Ed & Talia #2

4 Jun 2017 19:49 3948 Hits 0 Comments
Cerpen

Kata siapa cinta selalu datang terlambat? Dia ada hanya untuk orang-orang yang siap dan berani memulai. Boleh menunggu tapi tidak untuk selamanya. Ed & Talia memulainya hanya dari percakapan yang sederhana, tatapan yang meneduhkan dan senyuman tanpa malu. Semua ada karena kesadaran penuh, bahwa tak ada lagi waktu untuk memperdebatkan perihal cinta. Cinta ada karena manusia menganggapnya ada.

 

“Ed, sini deh,” ujar Talia memanggil Ed yang sibuk dengan laptopnya.

 

“Apa?” tanya Ed menghampiri Talia.

 

“Nonton film, yuk,” tunjuk Talia pada layar laptopnya, sebuah film sedang diputar.

 

“Wah, salah satu film Indonesia favoritku, nih,” kata Ed, antusias.

 

“Seriously? Aku gak pernah bosen nonton film ini… Emosinya kena,” Talia bergeser, memberikan ruang untuk Ed duduk.

 

“Iya serius. Adegan favorit jelas waktu Nicholas Saputra sama Ayu Shita,” Ed duduk di samping Talia.

 

“Ah iyaa, pas dia ngintip di pintu,” Talia terenyuh memeluk bantalnya erat, mengingat adegan itu.

 

“Nah! Itu visi kameranya shahih banget sumpah. Mungkin, film ini tanpa adegan itu jadi kosong,” kata Ed mulai merangkul Talia yang fokus menonton film.

 

“Iya, itu apik banget. Kayak kunci mereka berdua itu awalnya disitu, jadi kalo nggak ada adegan itu kayak ada yang kurang,” Talia membalas merangkul Ed, mengelus lembut punggungnya.

 

“Belum lagi yang di Kolam renang… Premisnya hampir mirip-mirip Rectoverso, cuma ini lebih kompleks karena melibatkan fisik.”

 

“Rectoverso itu yang apa, yaa? Kok aku lupa… Kalo yang di kolam renang tuh alus banget, kerasa ke penonton pokoknya,” Talia menyandarkan tubuhnya ke Ed, kepalanya bertumpu pada pundak Ed.

 

“Iya… film Indonesia, dari kumpulan ceritanya Dee, beberapa cerita jadi satu film. Yang Lukman Sardi jadi tokoh down syndrome… Sama-sama cinta yang tak terucap,” Ed mencium ubun-ubun Talia.

 

“Aku nangis nonton itu.”

 

“Tapi kalo film ini lebih ke cinta yang nggak tahu, alias buta. Dikira cintanya sama, padahal bukan yang diharepin… Kamu mah gembeng,” kata Ed menggoda Talia.

 

“Serius. Aku nangis waktu Lukman Sardi sadar kalo ada sesuatu yang hilang,” Talia mencari tangan Ed, lalu menggenggamnya.

 

“Aku lebih suka partnya Dwi Sasono,” Ed membalas, mengelus tangan Talia.

 

Ed dan Talia terdiam cukup lama, masing-masing fokus menonton film. Ada kehangatan yang tercipta di antara mereka, kehangatan yang datang tak sengaja, datang tanpa ditulis. Jantung mereka berdebar seirama, sama-sama lebih kencang dari biasanya.

 

“Kamu baca novel-novelnya Dee juga, ga?” Talia mengangkat kepalanya, bangkit, duduk menatap Ed. Tak lagi bersandar.

 

“Baca dong. Dee jadi salah satu penulis yang bikin aku nulis… Kenapa emang, kok tanya gitu?” Ed melepas tangannya dari punggung Talia.

 

“Nggapapa, nanya aja. Soalnya setahuku temen-temenku cowok jarang baca novel-novelnya Dee,” kata Talia, menghentikan film.

 

“Ohiya? Padahal imajinasi Dee itu liar loh, untuk seorang cewek… Kamu udah baca Supernova?”

 

“Iyaa. Tinggal baca yang Intelegensi Embun Pagi.”

 

“Aku paling suka Petir, soalnya suka sama Electra.”

 

Talia menutup laptopnya, tersenyum menatap Ed. Tatapan manjanya terlihat, membuat Ed mengelus singkat ubun-ubun Talia. Setelahnya, Talia menggenggam tangan Ed lalu mengecupnya lembut—pelan.

 

“Eh Gimana sih biar konsisten nulis? Soalnya aku kalo nulis cuma waktu mood aja, habis itu stuck, terus ganti cerita lagi,” Talia menahan tawa, melepas tangan Ed.

 

“Hmm… Gimana ya, coba deh baca cerpen terbaruku. Nanti aku kasih tahu.”

 

“Bentar aku baca, tapi habis itu beneran kasih tahu yaa,” Talia mengambil ponselnya.

 

“Pasti, kamu bakal familiar sama percakapannya.”

 

Talia mulai membaca, Ed melihatnya tersenyum, ada perasaan bahagia terpancar dari matanya, Ed terus melihat respon itu, ekspresi Talia meneduhkan Ed. Sesekali Talia melirik Ed—tersenyum. Ed membalasnya, mereka berdua tersipu malu. Sampai Talia selesai membaca.

 

“Percakapanya! OMG sama persis, gokil. Aku senyum-senyum sendiri bacanya… Itu kan waktu pertama kali kita ketemu, kan?” Talia antusias, menaruh ponselnya kembali.

 

“Iya… Poinku adalah. Manfaatkan sekitarmu, kalo kamu suka baca itu udah jadi bekal buat nulis. Tinggal disiplin aja.”

 

“Nah disiplinnya itu… Terus kalo mau nulis aku masih sesuai mood, lingkungan sekitar juga harus mendukung.”

 

“Coba nulis random aja tiap hari. Jadi terserah mau nulis apa, nggak ada syarat, nggak ada batasan mau berapa halaman. Cari partner yang bisa dukung dan jaga mood kamu.”

 

“Hmm, agak susah sih yaa cari partner… Kamu pinter banget ngembangin ceritanya dari hal kecil jadi cerita yang apik.

 

“Tapi suka nggak sama ceritanya?” Tanya Ed, tersenyum menatap Talia yang masih terlihat antusias.

 

“Suka! Suka banget, to be continued gak?” Tanya Talia antusias.

 

“Mungkin… Hati-hati bisa jadi percakapan ini jadi lanjutannya,” Ed menggoda.

 

“Haduh, memang jiwa-jiwa penulis handal sih yaa, aku  mah cuma butiran debu.”

 

“Jangan gitu ah, aku juga butiran debu kok kalo tanpa kamu. Cuma butuh pengalaman aja sebetulnya,” Ed memegang kedua tangan Talia—menciumnya, lalu melepas gengamannya, mencium pipi kanan Talia. Talia membalas, mengecup pipi kiri Ed.

 

“Kamu tahu nggak? Banyak orang yang tanya tentang film yang dimaksud di cerita itu, loh… Tapi nggak aku jawab,” kata Ed setelah Talia mengecupnya.

 

“Nanya yang di cerpen kamu itu? Kok nggak dijawab? Itu kan film Taqwacores”

 

“Biarin penasaran… Banyak juga yang tanya, beneran inspired by true story apa enggak, aku jawab sekadarnya aja biar makin penasaran,” tawa Ed menghiasi ruang kamar Talia.

 

“Biar makin banyak yang nungguin lanjutannya, lah yaa,” Talia ikut tertawa. Mengubah posisinya.

Ed duduk bersila, Talia membaringkan tubuh, kepalanya bersandar pada kaki Ed. Talia bisa melihat dagu Ed dari tempatnya berbaring.

 

“Aku mau tidur, jangan ganggu,” kata Talia pada Ed. Talia berulang kali berkedip menggoda Ed. Lesung pipitnya kentara, bagian yang paling dirindukan Ed, menatap wajah Talia dengan senyum yang menciptakan lesung pipit di pipi kanan. Ed jatuh cinta pada situasi itu. Ed memainkan rambut Talia, menyingkapnya ke telinga, membuat kening Talia tak lagi tertutup rambut.

 

Talia membuka mata, tersenyum menatap Ed, tatapannya begitu dalam. Ed membalas, tanganya mengelus dagu dan pipi Talia, lembut tanpa tergesa-gesa. Mereka berdua masih saling tatap, Talia ikut mengelus pipi hingga ke bibir Ed. Mengelusnya pelan, memberikan sebuah pesan. Ed menyadari sesuatu, lalu mendekat, jantungya berdebar semakin cepat, Ed semakin mendekat, Talia tersenyum—memejamkan mata, lalu bibir mereka bertemu. Ed menahannya beberapa detik sampai bibir Talia mulai bergerak saling bertaut.

 

 

 -----

Tags

About The Author

Zahid Paningrome 37
Ordinary

Zahid Paningrome

Creative Writer
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel