Dipenghujung tahun 2016 ini, masyarakat Indonesia sudah hampir âbutaâ kebenaran dan kehilangan rasa kedamaian dalam hidupnya. Bagaimana tidak, setiap wall media sosial, ntah facebook, twitter dan situs-situs âmedia onlineâ karbitan gemar banget update berita intoleran. Tidak mudah memang untuk melerai "konflik" horizontal yang tampak meawrnai bulan November hingga Desember ini. Intelektual dibantah, Kyai tak dihiraukan, aparat tak menjadi soal. Sehingga pantas saja jika bapak Presiden Joko Widodo hampir kehilangan ajimatnya untuk mengehntikan kegaduhan ini.ÂÂ
'Om Telolet Om', barang yang satu ini sebenarnya bukan hal yang tabu lagi di masyarakat. Namun hemat saya ini bukan berarti barang satu ini tidak penting dan belum kekinian dewasa ini, sehingga baru-baru inilah ia muncul di permukaan. Tetapi, âom telolet omâ merupakan komunikasi persuasif yang dibangun masyarakat bawah, yakni anak-anak yang lebih banyak menghabiskan waktunya di jalan (bukan berarti mereka nganggur loh ya).
Kreatifitas yang dibangun anak-anak ini merupakan kontribusi dalam upaya mendamaikan hiruk pikuknya negeri ini. Sekedar menunggu respon dari om-om sopir BUS, bagi mereka itu adalah pesan damai yang layak untuk disampaikan ke publik. Habermas bilang dalam teori tindakan komunikatifnya, bahwa bahasa (linguistik) ini penting dimiliki oleh seseorang maupun kelompok. Tidak hanya sebagai kualitas kerja (Praxis) saja tetapi bagaimana seseorang atau kelompok ini membangun pengetahuan.ÂÂ
ÂÂ