Pertemuan Terakhir

9 Jan 2017 10:11 2468 Hits 0 Comments
Cerpen

 

[BERDASARKAN KEJADIAN NYATA]

...

 

“Kamu dimana??” tanya seorang wanita dengan nada kesal dari balik telepon.

 

“Aku udah di depan kok.”

 

“Di depan mana??”

 

“Di depan pintu keluar. Kamu dimana??”

 

“Ohyaudah aku kesana.”

 

“Jaket merah ya.”

 

Telepon ditutup. Seorang wanita berjaket bomber hijau toska berjalan menghampiriku. Rambutnya dikuncir membentuk donat dengan lubang ditengahnya. Di tangan kirinya tas besar merah muda terlihat begitu berat, membuat tubuhnya condong ke kanan.

 

“Sini aku bawain.”

 

“Aku hampir aja pesen GOJEK. Kamu lama banget.”

 

“Sorry,” kataku sedikit tertawa.

 

“Nih angklungmu aku bawa,” ditangan kanannya tas berisi angklung bernada Re dibawa.

 

“Makasih, yaa,” senyumku, berjalan menuju parkiran stasiun.

 

“Semarang panas banget.”

 

“Di rumahku tadi gerimis.”

 

“Kok bisa??” tanya wanita itu dibelakangku.

 

“Anomali cuaca. Semarang dibagi dua wilayah. Semarang atas sama bawah,” tas merah muda yang berat itu kutaruh di bagian pijakan kaki motor matic. Wanita itu menungguku menarik motor, sesekali megelap kening yang basah oleh keringat, Aku melihatnya dari spion. Wanita itu naik, setelah aku menyalakan mesin.

 

“Kemana dulu, nih??” tanyaku.

 

“Check-In dulu, lah. Masa iya mau jalan-jalan bawa barang segini banyaknya,” kata wanita itu memakai helm.

 

“Jangan keras-keras, check-in kedengeran negatif disini,” Aku tersenyum, dari spion aku melihat wanita itu menutup mulut dengan tangan.

 

Hari itu pukul dua siang, sebuah janji membawaku ke stasiun, sekali lagi. Salah satu tempat yang paling ku benci. Di sanalah tempat paling nyata dimana kita bisa melihat perpisahan bahkan merasakannya. Tiga hari sebelumnya wanita ini menghubungiku tiba-tiba setelah berbulan-bulan tak memberikan kabar baiknya padaku. Dia ditugaskan di kota ini selama tiga hari dua malam. Dan dia memintaku menemaninya selama waktu senggangnya. Aku memberikan satu syaratku padanya, untuk membawakan angklungku yang tertinggal kala itu. Saat aku mengunjungi Bandung untuk sebuah festival film.

 

“Bener yaa, langsung ke hotel. Jangan minta berhenti tiba-tiba,” kataku menggoda.

 

“Bener, Zahid...”

 

Motorku melaju pada kecepatan normal, jalanan ramai di Kota Lama, sampai kita melihat Gereja Blenduk, satu tempat yang ingin dia singgahi selama di Semarang.

 

“Bener, yaa...” godaku sekali lagi.

 

“Eh... Ini tempat yang aku tunjukin di line kemarin kan?? Aah Zahid!” wanita itu menampar pundakku.

 

Dari spion, aku bisa melihanya tersenyum, terpaku mendongak—menatap Gereja Blenduk. Aku sedikit tertawa melihat helm yang tampak kebesaran di kepalanya.

 

“Habis dari hotel kita harus kesitu.”

 

“Makan dulu. Katanya belum makan nasi dari semalem.”

 

“Eh iya makan dulu.”

 

Hotel tempatnya menginap tak terlalu jauh dari stasiun. Dekat dengan pusat perbelanjaan bintang lima di Semarang. Aku membantunya membawakan barang-barang hingga ke kamarnya. Lalu menunggunya di luar. Kamarnya nomor 612, aku bahkan masih ingat. Lorong hotel itu sangat sepi. Aku menunggu sembari melihat sebuah rumah yang punya lahan luas, dindingnya sejajar dengan dinding hotel yang menjulang tinggi. Ponselku ku tinggalkan di jok motor. Aku terbiasa menjauhkan barang itu ketika sedang bertemu atau berbincang dengan orang. Setengah jam kuhabiskan waktu dengan mondar-mandir, sekali mengetuk pintu, beberapakali kata-kata lewat di kepalaku, membentuk puisi. Aku hanya tersenyum, bukan waktunya untuk membuat puisi. Waktunya untuk menghabiskan kemungkinan bersama seseorang yang didatangkan Tuhan.

 

“Yuk,” pintu kamarnya terbuka, aku tersenyum melihatnya telah berganti pakaian. Wanita itu menutup pintu. Aku berjalan di belakangnya. Berulangkali aku meyakinkannya, menanyakan sesuatu yang mungkin tertinggal. Dia sangat yakin, hingga kaki kita menapaki lobby hotel. Dia baru teringat, dompetnya tertinggal di kamar. Dia sedikit tertawa melihatku, tanda meminta maaf. Aku tersenyum memakluminya. Perjalanan jauh telah menghabiskan tenaga dan fokusnya. Aku mengambil motorku dan menunggu di depan hotel.

 

“Udah??” Bener nggak ada yang ketinggalan lagi??” tanyaku, memberikan helm.

 

“Aman.”

 

“Oke,” kataku menyalakan mesin.

 

“Kok diem??”

 

“Bismillah dulu...”

 

“Bismillah.”

 

Jujur saja, aku tak punya ide untuk membawanya ke tempat makan yang mana. Aku mengandalkan spontanitasku, aku lemah untuk urusan tempat-tempat yang sering didatangi banyak orang. Aku lebih suka sendiri, rasanya pusing jika harus berada di keramaian. Tidak jauh dari hotel, aku membawanya ke tempat makan yang sialnya sudah pernah dia datangi saat dulu berkunjung ke Semarang. Dia tidak memasalahkan hal itu, meski aku tahu dia sedikit kecewa, aku membaca dari nada bicaranya. Harusnya kubawa dia ke tempat yang belum pernah dia datangi.

 

Setelah kita selesai makan, aku membiarkan dia untuk membuka obrolan lebih dulu. Sesekali wanita itu sibuk dengan kedua ponselnya.

 

“Jadi gimana??” katanya setelah menutup ponsel.

 

“Hmm?? Gimana apa??”

 

“Eh sorry, yaa. Aku baru bisa bawa angklungmu.”

 

“Ah nggapapa. Santai aja, aku tahu kamu bakal bawa langsung ke Semarang.”

 

“Kok bisa??” wanita itu melipat tangannya di meja.

 

“Yaa, aku berdoa sama Tuhan... Semoga kita bisa ketemu lagi. Akhirnya ketemu kan??” senyumku menatapnya.

 

“Kamu nggak lagi gombal kan??” tanyanya. Aku tersenyum membalas.

 

Entah apakah ini sebuah kebetulan atau anugerah dari Sang Maha dahsyat. Setiap kali aku menatap mata seseorang, aku selalu bisa membaca habis pikirannya. Rasanya seperti semua yang ada dalam dirinya melewati pikiranku sebagai gambaran yang pecah. Aku hanya perlu diam untuk menebak. Bukan hanya apa yang disuka atau tidak disukai. Semua tentang orang itu. Tak terkecuali wanita di depanku. Aku mendapat beberapa gambaran pecah yang kupilih satu.

 

“Kopi apa Teh??” tanyaku.

 

“Aku lebih suka cokelat,” katanya melihat tote bagku.

 

“Eh itu hadiah lomba foto di instagramya?? Yang tentang kopi, kan??” tanya wanita itu.

 

“Bukan,” aku menggeleng.

 

“Terus??”

 

“Hadiahnya Kopi... Kopi Solok.”

 

“Kamu emang suka ngopi yaa??”

 

“Hmm... Aku malah lebih suka ngeteh.”

 

“Aku nggak kuat ngopi. Lambungku bisa sakit.”

 

“Jadi kamu minum cokelat apa??” tanyaku.

 

“Cokelat sachetan aja sih.”

 

“Merknya??” tanyaku sekali lagi.

 

“Yang bungkusnya warna merah.”

 

“Delfi??”

 

“Nah iya, itu.”

 

Aku tidak percaya apa yang keluar dari bibir wanita itu barusan. Aku merogoh tasku. Mengambil satu sachet delfi lalu memberikan tepat di depannya.

 

“Nih buat kamu. Kalo entar malem pengen minum cokelat.”

 

“Ha??” wanita itu terpana, berulang kali melihatku dan satu sachet cokelat delfi. Ada banyak pertanyaan muncul di kepalanya. Aku tahu apa yang akan dia katakan setelah ini.

 

“Kamu kok nakutin sih?? Kamu stalkerku yaa?? Ih kok bisa sih??” wanita itu memegang cokelat Delfi, sembari melihatku.

 

“Kebetulan nih pasti.”

 

“Nggak ada yang kebetulan,” aku menggeleng dan tersenyum.

 

Wanita itu masih terpana, pelan-pelan memasukkannya ke dalam tas, sembari terus melihatku penuh curiga.

 

“Yaudah yuk, sebelum kesorean,” aku bangkit berdiri.

 

“Lawang Sewu, yaa,” katanya bersemangat. Aku tersenyum membalas.

 

Aku pun tak tahu kenapa itu bisa begitu nyata terjadi. Bahkan cokelat Delfi itu sudah ada di tasku sejak dua hari yang lalu. Ibuku memberikan dua bungkus padaku. Ada banyak yang tak aku ceritakan dari obrolan kita di rumah makan itu. Katanya, aku seperti seorang peramal. Padahal itu terjadi karena spontanitasku, aku hanya menebak. Aku memang salah satu orang yang berkeyakinan bahwa tak ada yang kebetulan di dunia ini.

 

Tak bisa kupungkiri dia tampak anggun dalam setelah sederhananya. Aku suka bagaimana lengan bajunya menyentuh kedua sikunya. Warna baju garis hitam putih yang membuatnya terlihat ideal, tidak kurus juga tidak gendut. Caranya menguncir rambut membuat jenjang lehernya yang putih terlihat. Bahkan aku tersenyum dengan cara dia memegang tongsis, mencari angle yang pas untuk mengabadikan momen itu. Sampai aku memutuskan untuk menjadi fotografernya, membuatnya sekali lagi terpana karena keahlianku memotret, meskipun hanya menggunakan ponsel. Aku suka caranya menyentuh pundakku saat melihatkan hasil foto di ponselku, lembut dan mengakar hingga kulit matiku.

 

Hampir dua jam kita disana, hampir seratus foto sudah diambil. Satu momen yang membuatku tertawa sekaligus heran, karena hal ini menjadi ciri khas semua wanita saa foto.

 

“Eh, fotoin aku disini, itu backgroundnya,” wanita itu menunjuk gedung utama Lawang Sewu.

 

“Mau gimana nih??”

 

“Terserah kamu, pokoknya jangan kelihatan gendut.”

 

“Serius deh, aku nggak tahu tips atau cara bikin orang yang gendut jadi nggak kelihatan gendut di kamera,” aku menurunkan ponsel, menatapnya.

 

“Kok kamu gitu sih?? Aku kelihatan gendut yaaa??” wanita itu memegang kedua pipinya.

 

“Nggak sama sekali,” senyumku menatapnya.

 

Malam mulai datang, aku menghantarkannya sampai pintu kamar. Dia memberikanku Brownies, tersenyum lalu menutup pintu. Aku menunduk, melihat brownies di tangan kananku, karpet lorong hotel itu menjelma wajah wanita itu, aku tersenyum. Tiba-tiba teringat ada pekerjaan yang tertunda di kantor.

 

Hari kedua adalah hari dimana kesibukannya sebagai seorang pekerja keras terlihat. Aku sengaja tak memberikan pesan untuk sekedar menanyakan sesuatu untuk basa-basi. Aku tahu akan ada saatnya sepenuhnya waktu hanya untuk kita. Hanya butuh untuk bersabar. Aku berulang kali terpaku melihat foto-fotonya di ponselku. Tidak lupa mengirimkannya pada wanita itu.

 

Hari ketiga, ada janji untuk menemaninya seharian sebelum jadwal kereta yang membawanya ke Bandung tiba pukul delapan malam. Semarang gerimis, rintik-rintik dari tengah malam. Aku tidak berangkat kantor hari itu. Aku tak mau dibilang pengobral janji. Apalagi untuk seorang wanita, makhluk paling spesifik didunia, makhluk dengan tingkat kelabilan paling tinggi diantara yang lain. Aku tidak ingin mengacaukannya.

 

Aku sampai tepat pukul sebelas siang. Lagi-lagi aku harus menunggunya, duduk di depan lift, berulang kali menelponnya namun tak diangkat. Aku curiga, dia masih tertidur. Sampai pada panggilan keduabelas dia mengangkat teleponku, berkata baru selesai mandi dan hendak bersiap-siap, menyuruhku untuk bersabar menunggu, padahal saat dia mengatakan itu, sudah setengah jam kulalui, duduk melihat lift yang terbuka dan tertutup berulang kali.

 

Berulang kali melihat angka-angka yang menyala di atas lift, berharap wanita itu ada di balik lift terbuka. Sampai pada satu detik, seorang wanita tersenyum menatapku, aku terpana, dia lebih anggun dari kemarin, masih dengan lengan baju yang menyentuh siku, cara dia menguncir rambut yang sama. Dan cara dia meminta maaf karena membuatku menunggu lama. Aku tak peduli apa yang tadi terjadi, tatapannya meluluhkanku, baju putihnya cukup membuatku terus terpaku. Tetap saja, aku berpura-pura seolah tak ada apa-apa, sampai wanita itu selesai menitipkan barang-barangnya pada resepsionis hotel. Aku menggodanya untuk mengecek kemungkinan barang yang tertinggal. Dia menarik tanganku, aku bangkit, hendak merangkul namun ku urungkan.

 

Sesuai janjiku, aku akan membawanya ke tempat yang dia inginkan. Kota Lama, tempat mainstream semua orang yang datang di Semarang. Tak jadi masalah, karena hanya tempat ini yang memikat di Kota ini. Pemerintahnya sibuk pencitraan hingga lupa menciptakan ruang bagi turis yang datang. Aku dengan kamera ponselku di tangan kanan, membawakan tasnya di punggung, dia membawa tote bagku.

 

“Ada banyak orang yang ngelihatin kamu... Bagian belakangmu,” kataku.

 

“Masa??” wanita itu melihat bagian belakang tubuhnya.

 

“Nggak ada apa-apa, mereka cuma tertarik aja sama kamu,” godaku.

 

“Aku cuma punya ini yang jadi daya tarik lebih,” wanita itu memegang pantatnya.

 

“Dadaku nggak sebesar yang lain,” katanya menambahi.

 

Aku hanya tersenyum, sungguh salah ketika seorang wanita mengatakan bahwa pria-pria melihat wanita hanya dari fisiknya. Memang benar, pria jatuh cinta dari apa yang mereka lihat dan wanita jatuh cinta dari apa yang mereka dengar. Tapi, aku bukan bagian dari pria yang jatuh cinta karena melihat fisik seorang wanita. Aku jatuh cinta pada perempuan yang jujur pada dirinya sendiri. Yang punya tingkat kespesifikan tingkat tinggi, yang bisa membuatku terus berusaha mencari celah untuk masuk ke setiap detailnya. Aku suka pada wanita yang melemahkan dirinya. Bukan karena merendahkan dirinya terhadap wanita lain, tapi karena memang menyadari kelemahan dirinya. Membandingkan-bandingkan wanita adalah pekerjaan paling mudah yang hanya dilakukan oleh pria-pria lemah.

 

Sebab aku telah memenuhi janji dan keinginannya, aku berhak atas senyum yang terpancar dari bibirnya. Aku mendengar caranya berterimakasih karena hasil fotoku yang dia suka. Aku mendengarnya dan aku suka. Aku suka melihatnya saat sibuk dengan ponselnya. Aku tak peduli apa yang sedang dia hadapi di ponsel itu. Aku hanya sedikit terluka ketika tiba-tiba dia tersenyum membaca pesan di ponselnya. Setelah berkeliling Kota Lama dan masuk ke Gallery Seni, mendung mulai tiba lagi, hampir tiga jam kita berjalan kaki. Dan aku melihat kelelahan di matanya.

 

“Makan yuk.”

 

“Mau makan apa??” tanyaku.

 

“Aku lagi ngidam Tahu gimbal, nih.”

 

“Gampang, bisa diatur,” senyumku, membalasnya.

 

Aku membawanya ke pekan kuliner yang sedang berlangsung di salah satu toko swalayan di dekat stasiun, menikmati Tahu Gimbal berdua. Aku tak memedulikan rasa dari Tahu Gimbal itu, karena semalam aku juga telah memakan makanan itu. Aku sibuk melihatnya memainkan sendok, menyingkirkan udang-udang yang akan di makannya di bagian akhir. Aku suka caranya mengunyah makanan, aku suka cara orang-orang disekitarku melihatnya. Aku suka bagaimana dia membenarkan lengan bajunya yang menyentuh siku. Aku suka menjalani hariku dengannya.

 

Sebelum malam tiba, dia memintaku untuk menemaninya membeli oleh-oleh. Saat itu suasana diantara kita tampak cair, terlihat tak ada sekat yang menghalangi. Sesekali dia menyentuh dan memegang lenganku, hanya sekali aku merangkulnya, hal paling jauh yang berani ku lakukan. Sentuhan itu bahkan masih terasa hingga kini. Berulang kali kita melempar candaan yang membuat masing-masing dari kita tersenyum dan tertawa. Di atas motor dia berbicara banyak hal tentang masa depannya. Aku hanya mendengar, tak seantusias sebelumnya, karena aku tak melihat diriku ada di masa depannnya.

 

Setelahnya, kita kembali ke hotel, mengambil barang-barangnya lalu menuju Stasiun. Aku hanya diam. Tak membuka obrolan. Hanya sesekali menanggapi candaannya. Di ruang tunggu stasiun ada kata yang diadu diantara kita, aku memberanikan diri untuk membuka obrolan.

 

“Jadi gimana, Si Mas itu??”

 

“Baik, tanggal sepuluh kita mau ketemuan.”

 

“Oh jadi kalian belum pernah ketemu??”

 

“Belum, harusnya tanggal 25 kemarin, tapi nggak jadi.”

 

“Apa yang kamu suka dari dia??”

 

“Ada satu hal yang ngubah pandanganku tentang dia, satu hal yang nggak berani di ungkapin cowok lain ke aku. Cuma dia yang berani bilang ini.”

 

“Bilang apa emang??”

 

“Aku nggak bisa bilang tepatnya gimana. Yang pasti dia berani serius sama aku.”

 

Belum aku menjawabnya, pria yang kita obrolkan berdua, menelponnya. Aku melihat raut muka yang sangat bahagia. Belum pernah aku melihat seorang wanita sebahagia itu menerima telepon dari seorang Pria yang bahkan belum pernah dia temui. Aku juga tak merasakan dorongan apa-apa dalam diri. Aku hanya tersenyum, bahagia melihat senyumnya. Wanita itu terlihat sangat ketakutan kehilangan pria yang ada di bilik ponselnya. Dia menutup teleponnya.

 

“Gimana??” tanyaku.

 

“Dia perhatian banget sama aku, Hid. Aku suka cara dia memperlakukan aku. Aku suka dengerin suaranya. Aku suka caranya ngomong. Aku yakin ini saatnya, apalagi diumurku yang mau menginjak 26. Aku kemakan sama waktu, Hid. Nggak ada waktu lagi buat main-main. Ibu-bapakku udah nunggu. Ibuku terutama, dia pengen banget lihat aku nikah. Nggendong cucu,” wanita itu menghapus air matanya.

 

“Terus masa lalumu yang dulu pernah kamu ceritain ke aku?? Kamu udah bener-bener ngikhlasin dia, kan??” tanyaku, tersenyum.

 

“Udah. Ikhlas pake banget. Bener katamu dulu, dia nggak baik buat aku. Tuhan ngirim kamu buat nyadarin aku,” wanita itu menahan air matanya, jatuh sekali lagi.

 

“Apalagi yang bikin kamu yakin sama yang sekarang??”

 

“Dia belum pernah pacaran.”

 

“Memang sih, ada cowok yang pantes buat di jadiin pacar tapi nggak pantes dijadiin suami. Sebaliknya juga. Ada cowok yang nggak pantes di jadiin pacar tapi pantes banget dijadiin suami. Mungkin dia yang sekarang tipe yang kedua,” senyumku, mencoba menenangkannya.

 

“Menurutmu gimana??” tanya wanita itu.

 

“Kok tanya aku??”

 

“Kamu kan peramal,” wanita itu menggodaku.

 

“Nggak bisa. Urusan hati tuh urusan masing-masing, nggak bisa dikompromiin. Kalo kamu yakin, ya bagus. Artinya kamu punya keyakinan. Saran dari orang boleh kamu dengerin, tapi segala keputusan yang bersangkutan sama perasaanmu, yaa cuma kamu yang boleh mutusin.”

 

Wanita itu tersenyum, menatapku. Senyum yang mengembang, sesekali menghapus air matanya. Mengucapkan terimakasih dalam nada yang tak bisa kudengar.

 

“Kalo kamu gimana, Hid??”

 

“Aku?? Apanya??” aku mencoba mengelak.

 

“Soal perasaanmu.”

 

Aku menghela napas. Dia terpaku menatapku.

 

“Masih nunggu.”

 

“Kamu masih nunggu?!” wanita itu seakan tak percaya.

 

“Oh come on, setia itu apa sih??” tanyaku.

 

“Hebat yaa kamu. Kalo aku pasti nggak tahan.”

 

“Mereka yang dateng cuma sekedar basa-basi. Nggak pake perasaanya.”

 

“Tapi bukannya cewek itu lebih pake perasaan, yaa??” wanita itu tajam menatapku.

 

“Itu mitos. Kalo memang iya, cewek-cewek itu harusnya berhasil nyentuh perasaanku. Nyatanya?? Mereka yang pake perasaan cuma jadi minoritas. Yaa, sama kayak laki-laki yang bener-bener pake perasaanya buat jatuh cinta... Jarang.”

 

“Kenapa sih, kamu baru ngomong masalah ini sebelum aku pulang. Sebel, deh. Sumpah,” tepat setelahnya suara petugas stasiun menggerakkannya untuk bersiap. Keretanya telah tiba.

 

“Yaudah yuk,” wanita itu bangkit, membawa setengah barang-barangnya. Aku membawa sisanya. Aku berjalan di belakang wanita itu, melihat langkah kakinya yang mantap tanpa ragu. Sampai di depan petugas pengecekkan tiket dia berpamitan.

 

“Aku pulang dulu yaa,” wanita itu menyalamiku.

 

“Iyaa. Semoga kalo kita ketemu lagi aku bisa lihat cincin di jari manismu,” aku melepas jabat tangannya.

 

“Makasii yaa,” wanita itu tersenyum.

 

Riuh ruang tunggu stasiun itu tak terdengar hingga telingaku. Ada dorongan dalam diriku yang tak bisa di jelaskan. Aku bingung. Sekali lagi, stasiun memisahkan dua hati yang seharusnya sudah bisa disatukan. Tidak seperti gesekkan rel pada roda kereta. Percikkan itu hanya terjadi sementara. Aku tidak berani melanjutkannya, aku berdosa jika masih berusaha untuk memalingkan wajahnya dari pria yang membuat hidupnya jadi lebih hidup. Bahkan jika sebuah pertemuan tidak mampu berbicara banyak dan tidak berhasil mengubah apa-apa. Artinya aku memang harus mundur dari realita. Menyadari bahwa aku sudah mengetuk pintu yang salah.  

 

Kadang aku kesal bahwa orang-orang bisa seenaknya memperlakukan perasaan tertinggi yang bisa Tuhan beri. Perasaan cinta dalam diri seseorang bisa saja habis. Dan saat itu terjadi, kita memang hanya bisa menerima apa yang diberikan Tuhan. Tak lagi mencari, tak lagi berburu. Hanya menyiapkan diri untuk sebuah penerimaan. Bahwa tak ada yang kebetulan, bahkan perasaan cinta yang mungkin tak dia sengaja telah tertanam di hatiku. Dan aku memilih tidak menyiramnya apalagi memupuknya. Membiarkannya mati dan tidak tumbuh. Hati adalah sebuah brankas besar, dimana didalamnya banyak brankas-brankas kecil. Aku menyimpanmu pada satu brankas diantara brankas yang lain, lalu menutupnya, membiarkannya mati dan tidak ingin kubuka lagi. Begitukah konstelasi hati diciptakan? Tak ada yang mengerti, bahkan diri sendiri.

 

 

 

-----

 
Tags

About The Author

Zahid Paningrome 38
Ordinary

Zahid Paningrome

Creative Writer
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel