Cinta di Pelupuk Mata

16 Nov 2016 13:17 3616 Hits 0 Comments
Kisah seseorang yang ingin berharap cinta yang suci.

Sayup-sayup suara ajakan bertemu dengan Rabbi kepada umat muslim sudah mengudara sampai ke liang telinga. Mataku masih mengekor ke arah beberapa lelaki yang bergegas dengan menarik sarungnya. Memperbaiki kopiah yang miring.

“Obat hati ada lima perkaranya, yang pertama baca Qur'an dan maknanya,” salah satu lirik penyejuk jiwa. Melihat pula seorang wanita yang menggunakan mukenah sambil menenteng bawahan, sebuah sajadah yang terlipat memanjang disandangnya di bahu. Beberapa suara derap kaki kecil yang berlari menerobos beberapa orang dewasa. Mereka saling mempercepat langkah kaki menuju seruan adzan.

Aku pun menuju keran yang biasa menumpahkan air. Membasuh muka, menuntaskan wudhu. Meninggalkan beberapa embun air di puncak kepala juga muka. Mempercepat gegas menuju tempat sholat di ruang tengah. Setiap bait doa dipanjatkan, saat itu pula bulir bening terus jatuh. Tanganku menangkap beberapa airmata yang terasa asin saat menyelinap di antara bibir yang menyuarakan isi hati.

Seperti kepingan film yang diputar mundur, sekelibat bayangan manis, kelam tersisa di sana. Kuakui memang payah jika harus tak menangis saat mengingat semuanya yang terjadi begitu cepat. Kenangan terindah yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Seorang lelaki humoris telah meninggalkan pisau bedah di dalam dadaku. Pertemuan yang berujung perpisahan. Semakin berusaha melupakan namanya, semakin sering muncul wajah oval yang menyeringai. Menunjukkan senyum terindah yang memesonaku. Ini bukan keinginan diriku menyimpan separuh hati di atas hubungan yang jelas tak dibolehkan.

Keluargaku sangat melarang secara tegas. Apa jadinya setiap waktu seakan menentukan jalur yang kulewati untuk bertemu dengannya. Setiap menatap mata hitam pekat hanya mengingatkan pada seekor elang. Tajam mencari mangsa. Sepersekian detik berubah senduh menentramkan. Menghindar meski tubuh masih canggung saat berhadapan beberapa langkah.

Ekor matanya selalu membuntuti setiap pergerakanku. Aku seakan dibius oleh tatapannya. Orang bilang perasaan muncul dari mata turun ke hati. Itu benar, tak menafikan aku menyukai kepribadiannya. Mampu berbicara tanpa kikuk dihadapan kami. Ide dan gagasan setiap diskusi menyihir para pendengar. Menatap tangannya yang luwes sebagai sebuah bentuk isyarat bahasa tubuh.

“Hai ... kamu anak yang pintar, ya?” sebuah teguran yang membuat aku menoleh. Aku mengenal suaranya, tapi tak yakin. Iya, dia yang selalu mencuri pandang. Kini berdiri menatapku, aku hanya menunduk mencari sepatu.

“Iya, terima kasih! Maaf jangan berdiri di situ. Teman kita kesulitan ke luar,” jawabku sedikit menyamping dan menenteng sepatu.

Berdiri di depan kelas pembentukan karakter, yang mewajibkan melepas alas kaki. Kelas berukuran 4 X 5 meter dengan formasi kursi melingkar, ruangan beralas karpet. Kebetulan yang janggal bisa satu kelas dengannya, hari pertama kemarin dia tak menemukan kelasnya. Jadi, minta di-rolling.

Awalnya aku duduk di dekat pintu, namun kedatangannya membuatku harus pindah ke pojok dekat papan tulis. Aku tak keberatan karena materi akan masuk lebih banyak, aku bisa dekat dengan pemateri dan aku bisa tahu seluruh siswa di sini—calon mahasiswa. Sedikit minder karena aku lulusan tahun lalu. Tapi, wajah mungilku membuat setiap orang menyangka aku masih sekolah. Kini hari ketiga, kami sudah saling tahu nama mereka yang sering disebut saat absen. Pun name tag yang dikalungkan.

“Mudin,” tangannya mengulurkan kepadaku. Aku hanya tersenyum tak menerima. Memberi hormat seperti iklan menjelang lebaran di beberapa poster di jalan.

“Mesya, maaf aku harus segera mengambil jatah makan,” aku sudah melenggang mengikuti beberapa perempuan yang mengantre. Dia pun menuju ke arah yang sama namun beda antrean.

Waktu makan malam hanya 30 menit sebelum sholat Isya. Begitu padat, aku sudah siap dengan nampan berisi nasi goreng dan segelas air. Mataku terus mencari tempat kosong. Semuanya penuh sesak. Akhirnya aku berjalan paling ujung duduk di sana.

“Mbak, minta geser sedikit,” pintaku kepada beberapa perempuan yang menikmati makan malam sambil membicarakan hal menarik tadi pagi. Aku tak tertarik untuk bergabung, mulutku berair melihat salah satu makanan favorit menu kali ini.

Saat sendok mengudara, aku tercekat dengan pemandangan tak seharusnya ada. Lelaki itu menghadap ke arahku, tapi buru-buru wajahnya dilemparkan kepada temannya. Tatapan tak sengaja. Bangku berjarak tiga meja membuat tingkahku yang kikuk akan terlihat jelas. Aku memalingkan wajah kepada perempuan yang bergosip, tapi kini beranjak. Meninggalkan piring kosong yang berserakan.

Jatah waktu kian menipis, sialnya aku makan seperti siput. Seseorang membuat selera berkurang. Semakin lama semakin berkurang penghuni kantin, menyisakan beberapa siswa yang telat makan. Aku sendiri di pojokan, dia bersama temannya. Setiap mengendarkan pandangan. Mata kami saling bertaut. Kuharap virus jambu merah tidak berjangkit.

“Geulis, sendirian saja? Buruan waktunya hampir habis,” Mudin bersuara kencang yang membuat beberapa orang melihat ke arah kami. Tapi, aku tak peduli. Bahkan tak menyahut. Dia mengatakan aku cantik? Itu bahasa Sunda, kan? Oh jangan sampai aku mabuk asmara. Tidak!

Setiap hari tatapan elang selalu hadir. Lama-lama aku merasa lubuk hati bergetar syahdu. Sampai pada penutupan. Semua peserta asrama sudah siap dengan ranselnya. Satu minggu berlalu cepat. Kini semua sibuk berselfi.

Aku hanya duduk mengaktifkan handphone—sudah tujuh hari disita, berlaku pada semua murid tanpa perkecualian. “Mesya bolehkah duduk disampingmu?” tangannya menunjuk kursi kosong di sebelahku. Aku hanya mengangguk tanpa menatapnya. “Oh, iya! Aku minta tanda tanganmu,” kini tangannya sudah siap dengan spidol papan tulis yang permanen.

Mataku terbelalak, “Ah, aku bukan artis rasanya tak pantas!” jawabku kini memasang wajah pernuh tanda tanya. “Ini kamu tanda tangan di bagian ini,” menjulurkan spidol, mengarahkan ke bagian balik jas alamamater. Aku penuh keraguan, senyum tulusnya meyakinkan. Tanpa komentar pun aku lakukan. Beberapa menit kemudian diam sejenak.

Semua siswa asyik berfoto bersama. Aku ikut bergabung dengan mereka. Meninggalkan Mudin yang tertegun melihat tanda tangan itu. Seluruh rangkaian kegiatan selama seminggu sudah terlewati. Waktunya meninggalkan asrama yang penuh kenangan. Aku tahu tak akan ada yang menjemput saat ini.

Jadi, kuputuskan merangkul tas dan membawa beberapa tas kecil penuh baju kotor. Meski agak terseok menggunakan sepatu pantofel. Aku yakin bisa.

“Mesya, tunggu!” teriak seseorang yang tak asing. Aku berhenti, membalikkan badan. Lelaki itu berlari bersama temannya. Alin namanya. Aku hanya tersenyum.

“Iya, ada apa?” tanyaku tanpa menunggu waktu. Mudin berkata katanya ingin pulang bersama, sampai gerbang kampus. Aku hanya mengangguk setuju. Kami berjalan berbaris ke belakang, jalan raya belakang kampus yang tak lebar.

Sepanjang jalan topik yang dibicarakan tentang masa sekolah, pengalaman di asrama, hingga jurusan kami yang berbeda. Ternyata arah tempat tinggal sama, kami terus berjalan. Sempat tas yang kujinjing beralih tangan. Bersyukur punya teman baru. Aku berhenti di sebuah pertigaan, jalanku tak sama lagi. Kulambaikan tangan pada mereka. Perasaan senang saat tas dibawakan. Rasanya seperti tuan putri.

Esoknya dia mengundangku pada sebuah acara makan malam, kami berempat makan di sebuah kedai. Meja kami terpisah. Aku bersama Mupdin, Nasta bersama Alin. Pertama kali aku keluar malam dan makan malam, aku seperti sudah salah langkah. Tapi, dia hanya menganggap kami teman. Aku tak begitu percaya, sorot matanya begitu dalam. Terlihat menyukaiku, tapi aku tak ingin menjalin tali hubungan selain sahabat dan teman. Dia hanya mengangguk.

Pikiranku tak sama seperti kemarin, Mudin di hadapanku telah mengajak berkomitmen. Ada debar kuat, tak dengarkan saja. Setiap hari dia hujani aku dengan perhatian. Makan, nelp, sms-an dan belajar bersama meski kami belum sah jadi mahasiswa—sebelum pelantikan. Benih cinta sudah muncul di kedua remaja yang baru mengenal cinta. Saat itu perasaan bersalahku muncul. Ini bukan Mesya, tak ada main-main saat kuliah.

“Maafkan aku Mudin, rasanya kita harus membatasi diri. Menjaga jarak,” aku hanya menunduk saat memutuskan hal itu.

“Tak bisa, aku telanjur komitmen! Kita takkan pacaran,” jawabnya meyakinkan. Hal paling tak kusuka adalah melanggar prinsip dan dipaksa.

Saat itu aku sudah meninggalkannya sendiri. Berlari, entah tujuan kakiku ke mana. Tak ingin dalam masalah besar.

~*~

Sudah lebih 13 bulan dari tempatku meninggalkannya. Ada rasa getir, namun aku tak bisa mengikuti perasaan yang belum dibolehkan. Saat pulang kampung aku mendengar kabar akan dijodohkan dengan seseorang yang tak aku kenal. Kaget mendengarnya, tapi aku tak bisa menolak permintaan bunda.

Aku hanya ikut saja. Kuliah tak melarang pernikahan. Aku sendiri tak yakin bisa melewatinya. Meski harapan masih tentang Mudin. Kini aku rindu sosoknya, aku hanya menyapa melalui sebuah pesan singkat lewat WA. Tulisanku hanya dibaca. Kuulangi lagi, dia tetap melakukan hal yang sama. Hingga terakhir.

Sebuah pesan menyelinap dari aplikasi hijau itu. Dugaan tentang Mudin tepat, tapi tidak dengan pesannya. “Jika itu sudah keinginanmu, maka selamat berbahagia. Aku tak bisa membuatmu tersenyum. Maafkan aku.”

Aku meringis membacanya, padahal dalam benakku. Aku akan berjuang untuknya. Meskipun nanti akan dijodohkan. Lebih sakit lagi--palung hati, saat akunnya menghilang—dia memblokirku.

Aku lupakan kejadian kelam itu, kini dihadapkanku seorang lelaki dewasa berusia 28 tahun. Hanya malu-malu melontarkan pertanyaan. Orangtuaku duduk di sebelahku. Proses pengenalan. Ternyata ada beberapa persamaan, kita sama-sama takut kecoak. Suka nonton film, suka sekali dengan kucing. Pecinta kuliner dan tak bisa memilih pakaian.

Pertemuan antarkeluarga semakin sering, mamanya sudah diskusi dengan orangtua mengenai lamaran. Tapi, masih mengembalikan jawaban kepada Ridwan. Aku hanya menunggu jawaban setiap hari, kutahu lelaki dewasa itu sibuk dan sering lupa menyimpan handphone.

Tak heran tiga hari baru bisa membalas pesanku. Tukar informasi, kabar, cuaca, keluarga. Sudah tiga bulan lebih, aku kini bertanya tentang keseriusannya. Bunda sering mendesakku. Aku sendiri jadi bingung dan serba salah. Mengingat jumlah pesan setiap chat bisa dihitung. Tak begitu sering bersua.

“Bagaimana caraku menjelaskan, sedangkan aku tak pandai merangkai kata. Bagiku Mesya baik, unik dan lucu. Secara pribadi sangat baik. Aku menyukainya. Usiaku sudah dirasa lebih dari cukup.” Sebuah pesan balasan yang membuatku tersipu, saat aku akan membalas. Ternyata dia juga sedang mengetik.

Tapi, aku terus saja mengetik. “Aku perlu menata diri, rasanya aku masih belum siap untuk berkomitmen. Maafkan aku Mesya.”

Padahal aku tengah mengetik, “Kak Ridwan, aku berharap kita akan menjadi jodoh dunia-akhirat,” kini buru-buru dihapus. Aku hanya menanggapi, “semoga Allah memberikan petunjuk!” ditambah emotikon senyum.

Saat itu perasaanku sudah tak dapat dijelaskan lagi. Tapi, aku terus mengirim pesan semangat dan beberapa titipan Nabi kepada umatnya. Bahwa menikah adalah sebuah sunnah yang menyempurnakan agama. Lagi-lagi hanya berujung pesan dibaca tanpa balasan. Kumasih menanyakan kabar pada dua hari setelahnya. Berharap masih ada balasan meski hanya sebuah emotikon. Seperti de javu. Laki-laki yang mapan dan matang sekalipun terkadang masih perlu waktu untuk memutuskan ke tahap serius. Tapi, aku tak suka pengabaiannya. Seolah pesanku, tak penting dan rasanya aku ingin menutup diri dari cinta. Mataku terus berair, berharap Allah membalik hatinya untuk kembali mengikuti perintah-Nya.

 

 

Situbondo, 31 Oktober 2016

 

 

Seseorang yang hanya ingin menulis dan menulis. Berharap tulisanya bisa menginspirasi sesama.

baca juga tulisa sebelumnya.

https://goo.gl/VnmUJv

Tags

About The Author

Baiq Cynthia 24
Novice

Baiq Cynthia

Just wanna to be inspirator to everyone. autor, content writer, blogger. contact me : baiq_cynthia@yahoo.com
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel