Ge.

6 Oct 2016 11:59 2591 Hits 0 Comments
Cerpen

(Sebelum membaca ini. Kamu perlu membaca "Pelacur Waktu". & "Amsterdam 13°Celcius".)

-----

Ponsel Ananta berdering. Satu pesan masuk. Ananta menolak membacanya. Apa yang dialaminya hari ini adalah keinginan dari banyak pria. Menikmati tubuh seorang wanita tanpa ikatan, tanpa takut ketahuan atau diganggu manusia lain. Rambut panjang Inneke yang tergurai menyentuh lembut kulitnya, gairah itu yang tidak dia dapatkan pada Amanda. Persetubuhan itu dihalangi oleh rambut Amanda yang terkuncir. Rasanya memang agak aneh, bersetubuh tanpa merasakan rambut yang tergurai, rasanya kurang untuk tidak menjambak ditengah-tengah permainan, tidak bisa mendengar suara kesakitan yang bercampur suara kenikmatan duniawi. Ananta masih berbaring telanjang di atas kasur hotel, melihat Inneke dengan jari-jari yang menyusuri perut sixpacknya. Persetubuhan diantaranya memang telah usai sejam yang lalu, tapi getaran dan rangsangannya masih bertahan. Persetubuhan yang lebih lama dari yang bisa diberikan Amanda.

Ponsel Ananta terus berdering, dia meraih ponselnya diatas Nakas—meja kecil disamping kasur. Sembari merasakan sentuhan lembut Inneke pada kelaminnya, Ananta membaca dua belas pesan dari Niko, seorang teman masa SMA yang sedang menyelesaikan Studi S2nya di Jerman. Pesan pertama, kedua, ketiga, keempat dan kelima mengkonfirmasi kebenaran keberadaan Ananta di Amsterdam. Niko melihat status check in pada akun path Ananta. Pesan keenam, ketujuh, kedelapan dan kesembilan, Niko mengajak Ananta untuk berlibur di Jerman. Sekaligus bertemu setelah sekian lama tak berjumpa. Pesan kesepuluh, sebelas dan terakhir memohon pada Ananta untuk meluangkan waktu ke Jerman, menemaninya yang sedang menghabiskan liburan pasca ujian akhir.

Ananta tersenyum, keluguan Niko masih terasa bahkan hanya melalui pesan singkat, Ananta membalas pesan Niko saat Inneke mulai melakukan oral pada kelaminnya. Ada kelegaan dalam dirinya, matanya sempat terpejam singkat saat bibir Inneke mulai menyentuh, Ananta menarik nafas sebelum mengirim pesan balasannya pada Niko, lalu melempar ponselnya, mengibas rambut Inneke yang menutupi wajah cantiknya. Ananta menopang kepalanya pada dua tangan yang terlipat ke belakang. Merasakan kenikmatan yang mungkin tak bisa dia rasakan lagi setelah ini. Waktu benar-benar berpihak padanya. Waktu benar-benar memberikannya keuntungan. Waktu tidak pernah berbohong, waktu menghargai siapapun yang menghargainya.

Ananta mengecek jam pada ponselnya, sudah lewat tengah malam. Dia membuka jadwal penerbangan ke Jerman. Mencari beberapa pesawat yang berangkat lebih awal. Satu maskapai penerbangan asal Belanda akan terbang ke Jerman dalam enam jam. Ananta langsung membooking satu tiket, membayarnya lalu meletakkan ponsel diatas Nakas. Ada waktu lima jam untuk tidur. Ananta menarik Inneke, menyudahi permainan malam itu, menarik selimut, tidur dengan lengan menopang kepala Inneke dan dada yang merasakan lembut tangan Inneke. Sesekali tangan Inneke menyeruak masuk dibalik selimut, menyentuh rambut kemaluan Ananta. Seperti seorang Ibu yang menampar tangan anaknya, Ananta melakukannya pada Inneke. Mereka tersenyum, lalu bersama-sama menutup mata.

Tepat pukul enam, alarm ponsel Ananta berdering, Inneke mematikannya pada dering pertama. Enam lebih sepuluh, dering kedua alarm terdengar , Inneke mematikannya sekali lagi. Ananta masih tidur nyenyak. Enam lebih duapuluh menit dering ketiga alarm membangunkan Ananta. Pesawat KLM 1791 menuju Munchen berangkat pukul 07.15. Kurang dari satu jam untuk Ananta bersiap-siap. Ananta bangkit mematikan Alarm, lalu mandi, meninggalkan Inneke yang masih berbaring. Setengah sadar, Inneke meraih ponsel Ananta, mengambil foto dirinya dalam keadaan setengah telanjang dengan dada yang membusung—menggoda, lalu menjadikannya sebagai wallpaper. Inneke mengumpulkan tenaga untuk bangkit, persetubuhannya semalam benar-benar menguras energinya. Setelah merasa kuat, Inneke bangkit, memakai Dress Towel putih yang disediakan Hotel, membuka tirai jendela dan menguncir rambut.

Tak memakan waktu lama, Ananta hanya menghabiskan waktu sepuluh menit di dalam Kamar Mandi, Dia keluar dengan muka sumringah dan segar, memakai Dress Towel putih, mengelus cepat rambutnya.

“Kamu mau kemana??”
“Germany,” Ananta tersenyum, mengambil sisir yang tergeletak diatas Nakas.
“Mau ngapain??” Inneke memeluk Ananta dari belakang.
“Ketemu temen,” Ananta menyisir rambut.
“Cewek??” Inneke menyenderkan kepalanya pada punggung Ananta.
“Cowok… Temen SMA dulu.”
“Jangan pergi…” Inneke menarik tali Dress Towel Ananta.
“Pesawatku sebentar lagi berangkat,” Ananta menahan tangan Inneke.

Ananta Mengambil setelan jas, lalu memakainya. Inneke duduk di pinggir kasur, menggoda Ananta untuk bermain sekali lagi. Inneke masih punya waktu tiga jam sebelum penerbangannya. Ananta diam, sibuk merapikan dasi dan setelan jasnya. Selesai memakai sepatu, Ananta meraih ponselnya, tersenyum melihat foto Inneke di wallpapernya. Inneke ikut tersenyum, dalam tatapan penuh goda, Ananta mencium bibir Inneke, cukup lama, membuat Inneke terpejam—menikmati. Ananta melepas ciumannya, berpamitan lalu keluar dari kamar 119. Sekali lagi Inneke tersenyum, menatap pintu yang pelan-pelan tertutup.

Ananta berjalan kaki menuju bandara, sembari mencari kontak Niko untuk menelponnya.

“Hallo, Nik. Gue otw ke Munchen yaa. Pesawat gue berangkat jam tujuh.”
“Munchen?? Kenapa nggak Berlin aja?? Lebih deket ke Nordhausen.”
“Terlanjur! Pesawat paling pagi ke Munchen sih.”
“Lo perlu gue jemput apa gimana??”
“Jemput gue aja deh di bandara.”
“Tapi lo harus nunggu. Kereta dari tempat gue sekitar lima jam-an.”
“Gampang, cuma nunggu empat jam doang, kan?? Gue bisa!!”
“Asiik... Okedeh.”
“Siip! Thankyou, ya!”
“Oke.”

Ananta menutup teleponnya tepat ketika langkah kakinya menginjak lobby bandara. Ananta langsung melakukan Boarding setelah check in. Duduk di Nomor kursi yang tertera. Perjalanan memakan waktu satu setengah jam. Cukup bagi Mara untuk tidur sejenak.

Gerimis turun di Munchen, setelah mengurus perihal imigrasi, Ananta membeli kartu perdana lalu sarapan di satu toko franchise terkenal. Ananta sengaja menghabiskan waktu sekitar satu jam di toko itu. Caranya membunuh waktu. Setelah satu jam berlalu, Ananta pergi ke gerai kopi memesan satu americano, duduk di kursi paling luar gerai itu, membeli koran dan mengganti kartu perdananya. Koran dalam bahasa jerman itu tidak dia baca, koran adalah bentuk manipulasi pertahanan diri, dengan membeli dan membaca koran Jerman, tidak akan ada orang yang mengira dirinya traveler atau orang dari luar Jerman. Trik yang unik.

Beberapa Jam menunggu, gerimis mulai reda. Suasana berubah menjadi sejuk. Seketika kenangan menarik Ananta ke malam itu. Malam saat Inneke menyetubuhinya, seperti sepasang suami-istri. Kenangan juga menariknya pada persetubuhannya bersama Amanda di sofa ruang tamu Amanda. Matanya terpejam, senyumnya mengambang, bayangan itu tidak akan pernah keluar dari kepalanya.

Ananta merasa aneh dengan perlakuan Amanda padanya waktu itu. Dia masih tidak mengerti apa maksud Amanda. Ananta memikirkan dua hal. Pertama, Amanda memberikan itu karena dia sudah menikah dan meminta Ananta untuk tidak lagi menunggu dan memikirkannya. Kedua, Amanda ingin memberikan pesan bahwa dia tidak bahagia bersama suaminya dan meminta Ananta untuk masuk lagi ke dunianya, menghancurkan hubungannya dengan Marco, lalu hidup bersama. Ananta lebih yakin pada jawaban pertama. Amanda memang tipe wanita yang berani dan lugas, meski harus menggunakan tubuhnya untuk mengusir seseorang dari hidupnya. Meskipun akan menjadi dilema ketika Ananta justru menanggapinya santai dan justru semakin nyaman mengejar Amanda.

Segalanya telah berubah, tinggal menunggu waktu bagi Ananta untuk mati dilupakan. Mungkin Ananta salah, kenyamanan justru merenggut apa yang dia mau dari Amanda. Ananta sadar, orang-orang seperti dirinya yang terlalu sering terluka justru menjadi satu-satunya orang yang mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan. Ananta terlalu buru-buru mengusir seseorang yang masuk ke dunianya dan fokus pada apa yang dia kejar. Sehingga dia tidak sadar, mungkin saat itu tuhan sedang iseng memberitahu siapa jodoh Ananta yang sebenarnya.

Ananta yang melamun, tersentak dengan suara dering telepon dari Niko.

“Halo... Lo dimana. Gue udah sampe nih.”
“Lo dimana?? Gue di Starbucks,” Ananta menoleh mencari keberadaan Niko.
“Ohitu, gue lihat, gue lihat,” Niko melambaikan tangan.
“Nik!!” Ananta menutup teleponnya, ikut melambikan tangan—membalas Niko.

Niko membawa seorang wanita yang mengikuti di belakangnya. Wanita itu memakai Capelet Coat dan celana panjang hitam.

“Hallo, Nan. Apa kabar lo??” Niko berjabat tangan dan memeluk Ananta.
“Baik-Baik. Lo gimana??” Ananta menatap Niko, sesekali melirik wanita di belakang Niko.
“Yaa, gini-gini aja, lah.”

Wanita itu mengingatkan Ananta pada Amanda karena sama-sama memakai sepatu Oxford warna cokelat kulit yang mengkilap. Rambutnya yang terkuncir membuat aura kecantikannya keluar secara natural, bibir tipisnya memakai gincu merah yang tidak terlalu tebal, warna matanya kecokelatan seperti menggunankan contact lens.

“Eh, kenalin nih... Geraldine, pacar gue,” Niko merangkul Geraldine
“Ananta,” Ananta tersenyum, mengenalkan diri.

Getaran dari tangan Geraldine membuat Ananta menjabat tangannya lumayan lama. Tatapannya meneduhkan, senyumnya menghangatkan, membuat Ananta terenyuh. Jantungnya berdebar kencang sesaat setelah Geraldine mengedipkan mata ke arahnya.

“Orang Indo juga,” Niko tersenyum.
“Really?? Oh... Hai Geraldine.”
“Hai, Ananta,” Geraldine tersenyum, melambaikan tangan.
“Panggil aja, Ge,” Kata Niko.
“Okee.. Kalian satu kampus??” Tanya Ananta.
“Yap,” Niko mengangguk mantap.
“So, mau keman kita??” Ananta bertanya pada Niko, matanya melirik Ge yang curi-curi pandang menatapnya.

Mereka bertiga pergi ke Kota Bonn, salah satu kota bersejarah bagi Jerman Barat. Kota ini pernah menjadi Ibu Kota Jerman Barat Sejak 1949-1990. Pada tahun 1990-1999 Kota Bonn pernah menjadi pusat pemerintahan Jerman. Bonn terletak di tepi Sungai Rhein, Negara bagian Nordrhein-Westfalen. Kota Bonn adalah Kota kelahiran, Ludwig van Beethoven, musisi yang sangat dikagumi Ge. Di Kota Bonn juga berdiri Monumen Beethoven untuk mengenang musisi yang melegenda itu. Salah satu keunikan kota ini adalah banyaknya bilik telepon umum khas eropa yang berwarna merah dirubah menjadi perpustakaan kecil yang tersebar di penjuru kota.

Sebelum balik ke Nordhausen mereka bertiga pergi ke Berlin. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kereta. Ananta dan Ge terus curi pandang, sesekali kaki mereka saling bersentuhan, mengelus lembut sembari masih melanjutkan pembicaraan bersama Niko. Membicarakan pengalaman masa SMA. Di Berlin mereka mengunjungi Brandenburger Tor yang merupakan bekas gerbang kota dan salah satu simbol utama Berlin, Mereka juga betkunjung ke Tembok Berlin yang menjadi fakta sejarah dipisahnya wilayah Berlin Barat dan Berlin Timur dengan sebuah tembok beton yang didirikan pada 13 Agustus 1961

Tidak banyak tempat yang mereka kunjungi di Berlin, karena hari mulai malam. Mereka memutuskan untuk pulang sebelum jadwal kereta terakhir. Ananta menginap di Apartemen Niko yang masih satu gedung dengan Apartemen Ge. Sebelumnya Niko mengantarkan Ge sampai ke depan pintu Apartemennya. Mengucapkan selamat malam dalam bahasa Jerman. Sekali lagi, Ge mengedipkan mata ke arah Ananta. Niko tak mengetahuinya.

Di apartemennya. Niko membuka obrolan sebelum dia tidur.

“Flight, Gue besok jam sembilan pagi.”
“Ha?? Mau kemana lo??” Ananta melepas sepatunya.
“Pulanglah ke Indo... Liburan panjang gini.”
“Nah Si Ge, gimana??” Ananta melepas dasinya.
“Dia nggak ikut, kalo liburan gini dia kerja, ngumpulin duit buat balik.”
“Oh gitu,” Ananta mengangguk pelan.
“Lo ikut ya. Masih banyak sisa tiket kok terakhir gue lihat.”
“Hmm...” Ananta berpikir sejenak, muncul siluet wajah Geraldine dalam kepalanya.
“Ayolah,” Niko memohon.
“Ah enggak deh. Gue masih ada urusan lain disini,” Senyum Ananta menolak ajakan Niko.
“Asikk, pengusaha muda boy!!” Kata Niko dengan nada tinggi, membuat mereka tertawa bersama, menggetarkan dinding Apartemen.

Paginya, Niko berangkat menuju Bandara seorang diri, berpamitan pada Ananta yang setengah sadar, masih tertidur. Niko mempersilahkan Ananta untuk menggunakan Apartemennya selama dia di Jerman. Niko juga berpamitan pada Ge, memberitahunya bahwa Ananta masih tertidur dan akan mengurusi hal lain setelahnya. Geraldine tampak senang mendengar hal itu, dia mengantar Niko ke Bandara. Sebelum Niko masuk pesawat Ge memberikan kecupan singkat pada bibir dan kening Niko.

Dua jam setelah Niko pergi. Ananta masih tertidur pulas. Raut muka lelah tampak pada garis matanya. Ge yang baru sampai dari bandara langsung menuju Apartemen Niko. Meski apartemen Niko terkunci. Ge tetap bisa membukanya. Niko memang memberikan satu kunci apartemennya pada Ge. Setelah masuk dan mengunci pintu, Ge melihat Ananta yang masih tertidur, Ge bisa melihat wajah Ananta yang lesu dan tampak lelah dari pintu apartemen. Ge mengendap-endap, berjalan pelan, menghindari timbulnya suara yang bisa membangunkan Ananta. Ge menyelinap masuk selimut, berbaring tepat di samping Ananta, tubuhnya miring menghadap Ananta. Senyum mengembang di bibirnya. Beberapa menit Ge masih memandangi muka Ananta, kedua tangannya berada diatas bantal menopang kepalanya.

Mata Ge terpejam, dia mendekatkan wajahnya pada wajah Ananta, sampai Ge bisa merasakan nafas Ananta yang menyentuh Fitrum—lekukkan pada bagian bawah hidung. Ge menggigit bibirnya sendiri, lidahnya menyapu bibirnya yang kering. Feromonnya naik, dalam waktu singkat, Ge memajukan bibirnya hingga menyentuh lembut bibir Ananta. Ge melihat tubuh Ananta yang menggeliat, Ge menjauhkan bibirnya. Jantungnya berdebar kencang, kedua matanya terus berkedip cepat. Sampai pada kedipan terakhir, Ge melihat Ananta yang membuka mata—menatapnya.

“Ge??” Raut muka Ananta berubah, lelah di mukanya tiba-tiba hilang. Jantung Ge seperti berhenti berdetak. Rasa canggung mulai datang, Ge hendak bangkit. Tapi Ananta mehanannya.

-----

Tags

About The Author

Zahid Paningrome 38
Ordinary

Zahid Paningrome

Creative Writer
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel