Mereka yang Menunggu

27 Dec 2016 17:29 2226 Hits 0 Comments

Lelaki itu pulang dengan perasaan getir. Entah apa yang dilalui dan entah apa yang melaluinya sepanjang perjalanan. Yang pasti kini perempuan itu tidak akan ditemui lagi dalam jangka waktu yang tidak dapat ditentukan kapan lamanya pertemuan akan berulang. Lelaki itu tidak ingin menunggu. Benar-benar tidak ingin menunggunya. Tapi, kapan kita tidak dalam keadaan menunggu?

“Mbak,” kata lelaki itu. Perempuan itu duduk di halaman sebuah pertokoan modern. Beberapa gedung pencakar langit dan sebuah jembatan layang mengelilinginya. Di langit mainan cahaya memancar. Malam menjadi hidup dan bergairah. Para pekerja toko berhamburan keluar setelah menutup gerai-gerai mereka. Sementara di angkasa, kerlip bintang kehilangan cahayanya.

“Mbak,” kata lelaki itu memanggil seseorang dari masa lalu. Lewat pukul sembilan. Mata perempuan itu masih tertuju pada layar android yang dipegangnya. Entah apa atau siapa di balik layar itu. Sesekali dia memperhatikan layar itu dengan roman muka heran. Lalu dia ketuk-ketuk layar itu sambil menggigit bibirnya. Ketukan terakhir dia hentak dengan kuat, seolah dengan ketukan itu dia ingin melepas semua beban yang menghinggapinya tadi. “Mbak, apa yang kau tulis?” tanya lelaki itu dari jauh.

Setelah ketukan terakhir perempuan itu tinggalkan layar androidnya. Pandangannya diarahkan ke sekeliling. Seolah sedang mencari sesuatu. Beberapa orang, berpasangan atau sendiri, melintas di sampingnya. Selembar daun kering turut terbawa angin, melintasi impian dan kenangan. Di dalam gedung lampu-lampu mulai padam. Lelaki yang memandangnya dari kejauhan itu jadi teringat sajak Medy Loekito: siapa yang sebentar lagi akan dibangunkan?

Mungkin perempuan itu sedang menunggu seseorang. Mungkin suami atau pacar yang menjemputnya pulang. Tapi lelaki itu merasa kurang begitu pasti karena sejauh ingatannya sudah hampir tujuh tahun dia tidak melihatnya lagi. Perempuan itu kembali ke pertokoan ini beberapa hari lalu. Perusahaan tempatnya bekerja mengirimnya kembali kemari untuk menjaga sebuah stan pameran. Dan kalau boleh ditambahkan, untuk menyaksikan betapa sunyi dunia manusia di tengah kota yang kian ramai dan menua.

“Mbak,” sapa lelaki itu pada hari keempat perempuan itu di sini. Dia tahu kesempatan bertemu dengannya hampir merupakan sesuatu yang mustahil jika tak hendak dikatakan tidak mungkin. Tapi dia, merujuk pada hari-hari belakangan, lebih suka berkata, “mustahil memang, tapi bukan berarti tidak mungkin.” Ya, selama masih bertemu dengan umur, bukan tidak mungkin kita akan berjumpa dengan orang-orang yang pernah kita temui di masa lalu.

Rupanya perempuan itu segera ingat dengan si lelaki. Dengan cepat dia jabat tangan lelaki itu dan, menurut pengamatan lelaki itu, hendak memeluknya meski diurungkannya. Perempuan itu lalu bertanya tentang kabar ini dan itu. Juga dia bercerita tentang tempat-tempat yang sudah disinggahinya selama tujuh tahun belakangan. Astaga, pikir si lelaki! Waktu selama itu ternyata teringkas dalam percakapan beberapa menit sebelum perempuan itu membuka stan pamerannya. Sangat ringkas seolah baru kemarin dia pergi meninggalkan pertokoan ini. Ya, seolah baru kemarin perempuan itu pergi meninggalkan pertokoan ini karena ada yang tak berubah dari dirinya setiap kali lelaki itu menatap ke dasar matanya. “Sesuatu dalam dirikukah yang tak berubah, atau keduanya, di lubuk sini dan di lubuk sana?” tanya lelaki itu.

Sejak pertemuan pertama itu si lelaki selalu menunggunya pulang. Perempuan itu keluar dari pintu utama sekitar pukul sembilan malam. Lalu duduk pada anak tangga yang ada depan pertokoan dan mengeluarkan androidnya. Sepertinya dia tengah menunggu untuk dijemput.

Kebetulan lelaki itu sedang tidak ada kesibukan. Dia  hampiri perempuan yang sedang duduk itu. Lagipula perempuan itu kembali lagi kemari setelah hampir tujuh tahun. Pasti ada sebab yang tak terjangkau akal. Bukan sekedar menuruti instruksi dari bosnya. Lelaki itu merasa dia dikembalikan lagi kemari untuk mengulang sesuatu yang dulu pernah ditinggalkannya. “Atau hanya aku saja yang berpikir demikian!” pikirnya.

“Mbak,” si lelaki menyapanya malam itu. Perempuan itu segera mengalihkan pandangannya dari layar android ke si lelaki. Tatapannya bersahabat, persis lebih dari tujuh tahun lalu ketika mereka pertama kali saling mengenal. Lelaki itu segera mengambil tempat tak jauh darinya, dan dengan begitu menarik dirinya sendiri untuk terlibat dalam sebuah percakapan dengan si perempuan.

“Belum pulang, Mbak?” tanya si lelaki.

“Oh, belum. Dari mana dan mau ke mana Anda?”

“Biasa, keliling. Apakah menunggu dijemput?”

“Oh, tidak. Saya sedang menunggu teman-teman yang lain. Kami berencana untuk makan bersama malam ini.”

Suaranya merdu dan mendayu-dayu. Selalu ada sajak yang minta ditulis setiap kali alun suaranya merambati dada. Selalu ada rasa takut setiap kali alun suaranya berubah menjadi gelombang pasang yang menghantam pantai kecemasan. Setiap kata, setiap senyum, setiap tatapan, seolah sudah dirangkai jauh sebelum semua itu dilontarkan. Seolah semua itu dipersiapkan untuk menjerat lelaki itu, menjeratnya seorang! Bagi lelaki itu, ketakutan adalah kebebasan yang ada ketika menatap kedua mata perempuan itu, kebebasan untuk mencintainya lagi…

“Bekerja di mana sekarang?” tanya perempuan itu.

Dalam hati lelaki itu tertawa dan mengingat-ingat. Pertanyaan ‘bekerja di mana’ ini dulu pernah juga diajukan jauh sebelum malam ini. Dan lelaki itu masih saja kesulitan menjawab pertanyaan itu. Dia ragu apakah harus menjawab pertanyaan yang mungkin dari ‘berapa banyak upah yang kau dapat’ atau ‘di lapisan sosial mana engkau kini berada’. Ya, dia masih kesulitan menjawab pertanyaan itu meski dia yakin kali ini pertanyaannya itu lebih merupakan keharusan bertanya sebagai seorang kawan lama, sebagai bentuk dari sopan santun, ketimbang pertanyaan yang menuntut penilaian tertentu di baliknya.

“Tetap seperti dulu,” jawab si lelaki.

“Apa yang seperti dulu? Dulu, seingat saya, anda hanya tersenyum setiap kali saya bertanya apa pekerjaan anda. Anda mungkin tidak ingat, tapi saya, meski tidak mengingatnya, tiba-tiba teringat kembali hal itu. Ingatan itu melintas begitu saja ketika melihat anda sekarang.”

Lelaki itu tertawa mendengar penjelasan yang cukup terbuka. Entah bagaimana perasaan si perempuan ketika mengatakan itu. Tapi bagi lelaki itu apa yang disampaikannya seperti sebuah tuntutan pertanggungjawaban atas sesuatu yang sudah dilakukan.

Kembali perempuan itu sibuk dengan layar androidnya. Senyumnya khas. Sebuah tahi lalat kecil bertengger di antara bibir dan hidungnya. Rambutnya cepak. Tubuhnya seolah berkata, telah lewat 33 tahun usiaku. Keindahan daging dan lumpur ini tak lama lagi pudar.

Teman-temannya yang datang kemudian agar terkejut memandang lelaki itu. Bagaimana tidak, penampilannya tampak agak mengerikan bagi perempuan yang terbiasa dengan hal-hal yang rapi, teratur, dengan pakaian licin dan muka penuh polesan. Rambut lelaki itu yang sepanjang bahu dengan kumis dan jenggot yang tidak dicukur, ditambah pula pakaian kumal yang dikenakan, dan Sulaiman Madu yang melingkar di jari manisnya, tentu membuat mereka berpikir bahwa lelaki itu orang urakan. Ah, prasangka yang lahir dari alam indra!

Perempuan itu meninggalkannya seorang diri di pelataran pertokoan. Lelaki itu tidak tahu apakah malam nanti pertemuan singkat dan ragu ini akan menjadi buah tidur bagi perempuan itu. Tapi bagi si lelaki pertemuan ini adalah buah yang tidak disangka-sangka jatuhnya. Akan disimpan buah itu dan dikunyah kala sunyi meraja.

“Mbak,” sapa si lelaki pada malam yang lain. Mereka tidak lagi duduk di pelataran toko melainkan berjalan menyisiri perkampungan yang terletak di belakang gedung-gedung pencakar langit. Percakapan menjadi dingin dan perempuan itu lebih sibuk dengan layar androidnya sepanjang perjalanan. Seolah ada seseorang atau sesuatu yang mengajaknya bercakap-cakap dari kejauhan sana. Sesekali dia memotret jalanan yang akan dilalui, lalu berhenti sebentar, tersenyum, dan kembali melangkah. Semua itu dilakukannya sambil menatap layar androidnya sambil sesekali melihat ke arah jalan. Sedang bagi si lelaki, seolah-olah keberadaannya tak berarti di sampingnya.

Tempat yang dia pilih untuk tinggal sementara selama pameran ini adalah kamar kos di pedalaman perkampungan. Gangnya sempit, gelap, dan berliku. Sebuah kamar dengan sirkulasi udara yang jelek. Mungkin itulah tempat terbaik yang bisa didapatnya selama di sini. Terjangkau. Dan yang paling penting tidak jauh dari tempatnya bekerja.

Dia tidak tahu apakah perempuan itu suka atau tidak diantar pulang. Perempuan itu tidak mencoba menghidupkan percakapan dan lebih banyak menjadi pendengar. Ingin sekali dia meraih tangannya dan mengajaknya kembali ke masa lalu. Masa di mana android belum begitu menguasai percakapan antar manusia. Ingin dia katakan bahwa dia saat ini berada di sampingnya, berjalan dengannya, mengapa tidak saling bercakap? “Mengapa tidak kau ceritakan kehidupanmu sekarang, lelaki mana yang menikahimu, sudah beranak berapa sekarang, dan sebagainya, dan sebagainya? Mengapa kau biarkan aku bertanya-tanya dalam hati?”

Sampai di depan sebuah gang kecil mereka berhenti. Perempuan itu memandang ke arahnya. Tatapannya jelas menunjukkan bahwa perempuan merasa terganggu dan ingin lelaki itu segera pergi dari hadapannya.

Lelaki itu mengangguk lalu melangkah menjauh. Begitu juga perempuan itu, berjalan munyusuri gang kecil di belantara perkampungan kota. Seharusnya jika lelaki itu pintar, tentu dia akan meminta nomor handphonenya. Siapa tahu bisa bisa terjalin percakapan yang panjang. Jika si lelaki pandai, tentu dia akan meminta ijin untuk menjemputnya lagi besok malam. Atau bisa juga mengajaknya makan suatu ketika. Tapi dia terlalu angkuh meski sekedar untuk bertanya dan meminta. Lagipula dia belum tahu apakah perempuan itu sudah bersuami atau sudah memiliki pacar. Sedang dia terlanjur bertanya, meski pada dirinya sendiri, “apakah kembalinya kemari adalah untuk dipertemukan denganku?”

Beberapa malam berikutnya tak terlihat lagi perempuan itu keluar dari pintu utama pertokoan. Lelaki itu merasa was-was, “jangan-jangan pameran sudah berakhir dan dia dipindahkan lagi ke tempat lain.” Siangnya lelaki itu sengaja masuk ke dalam pertokoan modern, tempat yang sedapat mungkin dia hindari. Tapi pameran itu belum selesai. Si perempuan masih di sana, di depan stannya, melayani orang-orang yang melihat-lihat. Dan jika tidak ada yang berkunjung perempuan itu sibuk dengan layar androidnya.

Perempuan itu tidak tahu dari kejauhan sini seseorang mengwasinya diam-diam. Perempuan itu tampak begitu nyaman dengan dunia yang kini ditempatinya. Sementara si lelaki mengendap-endap mendekatinya seperti gelandangan yang hendak mengais sampah untuk mencari sisa-sisa makanan.

“Mbak,” sapanya, “apakah sudah banyak pelanggannya?”

“Belum. Baru saja dibuka gerainya,” jawabnya tersenyum kaget sambil menyembunyikan kejengkelan yang mengikuti kemudian.

Perempuan itu bangkit dari tempatnya duduk untuk menghampiri si lelaki. Sepertinya perempuan itu tidak ingin si lelaki masuk dan melihat-lihat apa yang dijual di gerainya. Padahal lelaki itu ingin melihat apa yang tersembunyi di dalam hatinya. Tapi perempuan itu tidak mengijinkan keduanya. Sedapat mungkin perempuan itu menghindari si lelaki dengan berbicara pada perempuan lain di gerai sebelah. Layar android yang tadi menyibukkannya ditinggalkannya.

Meski begitu sesekali perempuan itu masih menyempatkan diri berbicara dengan si lelaki. Lelaki itu tahu hal itu dilakukan demi kesopanan dan kepantasan. “Ya, dia ingin aku menyadari bahwa dia ingin aku tidak berada di sini. Sayangnya aku sadar dengan hal itu. Dan justru hal itulah yang kini berkecamuk dalam dadaku: apakah aku harus tinggal atau pergi? Tinggal berarti menyiksanya lebih lama lagi, sedang pergi aku masih belum ingin,” pikir lelaki itu.

Sungguh, sosokn perempuan itu membuat si lelaki tidak ingin pergi dari tempat itu. Kulitnya yang putih dan keseluruhan dirinya benar-benar memabukkan. Ingin lelaki itu mendekat dan mengalungkan sebuah gelang pada kakinya. Tapi itu bukan gayanya. Lagipula saat ini mereka sedang berada di dalam ruangan di mana matahari senja yang tenggelam di antara gedung-gedung pencakar langit menjadi dongeng yang mewah.

“Mbak,” katanya dengan keberanian yang dipaksakan. “Boleh pinjam bolpoin dan kertas?”

“Buat apa?” tanya si perempuan tanpa menutupi nada jengkel pada suaranya. Tapi mengetahui si lelaki menjadi ragu segera dia perbaiki nada suaranya. Lalu dia ke dalam dan mengambil sepotong kertas dan bolpoin.

“Aku rasa dia tahu bahwa aku akan meminta nomor telponnya atau aku akan mencatatkan nomorku padanya,” pikir si lelaki. Pilihan jatuh pada yang kedua.  Lelaki itu mencatatkan digit-digit nomor di atas potongan kertas kecil itu tanpa nama. Dengan berbuat begitu lelaki itu ingin si perempuan memberikan ijin pada untuk memulai suatu percakapan yang panjang dengannya. “Aku telah memulainya dengan memberikan nomor itu padanya. Jika dia nanti menghubungiku di nomor itu, tentu percakapan yang dinanti menjadi mungkin untuk terjadi,” tutup lelaki itu dalam hati.

Sesudah itu lelaki itu pergi meninggalkan pertokoan itu. Bibit telah ditebar, racun telah dituang. Tidak ada yang pernah tahu, apakah tunas yang ‘kan berkembang terlebih dahulu atau racun yang akan menyergap jantungnya. Kini yang bisa  dia lakukan hanyalah menunggu.

Sayangnya, sampai beberapa hari tidak juga diterima satu pesan pun dari si perempuan. Lelaki itu menjadi sadar kekonyolan yang dilakukannya beberapa hari lalu tak pantas dilakukan. “Dia bisa saja kembali kemari dengan seribu satu macam alasan tak terduga, tapi yang pasti bukan untuk aku,” keluhnya. “Bukan untuk memulai lagi hubungan yang dulu telah gagal. Kami pernah bersatu. Dia dan aku dalam satu perahu kecil kebahagiaan....”

Baginya, pekerjaan perempuan itu yang berpindah dari satu kota ke kota lain yang membuatnya akrab dengan banyak orang, termasuk dirinya, pada akhirnya menjadi pintu untuk melepaskannya pergi. Sedang bagi si perempuan, khayalan lelaki itu tentang penyair yang dulu menjadikan mereka akrab, justru menjadi pintu untuk meninggalkan lelaki itu. “Aku tentu saja menolak dia dekat dengan kawan lelaki selain aku. Sedang baginya, tentu saja ada hal-hal yang tidak bisa dibeli dengan sekedar menjadi penyair,” keluhnya lagi.

Akhir sekali lelaki itu mendatangi lagi stan di pertokoan itu. Dengan hati diliputi kegundahan dia melangkah memasuki pertokoan modern yang megah. Meski di dalam dada masih ragu apakah akan menanyakan pertanyaan yang belum sempat terjawab di masa lalu atau sekedar ingin melihatnya saja. Paling tidak lelaki itu ingin mengibaskan rasa penasaran yang dapat dibawanya sampai mati: kapan dia akan menghubungi aku?

Sayangnya pameran telah berakhir dua hari sebelumnya. Lelaki itu merasa hampa menyaksikan ruang yang sebelumnya begitu penuh dengan aneka barang kini kosong. Orang-orang yang berlalu lalang di sana seolah-menginjak-injak hatinya yang hancur berantakan di lantai.

Kini lelaki itu menyesal karena terlalu sibuk dengan pikiran-pikirannya sendiri. Mestinya kemarin dia bertanya, apakah sekarang engkau sudah kawin, beranak, dan bahagia? Kenapa beberapa hari belakangan tak kulihat suami atau pacar menjemputmu? Atau berapa lama lagi kau tinggal di kota ini dan ke mana kau akan pulang? Atau...ada seribu macam pertanyaan yang bisa diajukan. Tapi lelaki itu memilih diam dan memberikan sepotong kertas bertulis nomor telepon. Perempuan bodoh mana yang mau menghubungi lelaki miskin yang gagal menjadi penyair? Apa arti menjadi penyair?

Lelaki itu pulang dengan perasaan getir. Entah apa yang dilalui dan entah apa yang melaluinya sepanjang perjalanan. Yang pasti kini perempuan itu tidak akan ditemui lagi dalam jangka waktu yang tidak dapat ditentukan kapan lamanya pertemuan akan berulang. Lelaki itu tidak ingin menunggu. Benar-benar tidak ingin menunggunya. Tapi, kapan kita tidak dalam keadaan menunggu?

Sepotong kertas dan sebaris angka, menjelma menjadi kanker yang menggerogoti kepala. Berharap perempuan itu menyimpan potongan kertas itu dan mengetuk layar androidnya untuk menerakan angka-angka yang tertulis di sana adalah khayalan mewah yang mesti disingkirkan. Hidup selalu sunyi dan tidak pernah lebih dari itu. Lelaki itu menulis lagi nama perempuan itu di atas kertas pada halaman kesekian catatannya. Sesudah itu dia tutup lagi dan mematikan lampu kamar.

Tidak ada keheningan karena kampung tempatnya tinggal berada di sepanjang jalur perlintasan kereta yang padat. Yang ada hanyalah sepi dan hampa, di dalam dada.

Surabaya, 29 September 2016

Tags

About The Author

Chandra Krisnawan 24
Novice

Chandra Krisnawan

Buruh logistik yang tinggal di surabaya
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel