Amsterdam 13°Celcius

4 Oct 2016 16:05 3042 Hits 0 Comments
Cerpen
(Untuk membaca ini, kamu harus membaca cerita sebelumnya: "Pelacur Waktu".)
 
 
Siang itu suhu Amsterdam mencapai 13°Celcius. Ananta tak sengaja terbang ke Amsterdam. Sebelumnya dia menerima satu surel yang masuk. Surel itu datang dari seorang wanita di Amsterdam. Tidak lain, surel itu datang dari wanita yang telah lama mengendap di kepalanya. Seorang wanita yang pintar menciptakan luka tanpa memberi obat penawar. Inneke bukanlah wanita yang mengirim Surel itu. Inneke hanya sebagian dari beberapa wanita yang mengharapkan Ananta.
 
Surel itu membuat jantungnya berdebar kencang. Sesuatu yang dia tunggu setelah setahun lebih akhirnya datang. Tuhan menjawab doanya. Namanya Amanda, lembut matanya benar-benar meluluhkan Ananta. Tatapannya selalu membuat Ananta merasa penting, merasa menjadi satu-satunya pria yang pantas memiliki Amanda. Tatapannya benar-benar meneduhkan hati. Manifesto wanita sempurna.
 
Inneke menginap di YOTELAIR Amsterdam Schiphol. Hotel yang memang disediakan untuk para pramugari beristirahat sembari menunggu penerbangan selanjutnya. Tapi, bukan YOTELAIR yang akan didatangi Ananta. Anne Frank Huis menjadi destinasi yang akan Ananta datangi. Anne Frank Huis adalah tempat persembunyian Anne Frank dan keluarganya. Anne Frank adalah remaja kelahiran tahun 1929 yang memiliki darah Jerman-Yahudi. Dia dan keluarganya bersembunyi dari  Rezim Nazi yang berusaha membunuh entis yahudi pada perang dunia kedua. Anne Frank Huis kini menjadi musem dan salah satu destinasi wisata turis yang terkenal di Amsterdam.
 
Amanda sedang berlibur di Amsterdam. Sudah tiga hari dia disana. Amanda mengirimkan surel pada Ananta untuk menemaninya sehari sebelum dia pulang, kembali ke Indonesia. Amanda adalah wanita yang sejak lama membawa Ananta pada mimpi-mimpi indah tidurnya. Tak ada yang mengetahui bahwa sebenarnya Ananta mencintai Amanda, bahkan Inneke hanya dijadikan Ananta sebagai pelarian saat Amanda tak memfokuskan diri padanya. Bukan hanya Inneke, Ananta membuat teman-teman wanitanya berharap berlebihan padanya. Mengharapkan cinta dan kasih sayang darinya. Inneke hanya satu dari banyaknya wanita yang terlihat dicintai Ananta. Padahal, hanya Amanda yang menghuni hatinya, pikiran dan jiwanya. Ananta terpaksa memperalat orang-orang seperti Inneke untuk merebut hati Amanda.
 
Terdengar jahat, memang. Tapi, bukankah kita menjadi gila untuk orang yang kita cinta? Melakukan apapun untuk membuatnya nyaman dan berada di pelukan. Cinta memang jahat, cinta bisa mengubah manusia menjadi kesetanan. Ananta adalah contoh dari orang-orang yang merasa terluka, padahal dialah yang telah melukai hati banyak orang. Kita tahu, selalu ada konsekuensi bagi orang-orang yang bermain-main dengan cinta.
 
Ananta menunggu di depan Anne Frank Huis, diantara keramaian dan antrean turis-turis. Menunggu adalah bagian dari hidupnya, soal ini dia tak pernah mengeluh. Baginya, menunggu adalah seni mencintai. Orang-orang yang menunggu tahu betul untuk apa mereka melakukan itu, untuk siapa dan mengapa mereka harus menunggu. Bagi Ananta, Amanda adalah alasan besar baginya untuk menunggu bahkan sejak setahun yang lalu.
 
Tak lama Ananta menunggu. Kurang dari satu jam, matanya tertumbuk pada seorang wanita dengan blus putih dan jeans biru muda yang sobek di bagian lutut. Sepatu Oxford berwarna cokelat muda membuat senyum Ananta mengembang setelah melihatnya.
 
“Ayo,” Amanda tersenyum, menarik tangan Ananta
“Looh, mau kemana?? Kita kesini, kan??” Ananta menunjuk Anne Frank Huis.
“Udah ikut aja,” Amanda menggandeng tangan Ananta.

 

Ananta tersenyum, melirik genggaman tangan Amanda. Jari-jari mereka saling melengkapi. Raut muka sumringah menghiasi langit-langit Amsterdam siang itu. Bahkan dinginnya yang mencapai 13oC justru terasa hangat. Tak ada percakapan selama perjalanan, Ananta tak pernah sedekat ini sebelumnya, dia tak ingin merusak suasana.

 

Beberapa menit jalan kaki, mereka berdua sampai pada satu rumah bergaya eropa dengan pintu berwarna hitam dan lonceng natal yang masih menggantung di bagian tengah daun pintu. Amanda melepas genggamannya, mengambil kunci pada saku kanan celananya lalu membuka pintu. Belum selesai Ananta bertanya tentang rumah itu, Amanda menarik tangan Ananta, lalu menutup pintu, menyandarkan tubuh Ananta pada pintu—mencium bibirnya. Tangan Amanda meraih kunci, memutarnya, mengunci pintu setelah dua kali tekanan.

 

Seperti sepasang kekasih yang sudah lama tak bertemu. Ciuman itu terasa keras sama sekali tak menggoda. Ananta mencoba menguasai suasana, mengubah ritme ciuman Amanda yang terburu-buru. Ananta menciumnya lembut, tidak tergesa-gesa, Amanda melingkarkan tangannya pada leher Ananta. Amanda memainkan bibirnya, menggigit bibir Ananta. Lidah mereka saling memagut, bersentuhan dengan lembut. Amanda melepas sepatunya dan melemparkannya sembarangan. Ananta membuka kancing blus Amanda dengan cepat, tangan Amanda membuka resleting Ananta lalu masuk dan mengelus lembut.
 
Amanda menarik blus setelah Ananta membuka semua kancingnya. Ananta membuka Jas dan menarik dasinya kasar. Ciuman itu masih berlangsung dan semakin keras. Kedua tangan Ananta berusaha melepas kait bra putih yang dipakai Amanda. Setelah Bra Amanda lepas, Ananta mengangkat tubuh Amanda, membuat kaki Amanda melingkar pada pinggangya. Ananta menopang tubuh Amanda dari bawah, Amanda melingkarkan tangannya pada leher Ananta, sekali lagi.

 

Ananta membawa tubuh Amanda menuju sofa ruang tamu rumah itu. Membaringkan tubuh Amanda pada sofa cokelat. Ananta melepas ciumannya, lalu mencium leher Amanda lembut dan tak tergesa-gesa. Deru nafas Ananta membuat feromon Amanda naik dan memuncak. Ciumannya terus menyusuri tubuh Amanda yang putih langsat, hingga dada, Ananta menggigit puting Amanda, membuatnya merintih. Ananta bangkit, melepas kemejanya, lalu kembali menyusuri tubuh Amanda, hingga perut dan pusar. Tangannya melepas kancing jeans Amanda, lalu menurunkannya tepat pada lutut Amanda. Mata Amanda terpejam, suaranya merintih saat bibir Ananta mulai menyentuh rambut kemaluannya.

 

Satu jam setelah kenikmatan itu. Mereka yang berbaring bersama di kagetkan oleh suara ponsel masing-masing. Inneke mengirimkan pesan, berupa foto nomor kamarnya. Ananta menghiraukan pesan itu. Menatap Amanda yang menerima panggilan masuk dalam keadaan telanjang.
 
“Siapa??” Suara Ananta pelan, menggoda.
“Pakai bajumu,” Amanda melemparkan setelan jas Ananta.
“Aku masih punya banyak waktu, sayang,” Ananta bangkit dari tidurnya, duduk, memandangi Amanda yang mulai mengenakan bajunya.
“Ada yang mau datang.”
“Siapa??”
“Cepat pakai bajumu.”

 

Ananta memakai setelan jasnya, rapi seperti semula. Lalu duduk santai, menyalakan TV. Amanda membawakan satu gelas champagne untuk Ananta, duduk disampingnya. Seakan teringat sesuatu, Amanda bangkit menuju pintu, membuka kunci lalu kembali duduk disamping Ananta, melipat tangan di dada. Ananta mencoba menggoda Amanda, menciumi lehernya. Tapi, Amanda menghindar.

 

Suara hentak kaki terdengar, Amanda bangkit dan menuju pintu. Seorang pria bule dengan jenggot yang lebat dengan topi fedora dan mantel cokelat yang menutupi badan hingga ke lutut membuka pintu, memberi salam dalam bahasa Belanda. Pria itu mencium bibir Amanda singkat. Ananta bisa melihatnya dari tempatnya duduk. Ananta bangkit menyapa dalam perasaan bingung. Amanda dan pria itu berbicara dalam bahasa belanda. Amanda memperkenalkan pria itu pada Ananta yang bersiap menjabat tangan.

 

“Marco,” Suara Pria itu berat dalam logat Belanda.
“Ananta.”
“Ini suamiku, Nan,” Amanda tersenyum.

 

Tiba-tiba Ananta merasa tuli, pendengarannya terganggu, ada suara-suara seperti siaran TV tanpa antena—mengganggu telinganya. Ananta Tak bisa mendengar percakapan Marco dan Amanda setelahnya. Mereka bertiga duduk dalam sofa yang sama. Ananta melihat kemesraan antara Marco dan Amanda, meskipun matanya berusaha tertuju pada siaran TV. Ananta tak mengerti pembicaraan mereka dalam bahasa Belanda.

 

Dalam kecanggungan yang merajai tubuh Ananta. Dia memutuskan untuk berpamitan. Amanda dan Marco menyambutnya antusias, tidak banyak bertanya alasan kenapa Ananta buru- buru pergi. Lagi-lagi Ananta merasa bingung. 130C di Amsterdam jadi terasa dingin. Tak ada lagi kehangatan dari Amanda. Suhu benar-benar membuat Ananta membeku—dingin. Ananta berjalan kaki menuju Anne Frank Huis, sesampainya disana Ananta menaiki taksi yang kebetulan lewat, pergi menuju Bandara.

 

Di ruang tunggu bandara rindu bercecarn jatuh, Tangis Ananta tak terlihat. Tapi, hatinya terpukul. Ananta berulang kali memukul kepalanya, merasa bodoh dan dibodohi. Pikirannya kacau. Berulang kali dia melihat ponselnya, mengecek aplikasi keberangkatan pesawat. Tak ada jadwal pesawat menuju Indonesia hari ini. Ananta semakin kacau-balau. Sekali lagi, Amsterdam memberikan luka yang sama persis satu tahun yang lalu. Ananta ingin cepat pulang. Jiwanya tak benar-benar berada bersamanya.

 

Sekali lagi dia melihat ponselnya, Ananta teringat sesuatu. Segera dia bergegas menuju YOTELAIR Amsterdam Schiphol. Hotel tempat Inneke menginap. Bertanya nomor kamar 119 pada resepsonis. Ananta menuju lift setelah mendapatkan informasi letak kamar. Jantungnya berdebar mencari nomor kamar. Sampai langkahnya terhenti melihat satu pintu bertuliskan angka 119 dengan lubang intip di bagian bawahnya, pintu berwarna cokelat itu terasa seperti pintu rumahnya. Ananta mengatur nafas sebelum mengetuk pintu. Tangan kanannya mulai menggenggam, hampir menyentuh daun pintu. Belum juga Ananta mengetuk, pintu itu pelan terbuka.   

 

Inneke menatap Ananta, dalam jeda itu kedua mata mereka bertemu. Nafas Ananta mulai terkendali, Senyum Inneke mengembang, satu matanya berkedip, dengan cepat Inneke menarik tangan Ananta lalu menutup pintu.

 

-----
Tags

About The Author

Zahid Paningrome 37
Ordinary

Zahid Paningrome

Creative Writer
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel