Review Film: Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak

18 Nov 2017 13:59 3246 Hits 0 Comments
Film Indonesia

Joseph M. Boggs dalam bukunya The Art Of Watching Films, mengemukakan bahwa “Film sinematik adalah yang mampu menciptakan ilusi kedalaman, ia mengubah layar datar menjadi sebuah jendela untuk penonton mampu melihat suatu dunia tiga dimensi.” Film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak mampu menciptakan “kesan” seolah layar putih bukanlah permukaan datar, ia bertransformasi menjadi sebuah “jendela” yang mampu menciptakan “ilusi kedalaman,” dan membentuk suatu dunia tiga dimensi.

 

Terutama untuk Tata Suara film ini yang menjadi sebab kita seperti menonton sebuah pertunjukkan tiga dimensi, film ini seolah menarik saya masuk ke dalam layar—ke dalam film itu sendiri, melihat Marlina langsung yang terkesan kesepian, terlihat dari raut mukanya. Seperti melihat sebuah pertunjukkan teater yang sangat memukau, scene-scene tempat makan di dalam rumah Marlina seperti sebuah panggung teater satu babak yang memaksa kita untuk tetap fokus pada gambar itu.

 

Belum lagi film ini menciptakan “ilusi kedalaman” bahwa sepanjang film Marlina mengajak bicara penontonnya, salahsatu scene saat empat pria mati terkapar setelah memakan sup ayam adalah contoh nyata, setelah itu Marlina menatap tajam mata lensa, dengan permainan mimik muka yang sangat baik, ini seperti penegasan bahwa hal itu dibuat semata-mata bukan hanya untuk kepentingan gambar saja.

 

Film ini sudah memukau sejak awal, sejak gambar dibuka dengan font “Babak I” dengan musik etnik yang terdengar seperti kentongan yang dipukul terstruktur, rapi dengan tempo yang diatur sepersekian detik, ia mengiringi musik lain dan menjadi "pengatur tempo" yang keduanya menyatu dengan amat baik. Bukan lagi sekadar memanjakan mata namun jelas telinga juga ikut termanjakan. Film ini memukau hingga detail terkecil artistiknya; dapur, warung, kantor polisi. Semuanya mampu seimbang mengambil bagian untuk memanjakan mata pentonton, tanpa perlu memaksakan semua yang ada untuk masuk dalam satu gambar. Ia menyatu sempurna.

 

Kalau kita ingin membedahnya satu per satu, kita akan menemukan sebuah tatanan yang sangat kentara dari satu gambar ke gambar yang lain, detail-detail itu terstruktur secara konstruksif guna mendukung pengambilan gambar yang sepanjang film “diam”. Kita pasti bisa merasakan jika kekosongan artistik muncul di suatu film, untuk film Marlina kita tidak akan menemuka hal itu sama sekali. Marlina mengambil gambar dengan pendekatan banyak sudut pandang, maksudnya; pendekatan ini dibuat oleh lebih dari satu orang, ia bersifat terbuka untuk menemukan sebuah struktur yang paling tepat untuk dimasukkan dalam suatu gambar yang utuh.

 

Kecantikan Sumba menjadi berlipat ganda saat film ini dengan sadar mengambil gambar yang anti-mainstream, ia sadar kecantikan Sumba tidak bisa dibiarkan hanya dengan pengambilan gambar yang biasa dan murahan. Kita bahkan bisa bilang bahwa film ini indah hanya dengan melihat transisi gambarnya saja. Film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak sebetulnya film yang sangat sederhana, dan karena kesederhanaan itu film ini menjadi sangat tidak sederhana. Sebuah konsep Post-Strukturalisme ditawarkan hampir sepanjang film itu berlangsung.

 

Bahkan bisa kita rasakan saat membaca atau mendengar judulnya. Lalu melihat desain produksinya yang sangat menarik. 4 Babak yang menciptakan struktur kedalaman, pergantian hari yang dikaitkan dengan simbolisme, sebuah kematian di awal dan akhir film, lalu dipungkaskan dengan sebuah “kelahiran baru,” makna simbol yang tertata sangat rapi tanpa menghapus atau melupakan cerita yang sudah dibangun sejak awal. Kantor polisi dan adegan Marlina mandi di pinggir laut dengan ditemani “Topan,” menjadi titik Balik euforia penyerhan diri, bahwa bergantung pada polisi adalah hal yang sia-sia.

 

Yang juga sangat saya suka adalah keberanian menyatukan musik etnik dengan musik ala France, atau sebuah lagu yang keluar langsung dari bibir tokohnya. Kita mampu menikmati suara-suara itu bahkan tanpa perlu tahu artinya, di sinilah makna “estetika” muncul. Belum lagi film ini menciptakan kedalaman berpikir bagi setiap penontonnya, ia memaksa kita untuk terus membicarakannya sejak keluar dari ruang teater. Dan untuk itu kita perlu mendukung Marlina untuk memenggal kepala setiap superhero di teater sebelah.

 

Dan sup ayam dimaknai sebagai sesuatu yang lain, di film ini ia tidak hanya menjadi sebuah suguhan makanan. Sup ayam menjadi simbol perlawanan, menjadi titik di mana dendam harus dibalaskan. Dan juga soal bahasa, padahal film Marlina tidak menggunakan bahasa Indonesia murni, alias bahasa daerah. Tapi saya tetap mampu memahami setiap dialognya. Ini bukti, bahwa bahasa kita memang kaya. Dan Marlina menyadarkan kita atas kebanggaan itu.

 

Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak adalah sebuah pencapaian sinematik yang bukan hanya bicara gambar semata, namun juga detail setiap aspek yang membentuk film itu sendiri. Sebuah “Post-Strukturalisme” dalam Film Indonesia.

 

#BanggaFilmIndonesia

 

 

Joseph M. Boggs dalam bukunya The Art Of Watching Films, mengemukakan bahwa “Film sinematik adalah yang mampu menciptakan ilusi kedalaman, ia mengubah layar datar menjadi sebuah jendela untuk penonton mampu melihat suatu dunia tiga dimensi.” Film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak mampu menciptakan “kesan” seolah layar putih bukanlah permukaan datar, ia bertransformasi menjadi sebuah “jendela” yang mampu menciptakan “ilusi kedalaman,” dan membentuk suatu dunia tiga dimensi.

 

Terutama untuk Tata Suara film ini yang menjadi sebab kita seperti menonton sebuah pertunjukkan tiga dimensi, film ini seolah menarik saya masuk ke dalam layar—ke dalam film itu sendiri, melihat Marlina langsung yang terkesan kesepian, terlihat dari raut mukanya. Seperti melihat sebuah pertunjukkan teater yang sangat memukau, scene-scene tempat makan di dalam rumah Marlina seperti sebuah panggung teater satu babak yang memaksa kita untuk tetap fokus pada gambar itu.

 

Belum lagi film ini menciptakan “ilusi kedalaman” bahwa sepanjang film Marlina mengajak bicara penontonnya, salahsatu scene saat empat pria mati terkapar setelah memakan sup ayam adalah contoh nyata, setelah itu Marlina menatap tajam mata lensa, dengan permainan mimik muka yang sangat baik, ini seperti penegasan bahwa hal itu dibuat semata-mata bukan hanya untuk kepentingan gambar saja.

 

Film ini sudah memukau sejak awal, sejak gambar dibuka dengan font “Babak I” dengan musik etnik yang terdengar seperti kentongan yang dipukul terstruktur, rapi dengan tempo yang diatur sepersekian detik, ia mengiringi musik lain dan menjadi "pengatur tempo" yang keduanya menyatu dengan amat baik. Bukan lagi sekadar memanjakan mata namun jelas telinga juga ikut termanjakan. Film ini memukau hingga detail terkecil artistiknya; dapur, warung, kantor polisi. Semuanya mampu seimbang mengambil bagian untuk memanjakan mata pentonton, tanpa perlu memaksakan semua yang ada untuk masuk dalam satu gambar. Ia menyatu sempurna.

 

Kalau kita ingin membedahnya satu per satu, kita akan menemukan sebuah tatanan yang sangat kentara dari satu gambar ke gambar yang lain, detail-detail itu terstruktur secara konstruksif guna mendukung pengambilan gambar yang sepanjang film “diam”. Kita pasti bisa merasakan jika kekosongan artistik muncul di suatu film, untuk film Marlina kita tidak akan menemuka hal itu sama sekali. Marlina mengambil gambar dengan pendekatan banyak sudut pandang, maksudnya; pendekatan ini dibuat oleh lebih dari satu orang, ia bersifat terbuka untuk menemukan sebuah struktur yang paling tepat untuk dimasukkan dalam suatu gambar yang utuh.

 

Kecantikan Sumba menjadi berlipat ganda saat film ini dengan sadar mengambil gambar yang anti-mainstream, ia sadar kecantikan Sumba tidak bisa dibiarkan hanya dengan pengambilan gambar yang biasa dan murahan. Kita bahkan bisa bilang bahwa film ini indah hanya dengan melihat transisi gambarnya saja. Film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak sebetulnya film yang sangat sederhana, dan karena kesederhanaan itu film ini menjadi sangat tidak sederhana. Sebuah konsep Post-Strukturalisme ditawarkan hampir sepanjang film itu berlangsung.

 

Bahkan bisa kita rasakan saat membaca atau mendengar judulnya. Lalu melihat desain produksinya yang sangat menarik. 4 Babak yang menciptakan struktur kedalaman, pergantian hari yang dikaitkan dengan simbolisme, sebuah kematian di awal dan akhir film, lalu dipungkaskan dengan sebuah “kelahiran baru,” makna simbol yang tertata sangat rapi tanpa menghapus atau melupakan cerita yang sudah dibangun sejak awal. Kantor polisi dan adegan Marlina mandi di pinggir laut dengan ditemani “Topan,” menjadi titik Balik euforia penyerhan diri, bahwa bergantung pada polisi adalah hal yang sia-sia.

 

Yang juga sangat saya suka adalah keberanian menyatukan musik etnik dengan musik ala France, atau sebuah lagu yang keluar langsung dari bibir tokohnya. Kita mampu menikmati suara-suara itu bahkan tanpa perlu tahu artinya, di sinilah makna “estetika” muncul. Belum lagi film ini menciptakan kedalaman berpikir bagi setiap penontonnya, ia memaksa kita untuk terus membicarakannya sejak keluar dari ruang teater. Dan untuk itu kita perlu mendukung Marlina untuk memenggal kepala setiap superhero di teater sebelah.

 

Dan sup ayam dimaknai sebagai sesuatu yang lain, di film ini ia tidak hanya menjadi sebuah suguhan makanan. Sup ayam menjadi simbol perlawanan, menjadi titik di mana dendam harus dibalaskan. Dan juga soal bahasa, padahal film Marlina tidak menggunakan bahasa Indonesia murni, alias bahasa daerah. Tapi saya tetap mampu memahami setiap dialognya. Ini bukti, bahwa bahasa kita memang kaya. Dan Marlina menyadarkan kita atas kebanggaan itu.

 

Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak adalah sebuah pencapaian sinematik yang bukan hanya bicara gambar semata, namun juga detail setiap aspek yang membentuk film itu sendiri. Sebuah “Post-Strukturalisme” dalam Film Indonesia.

 

#BanggaFilmIndonesia

 

 

 
Tags

About The Author

Zahid Paningrome 37
Ordinary

Zahid Paningrome

Creative Writer
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel