Ditengah hiruk pikuk kesenangan menjadi netizen yang setiap harinya mantengin medsos, belakangan saya mulai menyadari adanya yang janggal dengan aplikasi medsos. Mungkin selama ini jarang kita sadari, bahwa aplikasi medsos yang terinstal di smartphone sedikit banyak telah memiliki akses ke data pribadi pengguna.
Beberapa media sosial seperti sebut saja Facebook, bisa membaca data diri, informasi kontak sampai mengetahui aktivitas digital penggunanya. Semisal pengguna sering mencari konten seputar kebaikan salah satu figur. Ia akan sering melihat konten positif terkait figur tersebut. Sementara di tempat lain lebih sering mendapat konten sebaliknya, karena berada pada lingkar yang kontra. Maka tidak heran jika isi timeline medsos berbeda satu dengan yang lain.
Hal ini kerab disebut sebagai algoritma media sosial. Sederhananya algoritma ialah sistem untuk memudahkan pencarian di internet. Jadi konten yang akan ditemukan merupakan konten yang relevan dengan diri pengguna masing-masing. Dengan begitu industri iklan digital juga akan sangat optimal menjangkau pasar dengan tepat.
Sejauh penggunaan medsos hanya untuk bersosialisasi secara online, algoritma medsos tentu masih oke-oke saja. Sebut saja ini sebagai simbiosis mutualisme. Dimana netizen bebas dan gratis menggunakan medsos, sementara platform medsos mendapat keuntungan dari periklanan. Dan perihal aplikasi medsos yang bisa membaca data pribadi penggunanya, juga tidak perlu terlalu dirisaukan. Karena tentunya pihak Facebook, Google, Twitter dan lainnya tidak akan mengorbankan integritasnya dengan menjual data penggunanya kepihak lain.
Namun hal mengerikan bisa saja terjadi imbas sistem algoritma medsos ini. Tanpa kita sadari konten-konten yang dilihat maupun dibaca di timeline hanyalah konten yang sesuai algoritma. Facebook akan menyaring kabar-kabar yang disajikan hanya yang relevan dengan penguna. Sementara konten yang tidak memiliki kesamaan algoritma akan dijauhkan atau seolah-olah tidak ada.
Dengan begini netizen hanya mendapat konten dari satu sudut. Terlebih jika netizen yang hanya mengandalkan informasi yang beredar di medsos. Netizen menjadi berpikir hanya dari satu sudut. Bayangkan saja setiap hari seorang netizen dicekoki kabar hanya dari sudut yang ia sukai, tanpa mikiri dari sudut lainnya.
Inilah sisi gelap media sosial yang membuat seseorang hanya berpikir dari satu sisi. Padahal idealnya seseorang perlu berpikir dari segala sisi agar seimbang.
Istilah ini disebut filter bubble alias gelembung saringan. Dimana ada sebuah dunia yang isinya hanya kesamaan. Dan anda tidak bisa belajar apapun. Anda juga tidak menyadari terjebak pada gelembung tak kasat mata.
Maksudnya ketika seseorang dicekoki informasi dari satu sudut saja. Lamban laun Ia akan menyakini pemikirannya benar dan mengingkari gagasan lainnya.
Bahaya lebih lanjut ialah akan terjadi isolasi intelektual. Orang-orang tanpa sadar opininya tergiring. Mempercayai sebuah informasi hanya dari satu sisi. Padahal kenyataannya di tempat lain tidak seperti yang dia pikirkan.
Orang-orang akan semakin membabi buta mempercayai gagasannya. Itulah mengapa banyak netizen yang sering ribut di medsos dan parahnya lagi Filter Bubble membuat semakin suburnya berita hoax.
Melihat budaya netizen yang masih malas membaca dengan lengkap. Bahkan link yang disebarkan di medsos sebenarnya tidak sampai setengahnya yang di klik. Netizen langsung percaya dari judul, ditambah lagi tabiat media yang menggunakan judul bombastis.
Jadi tidak mengherankan bila banyak netizen yang belum smart walaupun pakai smartphone. Jika sudah begini, pihak penyedia medsos tentu tidak ingin disalahkan. Karena ada kepentingan bisnis mereka disini.
Solusi mengatasi sisi gelap media sosial ini seharusnya berasal dari diri personal masing-masing. Bahwa sesungguhnya segala info yang beredar di medsos atau dunia maya tidak sepenuhnya benar. Beda media, beda penulis dan beda kepentingan, beda juga kontennya. Hati-hati lho!
Diperlukan kedewasaan warganet dalam mempercayai kabar berita. Lihatlah berbagai informasi dari segala sudut, segala sisi dan segala sumbe tentunya menggunakan "kacamata" akal sehat. Bukan "kacamata kuda"
Gambar sampul: CNN Indonesia