Ukuran Kebaikan Sebanding Celana Dalamku yang Hilang

13 Dec 2016 01:55 2365 Hits 0 Comments
Ngomongin soal ukuran kebaikan seseorang, barang begnian ini mahal harganya. Tidak semua orang mampu memiliki barang yang satu ini. Tentu bukan karena langka di pasaran, atau bahkan di supermarket. Merawat dan mengelolanya agar tetap sehat dan tersimpan rapat-rapat itu susahnya.

Ngomongin soal ukuran kebaikan seseorang, barang begnian ini mahal harganya. Tidak semua orang mampu memiliki barang yang satu ini. Tentu bukan karena langka di pasaran, atau bahkan di supermarket. Merawat dan mengelolanya agar tetap sehat dan tersimpan rapat-rapat itu susahnya. Iya celana dalam, ukuran kebaikan itu mengingatkan saya pada celana dalam yang hilang tiga tahun silam.

Ukuran kebaikan memang dekat dengan barang yang satu ini (read-celana dalam yang hilang). Singkat cerita, kala itu saya bersama teman kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri Islam di Semarang. Saat itu hendak menggelar kegiatan keorganisasian mahasiswa, kebetulan stock celana dalam saya sudah habis, terpaksa lah saya membelinya yang baru di supermarket meski pada saat itu kondisi dompet lagi kemarau.

Kadang, orang-orang pada pamerin barang yang satu ini. Entah soal merek luar negeri, bahan yang super istimewa, warna yang ciamik (barang impor). Tapi sayang, sebagus dan seistimewa apapun barang yang satu ini tak lazim untuk dipamerkan apalagi dipertontonkan pada khalayak. Kembali lagi pada kasus celana dalam saya yang hilang. Satu dus yang harganya tak lebih dari jatah makan saya untuk sehari, tetapi mahalnya sebanding dengan kebutuhan saya sehari-hari.

“Eh, kok tiba-tiba celana dalam saya yang isinya tiga raib satu yah. Mana mungkin kucing makan celana dalam, yang ada ikan asin sisa makanku tadi siang tuh dimakan”, gumamku dalam hati. Tak selang waktu lama, sahabat saya muncul dari kamar mandi. “Hey, kamu ambil celana dalam aku kan?. Baru saja beli masa udah hilang satu, tidak mungkin kan diambil kucing?”, tanyaku penuh penasaran. Sontak sahabatku menyaut pertanyaan saya yang penuh kesal itu. “Hehe, iya brow. Sorry, tadi saya tidak bilang dulu. Habis, aku pikir kebaikanmu sebanding dengan fungsi celana dalam yang saya ambil ini”, jawab sahabatku tanpa merasa bersalah.

Demikian kira-kira sekelumit kasus yang tidak penting itu, sempat mewarnai kekacauan hiruk-pikuknya kita Atlas kala itu (lingkungan kampus). Namun, yang lebih penting bukan soal cerita di atas. Tetapi, bagaimana kok bisa celana dalam mencerminkan ukuran kebaikan seseorang. Iya, memang begitu kenyataannya. Sejatinya, kebaikan kita sebagai manusia tak semestinya dipamerkan pada umum. Toh ini sudah bagian dari harga diri kita, jika kita pamerkan sama halnya kita obral tuh harga diri. Meski kita menilai ini bukan barang mahal, tetapi semua orang dapat merasakan manfaat baiknya.

Lantas, apa bedanya ukuran kebaikan kita dengan celanda dalam yang sudah menjadi kebutuhan sehari-hari kita. Tanpa celana dalam, aktivitas kita tidak nyaman alias brabe kesana kemari. Kehidupan kita tercermin sangat bergantung pada celana dalam, meski tak lazim dipamerkan tapi tetap mengandung unsur positif. Maka, hemat penulis kiranya kita dapat mengelola dan merawat kebaikan kita agar bermanfaat bagi kehidupan kita, bahkan orang lain. Bukan untuk dipamerkan, dengan sendirinya orang lain juga dpaat merasakan kenyamanan dan kebaikan itu kok.

Kalau ibarat kopi, tidak pernah ada suatu kebenaran tentang kopi. Semua tergantung selera dan bagaimana usaha untuk mendapatkannya. Begitu juga dengan kebaikan, tidak pernah ada kebenaran tentang kebaikan seseorang. Karena, semua tergantung pada perasaan dan bagaimana usaha untuk menciptakan kebaikan itu sendiri. Terimakasih, semoga saudara sekalian terhibur meski tak mampu untuk tertawa.

About The Author

anantatoer 21
Novice
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel