Labirin Tak Berujung - Part 5

24 Nov 2016 23:45 8844 Hits 4 Comments
Percikan Bara hadir. Konflik dimulai.

 

Bab sebelumnya : Labirin Tak Berujung - Part 4 

 

 

Pelukan Nakal

 

Perayaan ulang tahun Briyan tinggal menghitung jam. Sebagai orang tua baru, Bimo dan Yanti tidak mau setengah-setengah mengadakan pesta untuk anak mereka yang masih semata wayang.

Segala pernak-pernik ulang tahun telah mereka persiapkan dengan matang. Tempat pun dilaksanakan di salah satu hotel terkenal di Jakarta. Meskipun serba mewah, Bimo dan Yanti tidak lupa mengundang anak-anak yatim piatu untuk ikut berbagi kebahagiaan dengan mereka.

Tampak Bimo sedang berdiri di tengah aula gedung yang menjadi tempat pesta megah untuk anak tercinta mereka. Ia tersenyum puas melihat aula gedung yang sudah disulap menjadi tempat untuk perayaan ulang tahun lengkap dengan balon-balon berwarna-warni dan hiasan-hiasan menarik lainnya khas anak-anak.

Tak lama terdengar bunyi ring tone dari Smartphone Android Bimo, “Halo?”

“Selamat siang. Ini dengan pak Bimo?” Suara lembut seorang wanita datang menyambut.

 “Ya, benar. Dengan siapa ini?”

“Saya Muthia pak. Dari Swanlake Bakery. Black forest tart pesanan bapak sudah siap dan akan segera diantar. Mau diantar jam berapa ya pak?”

“Sudah bisa diantar sekarang ya. Nanti takutnya macet. Sudah termasuk cake yang di kotak, kan?”

“Iya pak, sudah termasuk. OK pak, kalau begitu akan segera kami antar sekarang ya pak. Terima kasih.”

“Sama-sama.”

Klik.

 

“Siapa pa?” Kembali suara seorang wanita menyapa Bimo ramah.

“Eh, mama sudah datang. Ini telepon dari Swanlake Bakery, ma. Katanya pesanan kita sudah ready dan siap diantar. Sekarang mereka sudah di jalan.”

“Oh, baguslah kalau begitu.” Wanita yang ternyata Yanti, istri Bimo berjalan mendekati meja dekat pintu masuk dan meletakkan tas cantik berisi kado ulang tahun di atasnya.

“Mama datang sendiri ya? Mana Briyan, ma?” Perlahan Bimo menghampiri istrinya.

“Iya, mama datang sendirian. Briyan tadi kutitipkan sama om dan tantenya. Nanti Briyan datang sama mereka. Katanya sih, mereka masih di jalan. Mudah-mudahan sebentar lagi sampai.” Yanti membuka isi tas tersebut lalu mengambil sebuah kado cantik pemberian dirinya untuk anaknya dan meletakkannya di pinggir meja khusus untuk tempat meletakkan kado-kado.

“Mudah-mudahan nggak terkena macet.” Kini Bimo berada tepat di belakang Yanti.

“Mudah-mudahan. Oya, sekarang jam berapa pa?” Yanti menoleh ke belakang dan melirik jam di tangan Bimo.

“Sudah hampir jam tiga. Satu jam lagi acaranya dimulai. Apa tidak kecepatan kita buat jamnya, ma?”

“Sudah pas itu, pa. Kalau jam 5 sore, nanti takutnya kemalaman pulangnya. Kasihan anak-anak kalau kemalaman pulangnya. Belum lagi anak-anak yang dari panti asuhan Miracle. Mereka kan tinggal di Bogor.”

“Oh, ya sudah kalau begitu. Mungkin kita yang datang kecepatan ya. Tapi bagus juga sih, jadi bisa berduaan.” Bimo melingkarkan kedua tangannya dan memeluk Yanti dari belakang, lalu mencium pipi istrinya dengan lembut dan mesra.

“Ih, papa apa-apaan sih. Nanti dilihat orang, loh. Malu ahh...” Yanti memukul jemari sebelah kanan Bimo pelan.

“Ahh, biarin saja. Biar jadi tontonan gratis buat mereka. Mmuuaacchh...” Tangan Bimo mulai menggerayangi ke tempat yang lebih privat. Mulutnya mencium pipi Yanti lebih mesra.

“Papa nakal ahh. Sudah lah ya, mama masih mau lihat sekeliling dulu. Oh ya, papa ambil dulu gih di mobil, hadiah untuk teman-temannya Briyan, trus papa susun di meja ini yaa... Ini kuncinya. Daahhh...” Yanti melepaskan dirinya dari pelukan hangat menjurus nakal Bimo dan tidak membiarkan suaminya bertindak lebih jauh lagi.

Bimo tersenyum kecut. Ia pun berjalan keluar gedung. Tak membutuhkan waktu lama, Bimo kembali berada di dalam aula membawa sekotak besar berisi hadiah-hadiah yang akan diberikan untuk teman-temannya Briyan. Saat itu juga ia melihat beberapa orang lalu lalang sedang mengecek mike dan sound system. Buyarlah harapannya untuk menuntaskan kemesraannya dengan sang istri yang sempat tertunda tadi.

 

 

Percikan Bara

 

Labirin Tak Berujung - Part 5

 

Suasana pesta ulang tahun Briyan berlangsung cukup meriah. Banyaknya undangan yang hadir memenuhi ekspetasi Bimo dan Yanti. Mereka cukup puas.

Tentu saja pesta ini bukan saja untuk membahagiakan anak mereka semata, tetapi lebih banyak untuk memuaskan keinginan hedonis mereka. Kesuksesan Bimo sebagai pengusaha memaksa Bimo dan Yanti membuat pesta besar dan mewah untuk anak mereka yang masih satu tahun, yang sebenarnya belum mengerti apa-apa.

Tak terasa kemeriahan pesta sudah berlangsung satu jam lamanya. Tampak Bimo, Briyan dan Yanti sedang duduk di depan panggung menikmati acara pertunjukan sulap anak-anak disaksikan para tamu undangan yang sebagian besar batita dan balita serta ibu-ibu mereka dan juga anak-anak yatim piatu yang juga mereka undang.

 

“Wah, mewah juga pestanya, Dir. Untuk ukuran pesta ulang tahun anak kecil, ini heboh banget! Nggak nyangka lho.” Santi, teman karib Dira mengomentari suasana pesta yang cukup mewah menurutnya.

“Iya, San. Aku juga nggak nyangka. Mereka sampai ngundang anak pejabat juga lho, gila kan?” Dira mengamini. Saat ini mereka sedang duduk di barisan bangku khusus tamu, di belakang barisan bangku khusus anak-anak. Suasana yang ramai penuh dengan teriakan anak-anak yang tengah bersukacita menikmati pertunjukan sulap, membuat mereka berbicara setengah berteriak.

“Achh, yang bener? Gelok juga si Bimo! Nyesel gue gak mau sama dia dulu!”

“Apaan sih kamu, San! Asal saja kalau ngomong!”

“Hihihi! Waktu loe akhirnya ketemu lagi sama dia, koq loe gak cerita sama gue kalau dia pengusaha sukses dan masih single. Siapa tahu kan gue yang jadian sama dia.”

“Emang mau kamu kemanain suami kamu, San?”

“Oh, gue udah kawin ya sama si kupret?”

“Ya, sudah lah! Dasar sinting!”

“HAHAHA!” Tawa Santi terdengar membahana. Seorang ibu muda yang duduk di sebelah kirinya sampai menengok ke arahnya. Spontan Santi menutup mulutnya.

“Trus, mana yang loe bilang anak pejabat, Dir?”

“Kayaknya sih yang duduk paling kiri deh. Aku juga nggak kenal. Baru dikenalin Yanti tadi.”

“Oh, yang paling besar sendiri ya? Ibunya yang mana?”

“Iya, mungkin 5 tahunan umurnya. Kalau ibunya yang mana ya?” Dira celingak celinguk ke kiri kanan dan ke depan belakang.

“Kamu jangan nengok ya. Dia pas di belakang kamu, San.” Dira berbisik sambil menahan tawa.

Santi nekat menengok ke belakang. Seorang ibu berumur dengan mata melotot balas memandang Santi. Ia merasa terganggu.

 

Pesta usai sudah. Senyum lebar mengembang di wajah Bimo dan Yanti. Mereka sangat puas. Saat pesta, Briyan sendiri tidak rewel. Ia hanya menatap tanpa makna. Selebihnya dia justru sering tertawa saat bersama abang sepupunya, Marcel, anak Dira dan Ario.

“Dira, makasih ya atas undangannya.” Santi mohon pamit.

“Sama-sama, say.” Mereka berdua berpelukan tanda salam perpisahan. Cipika cipiki tidak terelakkan lagi.

“Anak gue seneng banget lho, bisa main-main sama anak loe. Padahal biasanya dia pemalu sama orang yang gak dikenal. Mungkin kita bisa kawinin kali ya suatu saat nanti? Hahaha!”

“Achh, males aku! Emaknya cerewet, hahaha!”

“Bisa aja kamu! Oh ya, mana Marcel?”

“Itu lagi main sama adiknya, si Briyan. Marcel! Sini, nak!”

Marcel datang menghampiri ibunya.

“Tante Santi dan dik Anissa mau pulang. Salam dulu nak.” Dengan spontan dan tanpa malu-malu Marcel mengulurkan tangannya menyalami Santi dan Anissa.

“Pinternya anak kamu Dira. Nah, sekarang giliran kamu Anissa, salam tante Dira.”

“Pulang dulu, tante.” Anissa menyalami Dira dengan senyum malu-malu. Dira dan Santi tersenyum lebar melihat tingkah laku anak-anak mereka yang masih lucu dan menggemaskan.

“Marcel, tante sama dek Anissa pulang dulu ya. Nanti kalau ada waktu main-main ya ke rumah Nissa.” Marcel tidak menjawab, ia hanya tersenyum dan mengangguk tanpa arti.

“Ya sudah, sana. Main lagi sama dedek Briyan, ya!” Dira mengijinkan anaknya kembali bermain dengan adik sepupunya.

“Iya Ma.” Dalam sedetik Marcel membalikkan badannya dan langsung berlari mendatangi Briyan yang masih berada di tempat semula. 

“Pelan-pelan larinya sayang, nanti jatuh.” Mata Dira mengawasi Marcel yang berlari kencang. Setelah anaknya bersama dengan babysitter-nya, ia pun mengajak Santi berjalan ke luar ruangan.

“Yuk, kuantar sampai depan.”

“Yuk. Oh iya Dir, by the way anak kamu kok wajahnya mirip banget ya sama Briyan?”

“Ya iyalah, Briyan kan adiknya?”

“Iya, tapi kulitnya itu loh, hitam. Sama persis dengan Briyan. Sementara kamu sama Ario kan kulitnya putih. Papa mama kamu juga setahuku putih deh. Kok anak kamu bisa hitam, ya?”

“Satria juga hitam. Bisa saja kan dari pamannya.”

“Kalau Satria kan hitamnya karena kebanyakan berendam di sinar matahari! Beda hitamnya, say!”

“Berendam di sinar matahari? Ada-ada saja kamu. Kalau ngomong suka asal, ya?”

“Hihihi! Sorry, loe kayak nggak tahu gue aja!”

“Yah, namanya juga masih kecil. Lagi pula mereka kan saudara, wajar dong mirip. Nanti juga berubah kalau sudah besar. Sudah ah, nggak usah dipikirin. Tuh, supirnya sudah nunggu kamu tuh.”

“Sembarangan loe Dir! Itu kan si kupret, suami gue. Masa’ loe lupa sih?”

“Ohh, astagaa! Itu suami kamu? Maaf say, koq beda dengan yang dulu?”

“Beda dari Hong Kong! Emang gitu gaya dia dari dulu, dekil dan kumal. Nggak pernah rapi.”

“Duh, sorry jeng. Jangan jadi marah gitu dong! Sorry ya, hihihi!”

“Ya, oke deh, ekke pergi dulu yaa, dada babuaayyy!!”

“Baayy!!”

Dan mereka pun berpisah.

 

Dari jauh, sesosok wanita tengah memperhatikan gerak-gerik mereka. Ia sempat mendengar perbincangan Dira dan Santi secara tak sengaja. Hatinya terusik. Ia tidak suka dengan isi perbincangan mereka. Ia pun merasakan ada sesuatu yang aneh sedang terjadi.

 

 

Bara Yang Mulai Memanas

 

Labirin Tak Berujung - Part 5

 

Semalaman Yanti tidak bisa tidur tenang. Ditelinganya masih terngiang-ngiang percakapan yang tidak sengaja ia dengar antara Dira dengan Santi. “Dir, anak kamu kok wajahnya mirip banget ya sama Briyan?”, “tapi kulitnya itu loh, hitam. Sama persis dengan Briyan. Sementara kamu sama Ario kan kulitnya putih...”

Sebentar-sebentar ia memiringkan tubuhnya ke kiri, sebentar kemudian ke kanan. Perasaan gelisah sudah sampai di ubun-ubun kepalanya. Detak jam yang menunjukkan hampir jam 2 malam tidak mampu membuat ia mengantuk, justru membuat kepalanya mau meledak.

Kenapa ya temannya Dira berani ngomong seperti itu? Yanti masih penasaran dengan pertanyaan Santi yang mengganggu pikirannya. Koq sama ya dengan yang ada dipikiranku selama ini? Akupun merasakan hal yang sama, bahkan Marcel juga mirip dengan papanya Briyan, koq bisa ya? Yanti mulai pusing tujuh keliling. Ia membalikkan badannya membelakangi suaminya.

“Ada apa ma, koq belum tidur? Gak bisa tidur ya?” Bimo membuyarkan lamunan Yanti. Dengan lembut Bimo memeluk Yanti dari belakang. Sejenak Yanti kaget begitu menyadari Bimo jadi terbangun karena kegelisahannya yang mengganggu tidur suaminya.

“Iya nih pa, kepala mama pusing...” Yanti menjawab pelan, suaranya nyaris tak terdengar.

“Sudah minum obat? Mau papa ambilin?” Bimo mencium leher belakang istrinya.

“Nggak usah pap, bentar lagi juga hilang.”

“Bener nih?”

“Bener, Mama nggak papa koq. Sudah, papa tidur lagi aja.” Yanti masih membelakangi Bimo. Ia tidak berniat sedikitpun membalikkan badannya ke arah Bimo.

“Tapi kamu tidur juga ya, nggak gelisah lagi kan?”

“Nggak. Ini juga sudah mulai mengantuk koq.”

“Ya sudah kalau begitu. Papa tidur lagi ya.”

Yanti mengangguk. Tak lama kemudian Bimo melepaskan pelukannya dan kembali melanjutkan tidurnya.

Kini Yanti teringat lagi dengan percakapan Dira dengan Santi. Ia pun membalikkan tubuhnya menghadap Bimo. Ia menatap wajah Bimo lekat-lekat. Ia merasa ada yang aneh tapi tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ingin sebenarnya ia menceritakan perasaan galaunya ini kepada suaminya, tapi ia bingung harus mulai dari mana. Kini ia hanya bisa pasrah.

 

 

 

Tags

About The Author

Arya Janson Medianta 47
Ordinary

Arya Janson Medianta

0813 7652 0559 (WA) Arya_janson@yahoo.com
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel