Ukiran Senyum (Love)

3 Oct 2016 23:35 3166 Hits 0 Comments

Tentang cerita Sosok Lelaki yang memberikan ukiran senyum kepada pelita hatinya. Meski harus disuguhkan pilihan yang menjauhkan darinya. "Tetaplah di sampingku!" _ Baiq Cynthia

 

Ukiran Senyum

Oleh: Baiq Cynthia

Rasanya baru kemarin aku mendekati perempuan berjilbab besar yang menggelora jiwa. Anggun dan lembut. Hingga memiliki niatan menjadi imam untuknya dan anak yang kelak dilahirkan. Terbesit rasa syukur mendalam tentang sosok wanita idaman, sholehah, cantik dan tutur kata nan santun. Walau akad nikah harus diulang dua kali. Karena kesalahan menyebut nama panjangnya. Tapi, tetap gigih rasanya mengeluarkan sumpah yang merupakan janjiku kepada Ilahi.

Tak terasa usia pernikahan sudah berjalan 6 tahun 10 bulan. Kusentuh figura kami yang tergeletak di ruang kerja. Mengelus wajahnya yang menawan. Hingga kudekap walau sekedar benda mungil.

Rintangan hidup mewarnai mahligai rumah tangga yang telah lama tak ada tangisan bayi atau teriakan anak-anak. Bersyukur orangtuaku mengerti, tetap menyayangi menantu satu-satunya yang amat kusayangi.

"Tok ... tok ... tok .... Permisi, Pak!"

"Silahkan masuk!" sembari menaruh figura di tempat semula.

"Pak Zul! Saya ingin meminta izin cuti seminggu," keningku berkerut mendengarkan ucapan pemuda di depanku.

"Begini pak! Istri saya hamil tua. Menurut prediksi dokter, minggu terakhir si calon bayi akan lahir, untuk itu saya ingin mohon izin," kepalanya terlihat menunduk.

"Oh begitu. Selamat ya, Pak Marwan! Sebentar lagi akan menjadi seorang Ayah."

"Terima kasih, Pak. Alhamdulillah. Bapak baik sekali!" senyumnya kini mengembang.

"Ah iya! Sama-sama."

Kini punggungnya hilang di balik pintu. Sementara aku sedang merindukan rumah. Sesampai rumah lampu teras sudah hidup pun taman telah bersih. Bergegas masuk ke rumah, baru saja akan mengetuk pintu. Ternyata, sudah dibuka oleh wanita yang selalu mengisi hari hariku.

"Wa'alaikumsalam, Mas! Baru pulang, sini tasnya!" Tangannya langsung mengambil tasku tanpa diminta. Tak pernah lupa mencium punggung tanganku.

"Iya sayang," bibir ini menyungging kembali.

Sholat Isya sudah tertunaikan, walau hanya berdua rasanya hatiku damai saat makan malam bersamanya. Aku tak tinggal dengan keluarga, mandiri demi mencari kenyaman sendiri.

"Dik, masakanmu enak sekali!" Tanganku tak henti hentinya menyuapkan nasi dan lauk ke dalam mulut.

"Alhamdulillah, kalau Mas suka!" Kini matanya berbinar sumringan sesaat.

"Dik! Besok temani aku belanja, ya?" pintaku sambil menggenggam tangannya yang bersih.

"Apapun akan aku lakukan, untuk Kakanda tercinta," pipinya memerah.

***

Berjalan beriringan membuatku serasa pengantin muda, baru saja memarkir mobil di sekitar bangunan megah penuh sesak oleh orang belanja pakaian dan benda lainnya. Nanar matanya senduh walau ada guratan kecil yang membuatku ikut sedih. Bayangan pupilnya menuju pada balita yang asyik bermain di bak penuh bola. Menggenggam tangannya yang dingin membuat puncak kepalanya menoleh kepadaku, tersenyum kecil. Tanganku menunjuk pada perlengkapan bayi.

"Buat apa?" selidiknya penuh tanda tanya.

"Untuk pak Marwan, kita berikan saat bayinya telah lahir."

Aku tak pandai belanja, hadiah apa yang harus kubeli, ada kereta bayi, box bayi, selimut, pampers, perlengkapan mandi, baju-baju mungil yang penuh warna atau sepatu bayi. Mana mungkin bayi memakai sepatu. Bahkan ukuran balita pun terasa besar di kaki mungilnya. Terkadang aku harus bertukar pikiran dengan wanita tersayang.

"Mas! Ngelamun, ya?" ledeknya.

"Bingung mau ngasih yang mana. Lihatlah! Itu mobil-mobilan mini!" pekikku.

"Haha ... Bayi mana bisa pegang, Mas!"

Senang rasanya melihat tawa gurih sahabat hidupku sebagai lelaki dewasa pun tahu itu tak akan bisa digunakan bayi yang belum bisa membuka matanya. Rasa kepuasan tersendiri melihatnya ceria. Tak peduli orang di sekitar yang melihatku sedikit aneh sore itu. Pulang kerja lebih awal untuk menikmati momen baru.

Setelah dirasa cukup membeli belanja bayi, kubiarkan istriku belanja sehari-hari. Kakiku terasa pegal jadi aku mengajaknya istirahat di stand makanan terdekat. Ternyata istriku tak banyak berubah, tetap saja menolak ditraktir membeli makanan atau es. Alasannya hemat. Makan dan minum kan kebutuhan. Logika perempuan tak bisa kupahami. Namun, saat aku tawarkan jus lemon. Langsung saja diminum bahkan belum sempat minum banyak perutku terasa geli. Ingin berkata, katanya hemat, punya suami diembat! Tapi kubiarkan saja mengendap dalam dada.

Sudah menjelang magrib sholat berjamaah dilaksanakan di masjid terdekat dari Mall.

***

Dering nada pesan menyelinap dalam gendang telinga. Ternyata dari pak Marwan. Hari ini berita gembira untuknya tak sabar mengajak bidadari Surga di rumah menjenguk istri Marwan. Melepas kerinduan akan tangisan bayi, Ibu pernah bilang, jika ingin cepat punya anak sering-sering menggendong bayi baru lahir. Entah itu mitos atau nyata. Tapi niatku hanya sekedar membahagiakan karyawan yang rajin dan setia menemani 6 tahun lalu.

Tak mudah merintis usaha dari nol. Awal menikah masih menganggur walaupun sudah wisuda. Banyak kabar burung yang menghampiri keluarga kecil yang kupimpin.

"Mas, Zul! Disini," sapa Marwan yang berada 5 meter dari langkah kaki kami yang bergantian berpijak.

"Ayo Haidah, kita masuk!" ajakku sambil merangkul pinggangnya.

Istrinya belum sadar, namun bayi mungil terus aktif bergerak di box bayi. Haidah sangat cekatan mengambil secara perlahan. Mendekap seperti anaknya sendiri. Aku baru saja meletakkan bingkisan untuk Marwan. Nampaknya Marwan tidak keberatan bayinya dipinjam beberapa saat. Tanganku mencolek hidungnya yang bangir tapi hidungnya masih kecil.

Haidah terlihat cocok menjadi seorang Ibu yang begitu menyayangi bayi, meski bukan anaknya. Tiba tiba istri Marwan siuman, lantas menjerit histeris.

"Itu anakku, mau dicuri Pak!" sambil berusaha bangun namun tak mampu.

"Hei, perempuan! Kau mandul, ya? Kok bisa-bisanya gendong anakku," dengan langkah mantap Marwan menenangkan dan memberi isyarat untuk diam.

Haidah terasa tersinggung hingga langsung membawa bayi kepada ibunya. Aku sedikit berdeham dan mengajak Haidah pulang sembari pamit kepada Marwan. Bibir Haidah terasa pucat kontras dengan jilbab jingga yang dikenakan.

"Kau baik-baik saja, Istriku?" selidikku dengan penuh hati-hati.

Haidah hanya mengagguk kecil berusaha tersenyum walau sorot matanya redup. Berjalan di koridor gedung bernuansa putih, beraroma obat-obatan. Sampai mataku tercekal oleh poster berukuran 50cmx50m, berisi program baby secret. Kakiku terhenti. Haidah ikut-ikutan mengerem mendadak dengan sepatunya.

Mataku berbinar penuh harapan semoga ini memang jalannya. Tanpa ragu, langsung memasuki ruangan dokter yang membidani program tersebut. Tanpa basa-basi setelah dipersilahkan aku menceritakan keluhan yang kami alami.

"Sesungguhnya setiap permasalahan ada jalannya, Anda beruntung bisa hadir di sini."

"Tapi masih ada kemungkinan kan, Dok? Sebab kami telah berkumpul hampir tujuh tahun tapi belum diberi titipan oleh Allah."

"Insyaallah, Pak! Allah pernah berjanji dalam kitab suci yang penuh berkah. Bahwa kita tak boleh putus asa. Sesudah kesulitan pasti ada kemudahan! Yakin dan ikhtiar saja!" imbuhnya panjang lebar.

Menoleh kepada Haidah, kita harus mengikuti program ini. Walaupun sebelumnya telah banyak program yang diikuti tapi belum kunjung mendapatkan hasil. Dokter dihadapan kami hanya memberikan selembar kertas dan coretan kecil yang harus kami jalani selama program.

Wajah sumringah Haidah menyejukkan kalbu. Hampir sepekan kami melakukan saran dari dokter pun check-up, belum menunjukkan tanda-tanda. Hingga suatu malam aku tertidur saat mengerjakan proyek. Kira-kira pukul setengah 3 saat membuka mata, istriku tertidur di sofa. Berjalan ke arahnya sembari mengelus-elus kepalanya. kubisikkan namanya, kini kelopaknya bergerak dan tersenyum.

"Iya mas?"

"Sholat tahajjud yuuk!"

Tentu jawabannya setuju denganku. Tangan diangkat, kepala tertunduk telah lama tak menghampiri pencipta langit dan bumi penguasa alam semesta.

Aku malu, hingga tak terasa bulir benir membuat parit di pipi. Kuhapus segera. Tak ingin Haidah melihatnya.

"Mas ..." suaranya parau menggetarkan jiwa.

Sedikit menoleh, membalikkan badan. Kupeluk raganya yang kini terlihat semakin kurus dari sebelumnya. Matanya berair, seakan inginkan aku selalu bersamanya. Aku tak tahu, apa mungkin ucapan istri Marwan yang menggores hati atau diam-diam Ibuku memakinya atau gossip tetangga saat berbelanja. Haidah tak pernah bercerita yang buruk kepadaku atau mengadu yang membuatku naik pitam. Iya! aku bisa marah kalau pelita hatiku disakiti.

"Adindaku kau tak apa-apa, kan?"

Haida mengagguk, tapi menyodorkan handphonenya, yang tertera pesan dari Ibuku. Baru saja aku menduga entah kenapa benar.

"Haida, lebih baik kau suruh suamimu menikah lagi! Aku sudah lama tak menggendong cucu."

Semakin erat kurangkul aku tak inginkan wanita lain. Walaupun ibu yang menghadirkanku, mendesak. Aku masih bisa mengadopsi anak! Iya, tapi siapa yang rela memberikan anaknya kepada orang lain? Setelah nyawa taruhannya dengan susah payah dikorbankan.

"Mas!" lamunanku lenyap.

"Aku tak mengapa jika engkau menginginkan wanita lain hadir di keluarga ini. Aku tak patut egois untuk memilikimu. Ridho orang tua itu penting," suaranya patah-patah setengah terisak.

Telunjuk kini menempel atas bibirnya. Kukecup keningnya yang sedikit demam. Kurasakan denyutan nadi begitu tegang.

"Tidak, sayang! Cukup satu dirimu, dunia tak berarti apapun anak bisa diadopsi, kebahagiaan susah dicari. Kaulah ratu hatiku."

Senyumnya mulai mengembang terasa sejuk di dada.

***

Kupikir saat makan tadi pagi istriku mual dan muntah karena hamil. Ternyata, negatif kata dokter. Tak henti-hentinya dokter memberi dukungan kepada kami. Hingga senja minggu ke delapan dari program, pulang kantor aku dapati Haidah yang biasanya membuka pintu. Tapi tak ada. Saat mendorong pintu kayu. Ini diluar dugaan. Istriku tergeletak di lantai sementara tangannya menggenggam erat Al-Quran kecil terjemahan.

Tergopoh-gopoh, kuletakkan tas sembarang tempat. Bergegas memindahkan ke sofa terdekat. Langsung kuhubungi dokter yang biasanya datang ke rumah selama program.

"Bu dokter bisa tolong ke rumah sekarang? Istri saya pingsan tubuhnya demam.

Jawaban di ujung sana iya menuju kediaman. Beberapa menit kemudian dengan kotak perlengkapannya langsung memeriksa denyut jantungnya pun thermometer diselipkan di ketiaknya. Sedikit bantuan suster membuka hijabnya sambil memberikan plester penurun demam. Kakiku berjalan tak ubahnya setrika hingga keringat mencucur padahal pendingin ruangan menyala.

"Mohon maaf, Pak!" kini suara dokter mengagetkan.

"Iya," jawabku gugup.

"Istri bapak tidak mengalami gejala serius, tapi ...."

"Tapi apa dokter?" Aku sedikit teriak.

"Begini Pak, ini sulit dijelaskan dalam ilmu kedokteran tapi hanya Allah yang maha Kuasa."Dokter ini sedikit membuatku kesal sambil menggigit bibir, dadaku naik-turun mendengarkan penuturannya. Rasanya seperti dipanggang di oven.

"Alhamdulillah, istri bapak mengandung."

"Subhanallah!" spontan sujud syukur. Bulir bening kini mengembun di ujungnya mengalir tanpa komando.

"Sebentar lagi akan siuman," jelasnya,

Aku tak mendengarkan suaranya yang samar-samar hanya aku sadar detik kemudian terima kasih dokter! Sembari mengantar ke gerbang halaman.

Seindah indahnya perencana hanya Allah yang mampu merencanakan kejadian di muka bumi. Milik Allah lah kerajaan langit dan bumi, dia menciptakan apa yang dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang dia kehendaki dan memberikan anak laki laki kepada siapa yang dia kehendaki. Dia menganugrahkan jenis laki laki dan perempuan dan menjadikan mandul siapa yang dia kehendaki dia maha Mengetahui, Maha Kuasa.1  Aku menutup Al Quran yang tadi dipegang oleh Haidah firman Allah begitu nyata sekarang.

 


1Asy Syura (42: 49, 50)


Untuk mengkontaknya bisa melalui ->www.facebook.com/baiqcynthia.alimran

Tags

About The Author

Baiq Cynthia 24
Novice

Baiq Cynthia

Just wanna to be inspirator to everyone. autor, content writer, blogger. contact me : baiq_cynthia@yahoo.com
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel