Pemerintah menginginkan ada tindakan tegas dan memberikan efek jera bagi kapal asing yang mencuri ikan di wilayah Indonesia, termasuk meneng-gelamkan kapal itu bila diperlukan. Pernyataan ini memberikan gambaran bahwa masalah pencurian ikan di perairan Indonesia sudah sangat serius, dan memerlukan tindakan pengendalian yang konprehensif.
Maraknya praktek penangkapan ikan secara illegal di perairan laut Indonesia disinyalir banyak terkait dengan sistem perizinan kapal penangkap dan usaha perikanan yang diselewengkan pihak-pihak tertentu untuk meraup keuntungan ditengah lemahnya sistem pengawasan. Praktek Illegal, Unreported, Unregulated ( IUU ) Fishing  yang marak terjadi di perairan laut Indonesia terdiri dari 2 jenis, yakni : 1) praktek pencurian ikan oleh nelayan asing, dan 2) praktek penangkapan ikan yang bersifat destruktif oleh nelayan lokal. Kasus pencurian ikan merupakan kisah lama yang tidak pernah tuntas di Indonesia dan bahkan sudah menimbulkan kerugian negara mencapai triliunan rupiah per tahunnya.
Berdasarkan estimasi dari FAO, rata-rata ikan yang dicuri dan dibuang ke laut sekitar 25 %, sehingga bila potensi perikanan laut Indonesia sebesar 6,4 juta ton/tahun, maka jumlah ikan yang dicuri sekitar 1,6 juta ton/tahun. Bila harga jual ikan $ 2 US per kg, maka kerugian negara akibat pencurian ikan ini sekitar Rp 30 triliun per tahun. Sungguh angka yang fantastis, dan kasus Illegal, Unreported, Unregulated ( IUU ) Fishing ini harus menjadi program prioritas bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Berbagai upaya telah dilakukan Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), namun belum membuahkan hasil yang signifikan. Beberapa upaya yang telah dilakukan seperti patroli reguler besama TNI AL dan Polisi Air, pemasangan VMS (Vessel Monitoring System), penataan izin usaha perikanan dan lain-lain, tetapi hasilnya belum nyata. Bahkan DPR sudah mempertanyakan hal ini kepada pemerintah, karena praktek pencurian ikan ini sudah memasuki perairan teritorial 12 mil sebagaimana banyak dilaporkan nelayan di berbagai daerah.
Di sisi lain, kegiatan penangkapan ikan yang bersifat destruktif (destructive fishing) seperti penggunaan bom ikan dan racun, juga marak terjadi di perairan kita. Cara-rara penangkapan ikan seperti ini secara nyata telah merusak habitat ikan, seperti kerusakan habitat terumbu karang yang sudah mengkhawatirkan di Indonesia. Menurut kajian dari CRITC LIPI (2007), terumbu karang yang rusak di Indonesia telah mencapai 41,78 %, sedangkan kondisi baik hanya sebesar 23,72 % dan sangat baik tinggal 6,20 %. Dari kondisi tersebut, terumbu karang di kawasan perairan Indonesia barat memiliki kondisi yang lebih buruk dibandingkan dengan terumbu karang di kawasan timur Indonesia. Hal ini menggambarkan bahwa kegiatan Illegal, Unreported, Unregulated ( IUU ) Fishing lebih banyak terjadi di kawasan perairan Indonesia bagian barat ketimbang perairan Indonesia timur. Perlu diketahui bahwa perairan yang memiliki ekosistem terumbu karang yang sehat, mampu menghasilkan ikan sebanyak 20 ton/km2/tahun.
Berdasarkan fakta di atas, terjadinya deplesi sumberdaya perikanan di beberapa kawasan perairan Indonesia diduga terkait dengan praktek Illegal, Unreported, Unregulated ( IUU ) Fishing ini, bukan semata-mata karena meningkatnya jumlah kapal penangkap ikan oleh nelayan yang menyebabkan menurunnya CPU (catch per unit effort). Oleh sebab itu, perlu dicermati apakah kawasan perairan yang dinyatakan sudah over fishing hanya karena kebanyakan kapal penangkap ikan, atau karena sumberdaya ikan sudah mengalami deplesi akibat kegiatan perikan dekstruktif ?
Berbagai langkah strategis dalam rangka pengendalian praktik IUU Fishing bisa diterapkan antara lain dengan, (1) Penerapan sistem MCS ( Monitoring, Controlling dan survailance) secara terpadu, (2) Sistem pengawasan perikanan terpadu berbasis masyarakat, (3) Rekonstruksi sistem perizinan perikanan secara terpadu, (4) Mendorong kampanye anti produk IUU Fishing, dan (5) pembenahan zonasi wilayah penangkapan ikan dan wilayah konservasi Laut.
Kegiatan Illegal, Unreported, Unregulated ( IUU ) Fishing (pencurian ikan dan perikanan destruktif) tidak mungkin dapat diatasi tanpa adanya pengendalian terpadu oleh berbagai pemangku kepentingan, yakni 1) Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2) Dinas Perhubungan Laut dan Syahbandar, 3) Direktorat Migrasi Departemen Tenaga Kerja, dan 4) Institusi Penegak Hukum (TNI AL, Polisi Air, Bea Cukai). Namun, karena luasnya perairan Indonesia, maka Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah saatnya melibatkan masyarakat desa pantai untuk melakukan pemantauan (monitoring), pengawasan (controlling) dan pengendalian (survailance) praktek Illegal, Unreported, Unregulated ( IUU ) Fishingdi perairan Indonesia.
Di atas kertas, praktek MCS terpadu ini dengan SOP-nya mudah dibuat, namun implementasinya di lapangan tidak mudah dilakukan karena membutuhkan sarana dan prasarana MCS yang memadai, dan biaya operasional yang cukup besar. Oleh sebab itu, pemerintah pusat harus mensupport pemerintah daerah untuk melakukan MCS ini karena keterbatasan APBD. Dengan perkataan lain, bila MCS terpadu ingin dilaksanakan secara efektif, maka sarana dan prasarana pengawasan ini harus dilengkapi pemerintah, agar kerugian negara dari Illegal, Unreported, Unregulated ( IUU ) Fishingini dapat ditekan seminimal mungkin.
Kenyataan anggaran pemerintah masih terbatas dan luasnya perairan laut Indonesia, maka perlu dikembangkan sistem pengawasan berbasis masyarakat (Community Based Controlling). Cukup besar jumlah desa pantai di Indonesia, seyogianya pemerintah dapat membuat suatu kebijakan, sehingga setiap desa pantai memiliki kelembagaan pengawasan berbasis masyarakat. Untuk langkah awal, KKP melalui program pengelolaan dan rehabi-litasi terumbu karang (Coremap) telah membentuk lembaga pengawasas tingkat desa dan jumlahnya relatif sedikit. Misalnya untuk wilayah pesisir Propinsi Sumatera Utara, baru terdapat pada 29 desa pantai yang merupakan lokasi implementasi program Coremap. Seyogianya hal seperti ini dapat dikembangkan untuk setiap desa pantai secara nasional.
Bila dikaji lebih dalam, terjadinya praktek Illegal, Unreported, Unregulated ( IUU ) Fishing juga terkait dengan ulah oknum pejabat yang bermain mata dengan pengusaha perikanan domestik dan mafia perizinan kapal ikan asing. Tindakan penyelewengan hukum ini meliputi permainan dalam penerbitan perizinan kapal dan alat tangkap, dimana pihak asing bekerjasama dengan pengusaha lokal dengan mengubah penampilan kapal ikan menyerupai kapal ikan lokal (pengecatan, modifikasi, dan nama lokal). Selain itu, perizinan kapal tidak sesuai dengan tonase kapal, misalnya dalam surat izin 1 unit kapal ikan 30 GT, ternyata kapalnya bertonase 90 GT dan kapalnya beberapa unit. Kemudian dalam hal perizinan tenaga kerja asing di bidang perikanan, juga menjadi celah-celah yang bisa dipermainkan.
Sistem perizinan usaha perikanan dan kapal penangkap ikan secara hukum telah diatur dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 12 Tahun 2012, dimana untuk kapal ikan ukuran 10 – 30 GT, maka izinnya dikeluarkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten, sedangkan kapal-kapal ikan > 30 GT, Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dikeluarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (pusat). Kapal-kapal di atas 30 GT umumnya merupakan kapal ikan perusahaan domestik atau kapal asing yang mampu beroperasi di laut lepas di atas 12 mil laut. Golongan kapal inilah yang disinyalir banyak melakukan penyelewengan perizinan dengan berbagai modus di tengah lemahnya sistem pengawasan kita. Oleh sebab itu, tidaklah berlebihan bila Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti mencanangkan moratorium pemberian izin kapal ikan di atas 30 GT, yang sekaligus bertujuan untuk memverifikasi izin yang sudah dikeluarkan dengan karakteristik kapal-kapal ikan yang sesungguhnya.
Dalam rangka pengendalian illegal fishing, Kementerian Kelautan dan Perikanan haruslah menargetkan kapan Zero Illegal, Unreported, Unregulated ( IUU ) Fishing dapat dicapai. Hal ini penting untuk dapat menyusun langkah stategis dalam kampanye anti produk Illegal, Unreported, Unregulated ( IUU ) Fishing dalam skala nasional dan internasional.
Upaya kampanye anti produk tangkapan ikan ilegal mencakup aspek pencurian ikan (Illegal fishing), produk tangkapan tidak dilaporkan kepada instansi terkait alias jual beli ikan di laut (Unreported Fishing) dan kapal penangkap serta daerah penangkapan yang melanggar aturan (Unregulated Fishing) seperti penyalahgunaan izin kapal penangkap, pelanggaran aturan zonasi penangkapan, dan praktek perikanan destruktif. Hal ini perlu disosialisasikan pemerintah kepada seluruh stakeholder perikanan dan kelautan secara berkelanjutan, sehingga seluruh pemangku kepentingan ikut berperan aktif dalam pengendalian produk perikanan ilegal ini.
Pada Masyarakat Uni Eropa (MEE) misalnya, telah menerapkan Catch Cerfication terhadap produk perikanan hasil kegiatan Illegal, Unreported, Unregulated ( IUU ) Fishingsejak Januari 2010. Artinya, produk perikanan yang ditangkap dengan cara-cara ilegal tidak diperbolehkan masuk ke pasar produk perikanan di Uni Eropa. Informasi ini perlu disosialisasikan dan disebarkan ke masyarakat luas, sehingga pelaku Illegal, Unreported, Unregulated ( IUU ) Fishingakan semakin tertekan.
Selain itu, pemerintah Indonesia perlu membuat perjanjian dengan negara-negara tetangga, yang ditenggarai sering melakukan praktek Illegal, Unreported, Unregulated ( IUU ) Fishingdi perairan Indonesia. Perjanjian tersebut mencakup penyelesaian hukum unit penangkap ikan yang memasuki perairan Indonesia secara ilegal. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi KKP ke depan.
Upaya pengendalian Illegal, Unreported, Unregulated ( IUU ) Fishing secara simultan juga dapat dilakukan melalui pengembangan kegiatan konservasi laut di Indonesia.  Pada kawasan konservasi laut, upaya pengelolaan telah dilakukan secara terintegrasi antara pengawasan oleh instansi pemerintah (UPT) dan pengawasan berbasis masyarakat dalam kegiatan pengendalian illegal fishing. Sayangnya, jumlah kawasan konservasi di Indonesia masih terbilang sedikit, pada hal laut kita sangat luas dengan karakteristik ekosistem yang beragam antar wilayah. Misalnya untuk wilayah perairan laut Sumatera Utara, Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) hanya terdapat 3 KKLD, yakni KKLD Pulau-Pulau Batu seluas 56.000 hektar, KKLD Lahewa seluas 34.000 hektar, dan KKLD Pulau Mursala seluas 28.000 hektar.
Pengendalian Illegal, Unreported, Unregulated ( IUU ) Fishing juga dapat dilakukan melalui pengembangan Daerah Perlindungan Laut (DPL) di desa-desa pantai, dengan sistem pengawasan berbasis masyarakat. Dapat dibayangkan jumlah desa pantai di seluruh Indonesia, bila seluruhnya memiliki Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas), penulis berkeyakinan kegiatan Illegal, Unreported, Unregulated ( IUU ) Fishing termasuk perikanan destruktif seperti penggunaan bom ikan dan racun ikan akan berkurang signifikan. Dalam revitalisasi peran Pokmaswas desa pantai, maka KKP harus bekerjasama dengan Kemendagri dalam rangka penguatan kelembagaan tersebut di struktur pemerintahan desa pantai.
Sumber Pustaka :
Adam, lukman (2012) “Kebijakan pengembangan perikanan berkelanjutan†Pusat pengkajian dan pengolahan data dan informasi secretariat jenderal DPR RI. Jakarta
Sitorus, Hasan (2015) “ Artikel Kaluatan dan Perikanan †(Online) https://hasitopan64.wordpress.com
Suraji (2015) “ Konservasi kunci pengelolaan perikanan berkelanjutan†(online) https://id.linkedin.com/pulse/konservasi-kunci-pengelolaan-perikanan-berkelanjutan-pilar-suraji
Kurniawati, putrid (2015) “ Berita pemboman ikan †(online) https://www.kupastuntas.co/2016/10/24/pos-keamanan-tni-rusak-camat-cukuh-balak-khawatir-illegal-fishing-marak/
Â
Â