Dengan voting, mereka merasa ini adalah bagian dari proses demokrasi yang ideal dan modern. Pertanyaannya, apa benar pilihan voting ini adalah sesuatu yang ideal? Apa hal ini sudah sesuai dengan budaya bangsa kita yang sejak dulu selalu mengedepankan musyawarah mufakat? Bukankah musyawarah mufakat juga bagian dari demokrasi?Â
Ambil contoh dalam pemilihan Ketua RT/RW. Sebenarnya lebih ideal jika musyawarah mufakat yang dikedepankan. Sebab, seorang Ketua RT biasanya memimpin 30 kepala keluarga (KK) untuk tingkat desa dan 50 KK untuk tingkat kelurahan. Artinya, sebenarnya antar tetangga satu sama lain akan saling kenal dan mereka bisa memusyawarahkannya siapa yang layak untuk menjadi seorang Ketua RT dilihat dari tingkat keaktifan dan kepeduliannya untuk lingkungan.Â
Tanpa voting pun, musyawarah mufakat bisa tercapai. Justru, dengan musyawarah mufakat, ikatan kerukunan antar tetangga akan lebih terbangun dan menjauhkan keretakkan antar tetangga kerena perbedaan pilihan sebagai imbas dari voting.Â
Idealnya, budaya musyawarah mufakat harusnya juga ditanamkan di kalangan pelajar dan mahasiswa dalam memilih ketua di lingkup sekolah dan kampus. Sehingga kelak, ketika para tunas-tunas muda ini menjadi penerus bangsa, mereka pun tidak akan melupakan pelajaran demokrasi yang diterimanya semasa di bangku sekolah dan kuliah dulu; musyawarah mufakat.