Labirin Tak Berujung - Part 6

8 Feb 2017 11:49 7796 Hits 4 Comments
Ario menatap wajah Marcel lekat-lekat. Perasaan senang sekaligus sedih bergejolak di hatinya saat ini. Senang karena ia melihat anaknya sekarang yang sudah bertambah besar dan menggemaskan. Sedih karena membayangkan seandainya Marcel bukan anak kandungnya.

 

Ringkasan cerita sebelumnya : Labirin Tak Berujung - Part 5

 

Serpihan Rasa

Labirin Tak Berujung - Part 6

Gambar diambil dari http://m-refai.blogspot.co.id/

 

Pagi ini menjadi pagi yang suram buat Yanti. Ia baru bisa tidur jam 03.00 subuh. Kegelisahan hatinya masih saja membayangi pikirannya, bahkan ketika sudah bangun pagi. Waktu menunjukkan pukul 09.00 saat terik matahari berhasil membangunkan dia dari mimpi buruknya. Dengan mata sembab Yanti mencoba berjalan keluar dari kamar tidurnya.

Bimo sengaja tidak membangunkan Yanti. Ia membiarkan istrinya tidur nyenyak. Yang biasanya melihat istrinya sibuk di dapur saat ia bangun, kini sudah tidak lagi. Yang biasanya melihat istrinya menyiapkan sarapan di meja, kini juga sudah tidak lagi. Kebiasaannya bercengkrama dengan Briyan bersama istrinya setiap pagi pun sudah tidak ada lagi, bahkan ia harus merelakan dirinya berangkat ke kafe tanpa lambaian istri dan anaknya yang biasanya mengantar dia sampai halaman rumah. Mendadak semua berbeda dari biasanya, semua menjadi terasa hambar.

Dengan berjalan lunglai Yanti menuju ke ruang makan. Ia sudah tidak lagi melihat suaminya sarapan. Ia pun menuju ke kamar Briyan, ternyata Briyan pun tidak ada di sana.

“Biyaaann, di mana kamu?” Yanti berteriak memanggil anaknya dan berjalan ke ruang keluarga, yang ternyata Briyan juga tidak ada di situ.

“Briyan di sini bu!” Terdengar suara samar-samar dari luar menjawab teriakan Yanti. Yanti mengikuti arah suara itu yang ternyata berasal dari halaman belakang rumahnya.

“Oh, di sini kalian rupanya!” Yanti melihat Briyan bersama asisten rumah tangganya yang sedang memberi Briyan makan. Spontan ia mengambil anaknya dari keranjang bayi lalu menggendong Briyan sambil mencium pipinya mesra.

“Halo sayang, lagi makan ya? Enak rasanya? Mmmuachhh!” Kembali ia mencium pipi anaknya berulang kali hingga puas. Tak lama ia kembali meletakkan anaknya ke tempatnya semula.

“Ning, nanti kamu tolong jaga Biyan ya, saya mau keluar dulu, ada urusan penting. Kalau kamu nggak sempat cuci dan setrika pakaian hari ini, besok juga nggak apa-apa. Saya mungkin pulang malam.”

“Iya bu.” Asisten rumah tangganya yang bernama Nining menjawab singkat.

Yanti memang ibu rumah tangga yang baik. Rutinitasnya tiap pagi menyiapkan sarapan untuk anak dan suaminya yang dibantu asisten rumah tangganya, lalu setelah suaminya pergi, ia yang mengurus anaknya dan segala tetek bengeknya sendirian. Ia juga yang belanja ke pasar dan memasak tiap harinya. Hobinya memasak dan membuat kue membuat ia ikhlas menjalani semua ini tanpa beban. Namun khusus untuk hari ini, dia off melakukan semua itu. Khusus untuk hari ini, ia tidak ikhlas.

Kini Yanti tengah bersiap-siap keluar rumah. Ia sedang men-starter mobilnya hendak berangkat ke suatu tempat. Yanti berencana menemui adiknya Ario membicarakan kejanggalan hatinya saat ini. Semula ia ragu, namun kegalauan hatinya yang laksana asap rokok yang sesak memenuhi paru-parunya, memaksa ia harus menceritakannya kepada Ario.

Sebelum berangkat, Yanti sudah menelepon Ario. Kebetulan Ario punya waktu luang siang nanti. Yanti pun segera berangkat menuju rumah sakit.

Setelah melewati rutinitas macet selama satu jam, Yanti akhirnya sampai di rumah sakit tempat Ario bekerja. Segera ia mengirim pesan lewat Whatsapp, memberitahukan kepada Ario bahwa ia sudah sampai. Setelah mendapat jawaban, Yanti segera keluar dari mobilnya dan menuju ke tempat yang sebelumnya sudah dijanjikan.

“Yo, sori ya ganggu, nggak sibuk kan hari ini?” Yanti mengecup pipi kiri dan kanan adik semata wayangnya itu yang disambut dengan pelukan hangat Ario.

“Nggak apa-apa, mbak. Memang ada apa sih mbak, koq kayaknya urgent banget?”

“Urgent sih nggak, Kita pesan makanan dulu, ya? Kamu mau makan apa?”

Tak membutuhkan waktu lama, mereka pun menyantap hidangan yang dipesan.

 

Ario ternyata mempunyai perasaan yang sama dengan kakaknya Yanti. Penuturan gamblang Yanti seolah-olah mengukuhkan kesimpulan mereka kalau ada yang tidak beres sedang terjadi tanpa sepengetahuan mereka. Peristiwa demi peristiwa yang terjadi ternyata memiliki banyak kesamaan dengan kecurigaan mereka.

“Terus terang aku nggak berani mengungkapkan kecurigaanku ini secara langsung kepada mbak. Aku nggak mau rumah tangga mbak dan Bimo jadi hancur berantakan. Lagi pula semua masih terlihat wajar-wajar saja bagiku. Aku juga sangat sayang sama Marcel, begitu juga Marcel sayang sama aku. Lama kelamaan kecurigaanku pun semakin pupus seiring dengan seringnya Marcel selalu ngelendot di pundakku dan mencium pipiku setiap aku pulang kerja. Begitu mbak bilang sekarang inilah aku jadi teringat lagi dengan kecurigaanku dulu.” Ario bercerita panjang lebar.

Sejenak Yanti terenyuh. Begitu mendengar Ario dan Marcel sangat dekat sebagai ayah dan anak, membuat ia berpikir untuk mundur dari keinginannya mencari tahu identitas Marcel yang sebenarnya.

“Maaf, mbak sebenarnya nggak bermaksud membuat retak rumah tangga kamu, apalagi sampai berniat memisahkan hubunganmu dengan Marcel. Mmm..., mungkin sebaiknya dilupakan saja perbincangan kita ini, Yo. Mungkin mbak khilaf.” Yanti mulai bimbang. Pikirannya meragu, antara benar dan salah.

“Kalau kecurigaan mbak benar, apa yang dilakukan Dira dan Bimo tentu saja tidak bisa dimaafkan. Aku tidak rela jika Marcel benar anak Bimo!”

“Sssttt!!! Jangan keras-keras! Nggak enak didengar orang!” Yanti memberi aba-aba agar Ario memelankan nada suaranya. Sejenak terdengar hening.

“Jadi gimana dong, mbak?” Ario balik bertanya.

Yanti tidak langsung menjawab sampai akhirnya ia mengambil secarik kertas dari tasnya dan langsung memberikannya kepada Ario. Ario membaca dengan seksama.

“Oke, let’s do it!” jawab Ario pelan menutup pembicaraan.

 

Rencana Yang Tak terlupakan

Labirin Tak Berujung - Part 6

Gambar diambil dari https://ervakurniawan.wordpress.com

 

Setahun kemudian,

 

Minggu sore yang cerah. Terdengar senda gurau ayah dan anak di dalam rumah yang megah.

“Nah, sudah ganteng anak papi!” puji Ario sambil mengusap-usap lembut rambut ikal Marcel, anaknya.

“Papi, kita mau pelgi kemana?” Kalimat cadel khas anak tiga tahun terdengar lancar keluar dari mulut Marcel. Ario tersenyum senang mendengarnya.

“Kita kan mau ke rumah nenek jemput mami, kamu lupa yaa?”

“Oh iya, Acel lupa!” Spontan Marcel memukul jidatnya dengan tangan mungilnya. Tindakan kocak itu tak ayal membuat Ario tertawa kecil.

“Asiikk! Jemput mamii!!” Marcel meloncat girang.

“Hahaha! Pintarnya anak papi. Ya sudah, yuk kita jemput mami!” Ario menggendong Marcel lalu membawanya menuju carport diiringi teriakan Hole! Hole! dari anaknya yang penuh semangat dan tanpa dosa.

Tak lama mereka sudah berada di dalam mobil. Sambil memanaskan mobilnya, Ario menatap wajah Marcel lekat-lekat. Perasaan senang sekaligus sedih bergejolak di hatinya saat ini. Senang karena ia melihat anaknya sekarang yang sudah bertambah besar dan menggemaskan. Sedih karena membayangkan seandainya Marcel bukan anak kandungnya.

Galau menggelayuti pikirannya saat ini. Antara ingin melakukan apa yang sudah ia rencanakan dengan kakaknya atau menundanya sekali lagi. Sebenarnya ini sudah yang kedua kalinya Ario membatalkan niatnya membawa Marcel ke rumah sakit. Ya, ke rumah sakit untuk tes darah. Ada perasaan tak tega jika harus mengambil sampel darah dari anak kecil yang masih berumur tiga tahun dan sangat ia sayangi, namun membiarkan dirinya dihinggapi rasa penasaran terus menerus atas kejanggalan yang terjadi juga tidak bisa ia biarkan begitu saja.  

Dengan malas Ario menjalankan mobilnya pelan. Ia sengaja tidak membawa baby sitter anaknya, agar rencananya berjalan mulus dan tetap menjadi rahasia. Dira tidak boleh tahu misi ini, untuk itulah Ario harus melihat waktu dan situasi yang tepat agar misi tidak terbongkar.     

Setelah sampai di rumah sakit, Ario membawa anaknya langsung menuju ke ruangan temannya yang sudah menunggu mereka sejak tadi.

“Papi, kita dimana?” Marcel bertanya heran. Kepalanya celingak-celinguk kebingungan. Rumah nenek kok mendadak besar? Pikirnya.

“Kita sekarang ada di rumah sakit tempat papi kerja. Kita kemari dulu baru kita ke rumah nenek ya?!” Ario tersenyum melihat wajah Marcel yang terbengong-bengong melihat keadaan sekitarnya.

“Oh, ini tempat papi keljaa...!” Marcel akhirnya mengerti bahwa ia dibawa ke rumah sakit, bukan rumah neneknya yang mendadak jadi besar, seperti yang ia pikirkan sebelumnya. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa menepuk jidatnya.

Setelah melewati beberapa belokan, mereka pun sampai di ruang laboratorium. Yang terjadi selanjutnya adalah, semua tampak seperti sudah diatur. Salah satu suster berhasil membujuk Marcel naik ke atas tempat tidur dan suster lainnya dengan sigap memberikan peralatan suntik kepada sang dokter, teman Ario. Ario hanya bisa memandang dan memegang tangan anaknya yang sempat meronta begitu melihat jarum suntik diarahkan ke tangannya yang mungil.

Perasaan tak tega kembali menghantui pikirannya. Ingin rasanya ia menghentikan rencana gilanya ini, namun segalanya sudah terlambat. Hanya dalam hitungan menit, semuanya pun selesai.

 

Sepanjang perjalanan menuju ke rumah orang tuanya Dira, Marcel tertidur. Efek obat bius dosis rendah yang sempat diberikan masih membuat Marcel terlelap. Timbul kembali perasaan menyesal di hati Ario. Sebenarnya mengambil DNA Marcel tidak harus lewat sampel darah, bisa juga dari air liur atau rambut. Memang ia sendiri sudah mencabut sehelai rambut Marcel dan juga rambutnya untuk diperiksa, namun ia berpikir, jika ditambah dengan tes darah tentu akan semakin menguatkan hasilnya nanti.  

Terbersit juga rasa takut jika seandainya Marcel memberitahu ibunya kalau ia dengan papinya baru saja disuntik, mengingat Marcel sudah tiga tahun dan sudah memiliki kemampuan mengingat yang tinggi.

Tak terasa, mereka pun sampai di rumah neneknya Marcel. Ia memarkirkan mobilnya agak jauh dari rumah mertuanya, lalu memandang anaknya yang masih tertidur pulas. Perlahan Ario melepas kapas yang menutupi bekas suntikan di tangan Marcel lalu membersihkannya dengan tissue antiseptik. Ia harus melakukan ini kalau tidak mau istrinya curiga. Tak lupa ia pun melepaskan kapas dari lengannya dan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukannya pada Marcel.

Setelah selesai, ia menggendong anaknya yang masih tertidur nyenyak dan membawanya ke rumah orang tua Dira, sambil berdoa semoga Dira tidak curiga dan tidak pernah mengetahui tindakannya ini.

 

Daun Mulai Berguguran

Labirin Tak Berujung - Part 6Gambar diambil dari http://codinganku.blogspot.co.id/

 

Empat minggu kemudian,

“Koq nggak habis makannya, Beib?” Dira mengusap lembut pundak suaminya. Ario tidak menjawab, dia hanya mengambil tissue lalu membersihkan pinggir mulutnya dari sisa makanan.

“Koq nggak dijawab say? Kamu lagi ada masalah dikantor ya?” Dira masih bertanya lembut namun mulai terusik. Ario masih tidak menjawab, ia hanya menganggukkan kepalanya.

“Ya sudah nggak papa. Mungkin kamu kecapekan ya. Tidur gih, sana!” Dira berhenti mengusap pundak suaminya lalu memanggil asisten pribadinya untuk membersihkan meja makan. Perlahan Ario beranjak dari tempat duduknya menuju kamar tidur tanpa mengucap sepatah katapun.

Dira benar-benar terusik. Ia tak menyangka suaminya akan bertingkah laku seperti ini, namun ia berusaha bersabar. Sejuta pertanyaan bergelayut di benaknya namun ia tidak bisa berbuat apa-apa.

 

Kini Ario sudah berada di tempat tidur. Pikirannya menerawang pada kejadian tadi siang.

“Yo. Ini hasil tes DNA anakmu.” Tito memberi sebuah amplop cokelat ke Ario. Jantungnya berdegup kencang.

“Apa hasilnya?” Tak sabar Ario membuka amplop besar itu. Saat ini Ario berada di ruang kerja Tito. Ia langsung datang menemui Tito saat itu juga setelah Tito meneleponnya memberitahu kalau hasil tes anaknya sudah bisa diketahui.

“Kau lihat sajalah sendiri.” Tito menjawab datar.

Ario membaca dengan seksama. “Hanya ada... satu STR?”

“Yup, benar.”

“Seharusnya... berapa?”

“Paling tidak 16 STR, bro.”

“Artinya...”

“Artinya, kamu sudah tahu jawabannya, Yo.”  

Bagai disengat petir di siang hari, Ario tertunduk lemas. 

 

Dira masuk ke kamar. Ia memeluk suaminya dari belakang, membuyarkan lamunan Ario. “Lagi melamun ya? Melamun apa sih?”

Ario terkesiap. Ia ingin menghindari pelukan istrinya tapi tidak jadi. “Nggak. Nggak apa-apa.”

“Bilang dong Beib kalau ada masalah. Aku kan istrimu.” Dira masih mencoba merayu dengan lembut, tapi ia mulai merasakan kegelisahan Ario. Pasti ada yang tidak beres, gumamnya.

“Maaf Dir. Aku sedang tidak ingin diganggu. Sudah ya, aku mau tidur.”

“Lho, koq ketus gitu sih? Ya... sudah... kalau nggak mau ceritaa...” Dira tersinggung. Ia melepaskan pelukan suaminya lalu menuju ke luar pintu kamar, membiarkan suaminya yang masih duduk di ranjang.

Di luar, Dira merasa heran. Apa aku ada salah ngomong ya? Akh, salah makan kali, batin Dira. Tak mau pusing-pusing, ia menuju ke kamar Marcel yang lagi bermain-main dengan babby sitter-nya. 

 

TO BE CONTINUED

Tags

About The Author

Arya Janson Medianta 47
Ordinary

Arya Janson Medianta

0813 7652 0559 (WA) Arya_janson@yahoo.com
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel