Ed & Talia #5

19 Jun 2017 01:17 8756 Hits 0 Comments
Cerpen

Ed dan Talia melakukannya seharian, hingga bintang bertaburan di langit. Malam tak lagi menyisakan arti bagi orang-orang yang saling menyetubuhi, baginya tak ada waktu saat sentuhan-sentuhan bertemu, saat mereka merasakan keringat yang sama. Di atas ranjang yang sama Talia masih terus menatap Ed yang tertidur setelah permainan mereka yang cukup keras. Pria selalu kalah soal ketahanan seks, dalam Novel Eleven Minutes karya Paulo Coelho disebutkan bahwa pria hanya butuh tujuh menit untuk mencapai orgasmus, atau mampu bertahan hanya sebelas menit saja dalam berhubungan seks.

 

Lewat satu jam setelah pertama kali Ed menutup matanya, Talia masih terus menatap, sesekali mengecup kening Ed. Talia membangunkan Ed setelah ia mengecup singkat bibir Ed. Ed mulai terbangun, berulang kali mengedipkan mata untuk memfokuskan penglihatan, tersenyum saat melihat Talia dalam balutan selimut putihnya, mereka masih telanjang bulat di dalam selimut. Ed mengucek kedua matanya, lalu mengecup bibir Talia.

 

“Kamu mimpi apa?” Tanya Talia.

 

“Mimpiin kamu,” goda Ed, tengkurap memeluk bantal.

 

“Ah, dasar gombal,” Talia menampar lembut pipi Ed.

 

“Ini jam berapa, sih?”

 

“Jam sepuluh.”

 

Ed mengubah posisinya, menahan kepala dengan tangan kanannya—menatap Talia, berulang kali mengelus pipi dan menyingkap rambut Talia yang jatuh. Romantisme terlihat dari kedua mata mereka, tak  ada yang mampu mencegah hubungan itu, seks telah membawa manusia jauh sebelum adam dan hawa tahu. Karena seks adalah suatu komitmen, saat kamu merasakannya, kamu tak akan bisa berpegangan tangan, kamu akan sepenuhnya menyerahkan dirimu pada orang lain, dan saat itu semua terjadi, kamu sepenuhnya rentan—mental atau pun fisik. Judy Blume menjelaskan pada bukunya berjudul Forever di tahun 1975.

 

“Eh, Ed. Cerita di blogmu tentang kita nggak dilanjutin lagi?”

 

“Mau dilanjutin?” Tanya Ed.

 

“Iyalah, naggung kalo ceritanya cuma sampe segitu doang,” ujar Talia, memanyunkan bibir.

 

“Ntar ya, dilanjutin, aku mau fokus sama kamu dulu,” tangan kiri Ed merangkul Talia, mereka semakin berdekatan.

 

“Kamu yaa, jago bikin penasaran orang.”

 

“Iyadong, di sini jago juga, nggak?” Ed menggoda Talia.

 

Sekali lagi Ed mencium Talia, kakinya berulang kali menyentuh kaki Talia di dalam selimut. Tangannya meraba di balik selimut, Talia memejamkan mata, merasakan getaran dan koneksi yang kuat. Ed menciumi leher Talia. Momen itu terhenti saat ponsel Talia berdering. Buru-buru Talia mengambil ponselnya di atas nakas. Singkat melihat, lalu Talia mengangkat panggilan itu, keluar dari selimut—masih telanjang. Ed tersenyum melihat kulit Talia yang mulus langsat.

 

Ed tak suka melihat Talia tersenyum mendengar ucapan seseorang dari balik bilik ponsel, ada dunia yang diambil darinya. Ed bangkit, menghampiri Talia, memeluknya dari belakang—mencium leher belakang Talia. Napasnya menyentuh kulit Talia. Talia menghindar, merasa terganggu. Ed tak suka melihat perubahan mood dari Talia. Buru-buru Ed merebut ponsel dari tangan Talia.

 

“Siapa, nih?” Kata Ed sedikit kesal.

 

“Jangan Ed!” Talia memohon, Ed menahan Talia. Ed mengernyitkan dahi, merasa familiar dengan suara di balik panggilan itu. Ed melihat nama yang terdaftar dalam panggilan, menatap Talia lalu memutus panggilan itu.

 

“Dia siapamu?” Tanya Ed. Talia tediam.

 

“Dia siapa, Talia!” Teriak Ed. Talia masih terdiam.

 

Ed membuka ponsel Talia, mencari tahu apa hubungan Talia dan pria itu. Ed mengenal pria yang menelpon Talia, dia pria yang telah menulis satu buku yang sempat menggemparkan dunia literasi di Indonesia karena mengankat genre futurisme dalam bukunya. Ed sering membaca tulisan-tulisan di blog pria itu. Ed sedikit iri karena tulisan yang dihasilkan pria itu lebih bagus daripada tulisan-tulisannya. Ed sempat membeli dan membaca buku pertama pria itu, dan sumpah demi apapun, Ed menyukainya. Premis soal kehidupan setelah perang dunia ketiga membuatnya jatuh cinta.

 

“Ini, kenapa romantis banget chatnya?” Tanya Ed, Talia terdiam—mengenakan pakaiannya.

 

“Kenapa diem aja, Talia?” Tanya Ed sekali lagi, melihat percakapan di ponsel Talia.

 

Mengetahui kenyatan itu, Ed melempar ponsel Talia ke atas kasur, lalu mengenakan pakaiannya. Talia mengambil ponsel itu, mengabari si penulis yang menelponnya—menjelaskan semuanya. Talia tak pernah sulit menjelaskan sesuatu yang rumit kepada pria itu. Si Penulis selalu menerima penjelasannya. Talia melihat foto yang dikirimkan Ed—foto dirinya telanjang.

 

“Jadi, aku selingkuhamu atau dia selingkuhanmu?” Tanya Ed, masih sibuk mengenakan pakaiannya.

 

“Itu semua tergantung dari caramu melihat.”

 

“Ini apaan sih, yang jelas, deh. Jangan berbelit,” suara Ed meninggi.

 

“Ya, menurut kamu gimana?” Tanya Talia, menantang.

 

“Kita udah sejauh ini loh, Talia…” Ed memelas, gestur tangannya menunjuk ranjang di depannya.

 

“Kita belum sejauh itu, Ed. Hubungan kita belum kemana-mana,” Talia menggeleng pelan—menatap Ed singkat.

 

“Gila yaa…” Ed duduk di ujung ranjang.

 

Tak ada yang paham bagaimana cinta terbentuk. Dari semua kesalah-pahaman tentang cinta, yang paling nyata dan meyakinkan adalah keyakinan bahwa jatuh cinta adalah cinta. Persis kata M. Scott Peck, dalam bukunya The Road Less Traveled, di tahun 1978. Banyak orang terlalu hebat menafsirkan cinta, sampai lupa dari mana cinta harus dimulai, banyak orang alpa bagaimana cinta itu ada. Mereka hanya merasakan perasaan-perasaan semu. Tak ada yang nyata, bahkan seks sekalipun.

 

“Sekarang kamu pilih… Aku atau penulis itu?” Ed menantang.

 

“Sorry Ed, aku tokoh utama di novelnya… Aku gak mungkin pilih kamu—mustahil,” Talia mengemasi barangnya lalu pergi.

 

Susan Lydon pernah menulis, bahwa; Sesksualitas wanita didefiniskan oleh laki-laki, untuk keuntungan laki-laki, telah diturunkan dan diputarbalikkan, ditindas dan disalurkan. Kalimat itu menjadi bagian dalam bukunya berjudul The Politics Of Orgasm, di tahun 1970. Banyak pria merasa telah menguasi wanita, saat mereka telah menerima seks atau kenikmatan lainnya. Padahal bisa jadi itu hanya sebuah pelampiasan. Banyak orang tak paham bahwa yang paling menyakitkan dalam berhubungan adalah saat seks dilakukan tanpa cinta. Kau tak sadar bahwa itu adalah kekosongan semata.

 

 

 -----

Tags

About The Author

Zahid Paningrome 37
Ordinary

Zahid Paningrome

Creative Writer
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel