"Kuliah itu hanya untuk kaum konglomerat," tutur seorang guru BK di depanya. Gadis yang duduk memperhatikan gaya bicara yang khas. Menerka-nerka apa yang selanjutnya diucapkan seseorang yang lebih tua darinya.
"Banyak subsidi Pemerintah yang salah target, bahkan rekan saya berkata untuk bisa lolos subsidi itu harus merogoh kocek!" sembari memperbaiki kacamata yang bergeser.
"Siswa berprestasi justru tidak lolos jalur undangan, justru sebaliknya. Setiap tahun kasus seperti ini kerap terjadi," pandangannya kini mengarah ke luar. Jendela bening tampak dengan siswa-siswi SMA yang lalu-lalang.
Mungkin diisi kepalanya penuh dengan kekecewaan sosok siswa berprestasi yang harus menghentikan impiannya. Siswa yang selalu memberikan piala untuk sekolahnya. Gelar juara paralel yang selalu disandangnya selama tiga tahun. Hanya dimuseumkan di tumpukan arsip. Dewa Fortuna belum memihak kepadanya.
Gadis yang menyimak perempuan, emosinya sewaktu-waktu meletup, tak banyak komentar. Mengunjungi sekolah lamanya, semata tugas sosialisasi kampus. Keberuntungan belum memihak dirinya. Masuk universitas swasta telat satu tahun. Inginnya yang PTN--kalah saing dengan sekolah lainnya. Bisa jadi kuotanya terbatas. Sehingga tak diterima jalur undangan.
Beberapa hari lagi, KRS secara online ditutup. Sebuah sistem perkuliahan untuk menentukan kelas. Juga mata kuliah yang harus ditempuh. Namun, Asni tak tahu harus bagaimana. Dia tetap duduk dihadapan guru yang pernah mengajarnya semasa SMA. Entah dia dengarkan, atau justru asyik memikirkan masa depan yang akan kandas.
Siswi yang pernah berlaga di tingkat Provinsi dalam ajang kompetisi Olimpiade Fisika. Namun, tak berhasil masuk 3 besar. Tak menyurutkan tekadnya untuk menunjukkan beberapa sertifikat penghargaan kepada instansi yang mengadakan program beasiswa. Kepada Dinas Pendidikan daerahnya, ternyata tidak memberikan harapan kepada kampus swasta. Menurut staff permintaan Bupati yang hanya memberi peluang untuk kampus Negeri. Alasannya Mahasiswi yang diberi tunjangan, berasal dari swasta tak menjalankan perkuliahan dengan maksimal.
"IPK-nya kecil," kata staff wanita yang sembari memoncongkan bibir menyala.
"Kampus saya akreditasinya A, Bu! Jadi mana mungkin sistemnya tidak ketat. Mahasiswi kami dituntut untuk rajin kuliah. Karena kalau tidak, akan mengulang," tegas Asni.
"Ya silahkan saja, berkasnya diletakkan di sana."
Dalam pikiranku hanya pasrah, karena sudah terlanjur meyakinkan Ayah untuk bisa kuliah dengan beasiswa. Toh, kalau gak dapat beasiswa bisa sambil bekerja paruh waktu.
Anggapan akan ada jalan keluar justru meleset. Proposal yang pernah diajukan. Gagal. Tetapi, tak menyurutkan semangat untuk berprestasi.
Mengingat wajah senduh Ayahnya membuat mata bergeming. Seorang makelar yang tak tentu penghasilannya. Jika ada orang meminta untuk menjualkan barangnya, baru bisa bergerak. Sembari menawarkan barang-barang antik miliknya, ditukar dengan sekilo beras.
Selama tinggal di tempat rantauan, beruntung bisa tinggal dengan seseorang yang baik hati. Diberi makan gratis. Tidur tak bayar. Hanya membantu membersihkan rumah tiap selesai ayam berkokok. Mengasuh dua balita mungil. Wajah mereka lucu-lucu. Hingga jika digendong ke komisariat--tempat berorganisasi banyak yang ingin mencubitnya. Terlalu polos.
Berdiskusi dengan kepala Biro Kemahasiswaan, menurutnya beasiswa banyak. Tetapi, semua memerlukan IPK. IPK--Indeks Prestasi Kumulatif baru keluar setelah menempuh dua semester. Padahal UAS semester satu masih belum dilewati Asni. Persyaratan melunasi administrasi sebelum ujian. Asni tak bisa menampik. Menuju biro administrasi untuk cuti. Sayang sekali, cuti pun berlaku sama. Mahasiswa baru ini tak banyak berkutik.
Malu rasanya meminjam uang kepada orang tua angkatnya. Karena tak ada jaminan. Keputusannya hanya dua. Jalur terminal dan meninggalkan tanpa status. Merasa dilema, konsultasi kepada walikelas pun tak membuahkan hasil.
Kartu Tanda Mahasiswanya kini bolong dibagian barcode. Staff yang bertugas hanya mengatakan, "Anda sudah tidak ada sangkut-paut lagi dengan Universitas."
Rasanya sesuatu tertahan di tenggorokan. Namun, wajah Asni berusaha tersenyum. Keluar dari ruangan yang sibuk melayani pengambilan rapot. Maupun beberapa yang ingin aktif setelah cuti. Sementara gadis itu hanya menerima KTM yang bolong. Bulir bening kini tak tertahan lagi dari manik matanya. Berjalan di kampus seperti orang asing. Tak ada lagi harapan. Selain menjadi bahan tertawaan jika kembali ke kampung halaman. Siapa suruh kuliah, nikah pasti gak tersiksa. Membayangkan beberapa ucapan khas tetangganya yang tak suka dengan akademisi.
Bisikan hati kini tertuju untuk berpamitan dengan organisasi ortonom yang tercinta. Mereka tampak asyik di seberang jalan. Sebuah kedai kopi tempat kumpulnya kader. Asni hanya tersenyum.
Menghampiri beberapa teman sejawat yang kini mengajak memesan kopi. Asni bukan tipe orang yang doyan kopi. Jadi hanya menggeleng. Sembari menunjukkan sebuah kartu yang kini bolong. Mata mereka terbelalak! Karena belum pernah menyaksikan KTM dibolongin. Dua lubang jelas seperti lubang gantungan kunci.
Alhasil, Asni berceloteh panjang lebar kronologinya. Lantas membuat salah satu kader tak terima dengan aksi birokrasi. Gadis yang tengah memegang KTM mengelak, murni karena keinginannya.
Pilihannya jatuh pada meninggalkan tempat rantauan, besok bus jurusan Situbondo akan mengantarnya pulang.
"Nurdin, antar Asni pulang. Sepertinya wajahnya lelah! Nanti malam kita bicarakan lagi," tegas Febri ketua bidang hikmah.
Asni pun tak bisa mengelak, karena jarak kampus dan rumah orangtua angkatnya menghabiskan waktu lima belas menit berjalan kaki.
Sampai rumah disuguhkan beragam kekacauan barang-barang. Ulah dua bayi yang imut-imut beraksi dalam perang melawan monster. Walau letih, tapi tak membuat gadis ini lantas tidur. Melainkan tersenyum simpul sembari membereskan segala yang mirip kapal pecah. Adiknya minta gendong setelahnya. Asni penyayang anak kecil. Tak tega jika melihatnya memekik. Hingga tetangga tak bisa tenang. Sementara ibunya terkadang lelah. Hingga pulas dalam mimpinya.
Dua hari menjelang Ujian, Asni sudah tak memikirkan lagi. Baginya, sudah bersyukur pernah menikmati fasilitas hotspot di ICT. Mengunjungi perpustakaan berlantai tiga. Hingga bercanda bersama dengan Mahasiswi dari luar Jawa. Mempelajari banyak hal yang tak di dapat jika menikah dini. Pikirnya.
Matanya kini tertuju kepada pesan singkat, "Temui saya di Gazebo samping Perpus. Dimas". Sosok yang hanya dikenal sebentar saat pengukuhan menjadi Kader. Tanpa banyak berpikir. Asni berpamitan kepada ibu angkatnya. Mengikat tali hitam dengan sepatu kets-nya siap mengantar hingga kampus.
Ucapan selamat menempuh Ujian Akhir Semester Ganjil, terpampang dalam banner ukuran 2x3 meter di depan perpustakaan. Membuat hati Asni redup seketika. Karena dirinya bukan bagian dari Kampus Putih, Jas Merah. Mata Asni tertuju kepada Dimas melambaikan tangan dari kejauhan.
"Semalam kok gak hadir di acara rapat?" Dimas memulai pembicaraan.
"Maaf mas, semalam jaga adik!"
"Kami sepakat bahwa mahasiswi yang seperti kamu wajib diperjuangkan! Masa depan kini menantimu. Karena itu, atas nama Organisasi. Ini mohon diterima," suaranya menggema di telinga Asni. Tak percaya sebuah amplop putih berisi nominal yang mungkin akan mendapatkan smartphone anti-air, pikirnya.
"Tapi, KTM saya sudah berlubang!"
"Namamu akan tercantum kembali! Percayalah, kamu bisa ikut UAS," sembari tersenyum.
Ingatan tentang kebaikan Dimas kini terekam dalam memorinya. Setelah berurusan dengan kemahasiswaan, Pembantu Dekan 3, Kepala Biro Keuangan, hingga Administrasi. Senyum mengembang saat namanya terpampang di absen ujian.
~*~
Â
Matanya menatap nanar pada sebuah layar terang yang memuat beragam informasi. Senyum kembali redup, mimik wajahnya kembali datar. Baru tiga bulan kemarin berlalu. Tak sadar di langkah selanjutnya lebih keras. KRS untuk Semester 2 harus kandas. Nominal dari mana lagi yang akan mengubah status Mahasiswanya kembali aktif. Mungkin menunda kuliah, tanpa harus menikah kini menjadi alternatifnya. Mencari dollar untuk biaya kuliah.
Â
Baiq Synithia Maulidia Rose Mitha memiliki nama pena Baiq Cynthia. Perempuan yang suka membaca dan menulis lahir 30 Juli 1996. Memiliki motivasi menulis untuk berbagi dan mengispirasi. Bisa menghubungi melalui email : Baiqcynthia@gmail.com. Tergabung dalam Poejangga Writtersm enghasilkan novel kolaborasi Before The Last Days (2014). Cerpennya pernah dimuat di Media Mahasiswa. Kini selain belajar literasi memiliki kesibukan bekerja.
Tak selamanya orang pintar menemukan titik terang. Based on real story.
FB/IG : Baiq Cynthia