Siang itu kebetulan saya berada di sekitar Kalimas. Entah kenapa setiap kali berada daerah ini saya seolah terbawa ke masa lalu. Mungkin karena di daerah ini banyak terdapat bangunan kuno yang dibangun pada masa kolonial sehingga mau tak mau membawa imaji saya pada masa-masa ketika pemerintah kolonial Belanda masih menjajah negeri ini.
Hal pertama yang terbayang adalah Citadel Prins Hendrik. Letaknya persis di timur sungai Kalimas setelah pertemuan antara jalan KH Mansyur dan Sultan Iskandar Muda pada masa sekarang. Sayangnya tidak ada yang tersisa dari benteng ini. Akan tetapi jika diperhatikan pada peta pada tahun 1866 posisi Citadel Prins Hendrik ini meliputi daerah yang terletak di antara jalan Benteng di sebelah selatan, jalan Hang Tuah di sebelah timur, jalan Jakarta di sebelah utara, dan jalan Pati Unus di bagian barat. Perkampungan yang diapit oleh keempat jalan itulah kemungkinan besar merupakan lokasi Citadel Prins Hendrik pada masa lalu.
Kemudian di sebelah utara terdapat sisa-sisa jembatan petekan yang terbengkalai. Jembatan yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda bekerjasama dengan N.V. Bratt & Co pada tahun 1939 ini telah ditetapkan sebagai salah satu situs cagar budaya. Akan tetapi kondisinya masih tetap mengenaskan meski dibuatkan taman dan tempat untuk duduk. Mungkin karena lokasinya yang jauh dari keramaian kota menyebabkan situs ini kurang begitu favorit bagi warga Surabaya.
Ditambah lagi tidak adanya pagar pembatas sungai dapat membahayakan bagi orang yang ingin berkunjung ke sana terutama yang datang bersama anak-anak mereka. Juga di tempat ini tidak tersedia lahan parkir bagi orang yang ingin berkunjung. Pendeknya, jembatan Petekan kurang begitu favorit untuk dikunjungi. Padahal jika dibandingkan dengan situs-situs cagar budaya lainnya, jembatan Petekan menawarkan nilai khas tersendiri. Saya kira hanya jembatan Petekan ini satu-satunya jembatan jungkit yang tersisa dari jaman kolonial.
Saya bertanya, sekiranya mungkin apakah bisa jembatan Petekan ini direkonstruksi ulang seperti halnya rekonstruksi pada candi sehingga bisa dilihat bentuk utuhnya seperti di masa lalu? Mungkin untuk langkah berikutnya bisa juga wisata kota tua di sepanjang koridor  Kalimas melalu sungai. Rute bisa dimulai dari Jembatan Merah kemudian menyusuri koridor Kalimas Barat dan Kalimas Timur. Kemudian terus melintasi jembatan Petekan dan kembali lagi ke Jembatan Merah. Saya bertanya, tapi pertanyaan itu di telan arus Kalimas yang mengalir menuju muara di utara sana.
Selanjutnya sebelum mencapai jembatan yang melintasi Kalimas, di sebelah selatan benteng Prins Hendrik terdapat beberapa perkampungan. Pada peta tahun 1825 perkampungan di sebelah selatan benteng (pada peta tahun 1825 Citadel Prins Hendrik belum ada) berpusat di dekat tepi sungai Kalimas. Antara jalan Sasak dan jalan Sultan Iskandar Muda terdapat areal persawahan yang luas. Pada saat itu jalan KH Mansyur belum nampak (jalan yang tertera pada peta). Jika ingin menuju jalan Benteng saat ini, harus melewati jalan Sasak, Panggung, Nyamplungan, baru berbelok ke barat di jalan Sultan Iskandar Muda. Atau bisa juga menyusuri jalan di sepanjang sungai Kalimas. Tapi bukan tidak mungkin terdapat jaringan jalan-jalan setapak yang pada gilirannya berkembang menjadi jaringan jalan yang lebih besar seperti saat ini.
Kalau kita perhatikan peta tahun 1825, terdapat jalan di sepanjang sisi barat dan timur Kalimas. Di bagian timur, jalan itu membentang mulai dari jalan Gambir sekarang ke utara sampai melewati jalan Benteng dan sepertinya terus ke utara sampai ke muara sungai. Akan tetapi bangunan yang didirikan di bagian timur terkonsentrasi di sebelah selatan jalan Benteng. Begitu juga dengan jalan di bagian barat, membentang mulai jalan Garuda sekarang sampai ke muara di utara sana. Meski di bagian barat juga terdapat konsentrasi bangunan, namun keadaan tidak begitu rapat jika dibandingkan dengan sisi bagian timur. Baru mendekati jalan Garuda, bangunan di bagian barat sungai lebih rapat karena di daerah ini merupakan pusat pemerintahan Kolonial yang pada peta disebut sebagai daerah Soerabaia.
Bisa dikatakan kedua jalan di sepanjang Kalimas pada masa itu merupakan infrastruktur yang menopang roda perekonomian pada masa itu. Komoditas-komoditas yang datang dari laut masuk melalui sungai dan diangkut ke darat di sepanjang kedua sungai itu. Atau bisa juga melalui jalur sungai itu. Sampai sekarang masih dapat dilihat adanya anak-anak tangga pada dinding Kalimas yang menjadi tempat naiknya orang atau barang dari sungai ke darat. Dari situ barang-barang dari luar disalurkan ke kota dan ke daerah pedalaman. Begitu juga sebaliknya, melalui kedua sisi sungai itu pula komoditas dari daerah-daerah hinterland disalurkan keluar. Dapat dibayangkan betapa ramainya keadaan kedua sungai Kalimas khususnya yang terletak di antara jalan Benteng dan Kembang Jepun di koridor timur, dan jalan Indrapura dan Rajawali pada masa lalu.
Pada peta tahun 1866 terlihat ada perubahan pada tata kota. Di bagian barat kalimas terdapat jalan melingkar yang jika diperhatikan dari atas serupa sabuk yang mengelilingi daerah di bagian barat Kalimas. Jalan ini membentang mulai dari regent straat melewati kampung Gatotan, Krembangan, lalu berbelok di kampung Tambak Gringsing, dan berakhir di kampung Moeteran, persis di seberang Citadel Prins Hendrik. Pada masa kini, jalan ini menjadi Jalan Indrapura yang membentang mulai dari jembatan Alon-alon contong kemudian memotong jalan Rajawali lalu masuk ke kampung pesapen dan berakhir di jalan Benteng. Bisa dikatakan daerah di barat Kalimas mengalami perluasan. Daerah seperti Krambangan, Sawang, Pesapen, Tambak Grinsing, atau pun Bandoengang yang sebelumnya merupakan daerah kosong pada peta tahun 1825 kini berubah menjadi bagian dari tata kota.ÂÂ
Bagian timur Kalimas juga mengalami perkembangan. Kini terdapat Citadel Prins Hendrik di sebelah timur Kalimas. Daerah perkampungan Arab dan Melayu mengalami perkembangan. Terdapat jalan baru yang pada peta tahun 1825 belum ada, yaitu jalan yang sekarang bernama KH Mansyur. Jalan ini lengkap beserta jaringan-jaringannya yang menghubungkan Kalimas dengan daerah di timurnya.
Dari penggambaran peta yang sudah disebutkan di atas dapat dilihat bahwa kedua wilayah di sisi barat dan timur Kalimas merupakan daerah perdagangan yang ramai. Daerah ini sering disebut dengan kota bawah atau âbeneden stadâ sebagai daerah perdagangan. Dari sinilah geliat perekonomian Surabaya pada masa itu dijalankan.
Sayangnya, daerah yang dulu pernah menjadi pusat perdagangan itu kini seolah ditinggalkan. Makin berkembangnya sarana transportasi dan bermunculannya pusat-pusat perdagangan baru menyebabkan daerah sepanjang sungai Kalimas makin sepi. Aktivitas bongkar-muat expor-impor kini dilakukan di pelabuhan Tanjung Perak, dan kini juga di Teluk Lamong. Sementara itu sarana pengangkut seperti kereta api mau pun truk dapat menyalurkan hasil-hasil komoditas secara cepat dan efisien dibandingkan dengan melalui sungai. Juga perkembangan kota yang terus berkembang ke selatan, menyebabkan terbentuknya tempat-tempat baru bagi perdagangan.
Kini kawasan Kalimas tampak merana. Daerah yang pernah jaya pada masa kolonial itu sekarang tampak kotor dan tidak terawat. Banyak bangunan-bangunan kuno yang kurang mendapat perawatan. Di koridor bagian barat misalnya, dinding-dinding bangunan nampak berwarna kusam dengan bercak-bercak hitam melekat di banyak tempat. Meski begitu masih ada bangunan yang cukup terawat dan dijadikan sebagai kantor perusahaan.
Secara umum, kondisi di koridor barat sungai bisa dibilang lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi di bagian timur sungai. Hal ini dikarenakan jalan yang berada di bagian barat sampai saat ini tetap aktif dan dilalui oleh pengendara. Perhatian dan perawatan di wilayah ini lebih mungkin karena akses jalan masih berfungsi sebagaimana sebelumnya.
Akan tetapi jika kita menengok koridor bagian timur sungai, kondisinya cukup memprihatinkan. Dari segi akses jalan, bisa dikatakan jalan di bagian timur ini sudah tidak banyak dilewati pengendara umum. Jika kita masuk dari sebelah utara atau dari jalan Benteng, di pangkal jalan terdapat sebuah TPS (Tempat Penimbunan Sampah) sementara. Sedang dari arah selatan, jika kita mau masuk jalan ini kita harus berbelok persis sesudah melintasi jembatan Merah dan menyisiri bagian barat dinding pertokoan. Bisa juga diakses dari jalan KH Mansyur melalui perkampungan di dalamnya. Tapi sekali lagi jalan ini sekarang sudah bukan lagi jalan umum, sehingga pada hemat saya sangat jarang dilewati oleh orang dari daerah luar.
Sedang dari segi kualitas jalan bisa dikatakan tidak layak. Jalanan sudah bukan lagi jalan beraspal melainkan dari pasir dan batu. Ini bisa dipahami untuk akses masuk dari daerah selatan yang melewati bagian barat dinding pertokoan karena sepertinya ini memang bukan merupakan jalan. Tapi jika dilihat dari sisi jalan Benteng kondisi bukan hanya tidak bisa diterima, tapi patut dipertanyakan pula: mengapa jalan di bagian timur Kalimas ini berupa pasir dan batu? Mengapa jalan yang lama harus diurug oleh pasir dan batu? Bahkan jika diamati, urugan pasir dan batu ini tingginya hampir melewati pagar pembatas sungai. Kalau pun ada jalanan yang beraspal panjangnya hanya beberapa puluh meter saja.
Pada musim kemarau daerah ini terkesan gersang dan berdebu. Akan tetapi pada musim hujan sangat mungkin daerah ini menjadi penuh kubangan dan becek. Titik-titik air yang terjebak membentuk lumpur. Sementara itu sebagian pasir akan tergerus bersama larinya air ke sungai. Mungkin kondisi inilah yang menyebabkan terus dilakukan pengurukan sehingga tingginya sekarang hampir mendekati tinggi pembatas sungai. Juga kondisi bangunan di daerah ini banyak yang tak terawat. Beberapa bangunan bahkan terbengkalai dan tidak beratap.
Ririn Dina Muftiandi dan Ary Dwi Jatmiko dalam makalahnya yang berjudul âPemanfaatan Karakter Tempat (Spirit of Place) sebagai Obyek Wisata Kota Lamaâ telah melakukan pengamatan lapangan mengenai kondisi bangunan di sepanjang koridor Kalimas Timur. Dalam makalah itu disebutkan bahwa koridor Kalimas Timur terdiri dari 186 bangunan, dengan bangunan 1 lantai meliputi 14%, bangunan 2 lantasi sebesar 83%. Sedangkan dari segi kondisi bangunan, sebanyak 48% bangunan rusak, 31% tak terawat, dan hanya 21% saja yang terawat. Banyaknya bangunan rusak tentu cukup memprihatinkan mengingat mengingat koridor Kalimas Timur ini memiliki karakter tempat yang khusus dan layak dipertahankan.
Meski demikian masih banyak aktifitas pergudangan dan bongkar muat di bagian timur Kalimas ini. Mungkin karena aktifitas di daerah lebih banyak sebagai gudang penyimpanan menyebabkan perawatan dan pemeliharaan terhadap bangunan kurang mendapat perhatian. Barangkali akan berbeda halnya jika daerah ini menjadi representasi dari perusahaan yang bersangkutan. Permasalahan tampilan sebuah gedung akan menjadi perhatian utama sekiranya daerah ini menjadi daerah perkantoran ketimbang pergudangan.
Pada akhirnya kembali pada ungkapan lama âSoerabaia van buiten blink, van binen stingâ. Meski di beberapa tempat seperti koridor jalan veteran atau pun jalan tunjungan banyak bangunan-bangunan kuno mendapat perhatian sehingga tetap terjaga dan terawat, namun di banyak tempat seperti di koridor Kalimas banyak terdapat bangunan kuno yang tidak terawat. Hal ini sangat disayangkan mengingat karya-karya arsitektur bergaya kolonial dapat menjadi rujukan sejarah bagi generasi masa kini dan masa depan. Terlebih apabila karya-karya arsitektur kuno itu dirobohkan dan dibangun bangunan baru lagi di atasnya. Tentu hal ini akan sangat disayangkan.