahulu adalah: ‘Jika engkau tidak malu, perbuatlah sesukamu’.” (HR. Bukhari no. 3483)

Penjelasan:

“Dari Abu Mas’ud radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya perkataan yang diwarisi oleh orang-orang dari perkataan nabi-nabi terdahulu adalah: ‘Jika engkau tidak malu, perbuatlah sesukamu’.” (HR. Bukhari no. 3483)

Penjelasan:

Sabda beliau: “Sesungguhnya perkataan yang diwarisi oleh orang-orang dari perkataan nabi-nabi terdahulu”
Menunjukkan bahwa ungkapan yang akan beliau sebutkan setelahnya, diwarisi dari para nab-nabi terdahulu, dan bahwasanya orang-orang senantiasa menyebarkan dan mewarisinya dari zaman ke zaman. Ini juga menunjukkan bahwa kenabian pada masa dulu datang membawa ajaran yang terkandung dalam ungkapan ini, lalu tersebar luas dikalangan manusia, hingga sampai pada zaman generasi pertama umat ini (para sahabat).

Sabda beliau: ‘Jika engkau tidak malu, perbuatlah sesukamu’
Makna ungkapan ini ada dalam dua pendapat:

Pendapat Pertama: Ungkapan “Perbuatlah sesukamu” tidaklah bermaksud sebagai kata perintah, namun bermaksud sebagai celaan dan larangan dari berbuat sesukanya. Ulama yang berpendapat seperti ini, berbeda dalam dua pendapat lagi:

1.Ungkapan ini bermaksud “ancaman”, artinya “Apabila engkau tidak lagi memiliki rasa malu, maka perbuatlah sesukamu, karena Allah pasti akan membalas perbuatanmu tersebut dengan yang setimpal”. Ini sama persis dengan firman Allah ta’ala:

 “Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS Fushilat : 40)

Juga firman-Nya:

“Maka sembahlah selain Dia sesukamu!” (QS Az-Zumar: 15).

Ini merupakan pendapat yang dipilih oleh sekelompok ulama, semisal Abu Al-‘Abbas Tsa’lab rahimahullah.

2.Ungkapan ini adalah suatu perintah, namun bermaksud sebagai “kabar dan penjelasan”, artinya; “Barangsiapa yang tidak lagi memiliki rasa malu, ia akan berbuat sesukanya, sebab yang menghalanginya untuk berbuat keburukan adalah rasa malu, barangsiapa yang tidak lagi memiliki rasa malu, pasti akan terjerumus dalam setiap amalan keji dan mungkar”.
Kedua ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Abu ‘Ubaid Al-Qasim bin Sallaam, Ibnu Qutaibah, Muhammad bin Nashr Al-Marwazi, dan selain mereka. Abu Daud juga meriwayatkan bahwa Imam Ahmad rahimahullah berpendapat seperti pendapat ini.

Pendapat Kedua: Ungkapan ini merupakan perintah untuk berbuat sesukanya sesuai makna kontekstual/lahir dari redaksi hadis ini, artinya: “Apabila yang ingin anda lakukan adalah perbuatan yang tidak membuat malu dari Allah, atau dari manusia (bukan maksiat), maka lakukanlah sekehendakmu”.

Nabi shallallahu’alaihi wasallam telah menjadikan rasa malu sebagai bagian dari keimanan, sebagaimana dalam Shahihain dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhu bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam melewati seseorang sedang mencela saudaranya yang pemalu, seraya berkata padanya: “Sungguh engkau betul-betul pemalu, -atau ia berkata-: “Rasa malumu telah merugikan dirimu”. Lantas Rasulullahpun menimpalinya: “Biarkan saja dia, sesungguhnya rasa malu itu bagian dari keimanan”.

Juga dalam Shahihain dari sahabat ‘Imran bin Husahin, dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

 “Rasa malu itu tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan” –dalam riwayat Muslim: “Rasa malu itu semuanya baik” .

Ketahuilah, bahwasanya rasa malu itu ada dua macam:
Pertama: Rasa malu yang bersumber dari tabiat dan fitrah sejak lahir, tanpa ada usaha untuk menumbuhkannya dalam diri. Ini merupakan diantara akhlak paling mulia yang dikaruniakan Allah kepada seorang hamba.
Kedua: Rasa malu yang didapatkan lewat usaha dan latihan, yang merupakan pengaruh positif dari mengenal Allah, keagungan-Nya, serta dari mengenal kedekatan-Nya dari makhluk-Nya. Ini merupakan salah satu bagian derajat keimanan yang paling tinggi, bahkan ia juga merupakan salah satu bagian tertinggi dari derajat ihsan. Rasa malu dari Allah ta’ala ini, kadang bersumber dari pengetahuan akan banyaknya nikmat dan karunia-Nya, dan dari adanya perasaan lalai dan kurang dalam mensyukuri nikmat tersebut.

Apabila kedua sifat malu yang bersumber dari usaha dan sifat tabiat ini hilang dari seorang hamba, maka tidak ada sesuatupun yang bisa menghalanginya dari melakukan perbuatan buruk, sehingga seakan-akan ia tidak lagi memiliki keimanan, Wallaahu a’lam.

 

Tags

About The Author

Aldi-13 41
Ordinary
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel