Rindu dalam cangkir kopi

1 Oct 2016 00:15 3940 Hits 1 Comments
Cerpen
Sudah setahun aku tak bertemu kamu. Rasanya memang tak ada bedanya.  Kesadaran datang terlambat. Aku memilih untuk tetap menaruh kamu di kedalamanku. Menolak semua yang datang. Mengusir semua yang memilih menetap. Aku bukan pelari yang kuat mengejarmu hingga tetes keringat menjelma banjir di tubuh. Aku hanya perlu menjadi bagian dari waktu, yang bisa kapanpun menyelami setiap menit dan detik, kembali ke masa itu. Saat percakapan mempertemukan kita dalam secangkir kopidengan kesadaran penuh bahagia.
 
Kopi menjadi medium bagi orang-orang yang mencari pelarian. Juga menjadi bagian sejarah dalam Revolusi Perancis di tahun 1789 dan Perang Aceh saat dipimpin Cut Nyak Dhien. Kopi menjadi medium bagi prajurit membicarakan strategi dan taktik perang. Warung-warung kopi disulap menjadi tempat rapat dan berdiskusi. Tidak ada satupun penjajah yang mengetahui taktik ini. Para Prajurit akan menyamar menjadi pengunjung saat musuh mampir untuk menikmati secangkir kopi. Kopi juga menjadi alasan dimana aku dan kamu dipertemukan.
 
Aku ingat pertemuan pertama kita di kafe itu. Saat seorang pelayan meneriakkan Kopi Menoreh yang sama-sama kita pesan. Basa-basi menggiring kita dalam meja yang sama. Satu jam berjalan, kita bicara banyak soal selera musik.
 
“Suka musik apa?” Tanyaku serius.
 
“Relatif, tapi aku paling suka musik jazz,” Jawabmu, menghirup aroma Kopi Menoreh.
 
“Louis Amstrong?”
 
“Iyaaa, tapi aku paling suka Jimy Rushing,” Katamu, menambahi.
 
“Really? Jimy Rushing? Kita sama berarti.”
 
“Aku masih sering lihat perfomancenya di youtube, waktu dia duet sama Dizzie Gillespie Quintet,” Katamu, setelah meminum kopi.
 
“Aku tahu! Blues After Dark kan?”
 
“Iyaaa! Perancis 1959.”
 
“Kalo, Billie Holiday?” Tanyaku.
 
“Gloomy Sunday!!” Seru kita berdua, membuat pengunjung lain merasa terganggu.
 
“Lagu pengiring tidur,” Bisikku.
 
Dua jam dalam meja yang sama, kita mulai berani mengenal satu sama lain, saling memuji. Kamu memujiku sebagai contoh pria yang asik diajak ngobrol. Kita juga bicara soal buku, film, pandangan politik dan kecintaanmu terhadap kopi.
 
“Udah berapa Kopi yang kamu coba disini??” Tanyamu.
 
“Aku baru pertama kali kesini.”
 
“Ohgitu... Tahu tempat ini dari??” Katamu, mengecap sendok sisa kopi.
 
“Ada... satu teman. Dia juga suka banget ngopi.”
 
“Aku sering banget kesini... Ya, bisa seminggu tiga kali lah.”
 
“Ohiya?? Penikmat kopi sejati dong. Paling suka kopi apa??” Tanyaku.
 
“Waduh, itu pertanyaan susah,” Senyummu diakhir kalimat.
 
“Loh, kenapa emang??”
 
“Nggak ada Kopi Indonesia yang nggak enak. Semuanya enak,” Katamu antusias.
 
“Kalau yang sering kamu minum?”
 
“Mandailing, Yellow Caturra, sama ini,” Katamu sembari meminum Kopi Menoreh
 
“Apa spesialnya tiga kopi itu??” Tanyaku serius.
 
“Mandailling itu creamy, Yellow Caturra bikin rileks.”
 
“Kalau Menoreh??”
 
“Aku suka aromanya... Kalau mau, aku bisa ajak kamu ke perkebunan Menoreh di Kulon Progo,” Katamu menawari.
 
Obrolan kita hari itu, membuat kita lupa waktu. Sudah enam jam berjalan, hari sudah gelap. Kamu memutuskan untuk pulang. Kita keluar dari kafe itu berdua. Saat sampai di depan tempat mobilmu parkir. Kamu memberikan ponselmu, memintaku mengisi nomor handphoneku. Setelahnya kamu mengecup pipiku, lalu pergi meninggalkanku yang senyum-senyum sendiri.
 
-----
 
Sembilan Juli. Hari ulang tahunmu. Tiga bulan setelah kita bertemu. Lewat tengah malam, kamu mengajakku pergi menikmati kopi yang dijual di pinggir jalan dekat rumahmu. Warung kopi langganan selain kafe tempat kita bertemu dulu. Warung kopi dengan tenda terpal warna biru, tempat kita menepi dari hiruk-pikuk Ibu Kota. Tak cukup satu cangkir, obrolan kita tak pernah berhenti pada satu cangkir kopi tubruk buatan mas-mas warung kopi. Aku suka melihat tawamu yang pecah membentur kayu-kayu gerobak warung itu. Saat kamu membicarakan lelucon yang tak sama sekali lucu.
 
“Kenapa Superman celana dalamnya merah??” Tanyamu, menirukan preman-preman kampung yang sering mabuk di pos kamling dekat rumahmu.
 
“Kenapa tuh??” Tanyaku, sembari menyeruput kopi.
 
“Karena nggak pake pembalut,” Tawamu diikuti tawa mas-mas warung kopi yang terdengar aneh.
 
Setelah empat cangkir habis, kamu mengajakku ke rumahmu. Aku suka ketika manjamu kambuh. Aku melihat dirimu apa adanya. Saat kamu tak sungkan menggandeng tanganku. Saat kamu menghiraukangodaan mas-mas warung kopi dan genk-genk motor yang nongkrong di ujung gang rumahmu. Aku suka kamu. Bahkan saat kamu tak memikirkan soal itu. Aku juga suka saat sisi romantismu muncul.
 
“Aku suka saat kamu mengelus rambutku,” Katamu, dalam perjalanan ke rumahmu.
 
“Aku suka saat kamu menggandeng tanganku,” Balasku.
 
“Aku suka saat kamu mengelus punggung tanganku dengan ibu jarimu,” Katamu, menatapku.
 
“Aku suka saat kamu menciumku,” Jawabku, membalas tatapanmu.
 
“Mau??” Katamu, menantangku. Senyum kita bertemu. Senyum malu tapi mau.
 
Rumahmu juga rumahku, katamu. Meskipun kamu tinggal sendiri, kamu tak pernah lupa mengabari keluargamu yang menolak hubungan kita. Kamu adalah manusia paling kuat yang pernah kutemui. Aku bahagia memilikimu. Tidak pernah ada kebohongan diantara kita. Idealisme kita sama, mencintai dengan sadar tanpa curiga dan kecemburuan. Kita sama-sama tak mau kedua hal itu jadi racun hubungan kita. Rasa cemburu bukanlah tanda kecintaan. Rasa cemburu adalah tanda ketidakpercayaan.
 
Hari itu, tepat pukul tiga kamu menarik tanganku, membawaku ke dalam kamarmu. Kamu menggodaku sebelum pintu terbuka. Kamu membawaku masuk bersama imaji dalam kepala. Saat itu, kita tidak bisa bohong, dunia benar-benar milik kita berdua. Kamu melepas bajuku tepat ketika pintu kamar tertutup, bersama ciuman yang terburu, kamu membantuku membuka jeansku. Dalam sekejap kita sudah telanjang. Kita saling menatap, mengagumi masing-masing, lalu bersama merebahkan tubuh di kasur kamarmu.
 
“Aku mencintaimu, sayang. Kamu satu-satunya pria yang aku cintai di hidupku,” Nafasmu memburu diantara keringat yang membasahi tubuh.
 
“Kado ulang tahunmu,” Kataku.
-----
            Setahun mengenal, aku semakin mencintaimu, meskipun keluarga menentang hubungan kita. Tanpamu, aku seperti menyelami lautan tua tanpa nelayan, seperti menatap awan yang mengambang. Malam itu  kamu mengajakku ke Taman Kota, tempat biasa kita melepas rindu selain di warung kopi langgananmu dan kafe tempat pertama kita bertemu.  Dibawah lampu taman dan romantisnya udara malam itu kamu berkata:
 
“Aku ingin hidup tua di pikiran dan hatimu,” Lalu kita duduk di bangku taman yang berdecit,
 
“Bisakah secangkir kopi mengobati rindumu??” Katamu, membaringkan kepala dipundakku.
 
“Rindu tak pernah sampai tepat waktu. Tapi kopi... Kopi selalu ada di waktu yang tepat.
Menghangatkan tubuh yaang lelah, melepas rindu yang merebah,” Jawabku, mencium keningmu.
 
“Berapa lama lagi kita harus menunggu??” Tanyamu.
 
“Menunggu adalah situasi paling ambigu.”
 
“Lalu??” Tanyamu, melingkarkan tangan di perutku.
 
“Rinduku tak mengenal kata menunggu. Rinduku adalah kamu,” Jawabku.
 
Kamu bangkit dari pundakku. Menatapku diujung kata itu. Senyumanmu adalah surga kecil bagiku. Aku bisa merasakan nafasmu yang menyentuh bibirku. Jantung kita berdegup seirama. Keringat dingin mulai jatuh dari keningmu. Tatapan itu berlangsung lama. Kamu seperti memberi pesan untukku.
 
“Maaf,” Katamu memelas.
 
“Kenapa??” Tanyaku lembut.
 
“Aku nggak bisa nunggu lebih lama lagi. Aku harus terima lamaran itu. Aku nggak mau orang-orang membicarakan kita lagi. Aku mau hidup tenang, nyaman tanpa beban moral,” Tangismu pecah di taman itu. Keningku beradu mendengar ucapanmu.
 
 “Maaf... Kita bukan garis yang ditakdirkan bertemu.”
 
Dalam dinginnya malam, kamu meninggalkanku bersama keheningan yang merajai tubuh. Ketakutanku tiba. Aku telah kehilanganmu.
 
-----
 
Dalam secangkir kopi rinduku menjelma tangis yang menderu. Rasa pahit yang mengecap di pinggir cangkir terpaksa kucium. Aku tahu hitamnya kopi tak akan pernah mengembalikanmu. Seperti perasaan yang entah mengarah kemana. Rinduku terbentur pekatnya kopi. Bukan soal latte art, kita tahu kopi tubruk adalah kita,  kesederhanaan. Orang-orang akan terpikat ketika mengenalnya lebih dalam. Kopi tubruk bukan perkara kemudahan, kedahsyatannya ada. Aromanya memikat. Seperti kamu.
 
Aku rindu secangkir kopi yang kita minum berdua. Rindu senyumanmu sore itu. Rindu setiap kata yang keluar dari bibirmu. Bibir yang pernah merasakan keringat di keningku, juga yang pernah merasakan lembutnya bibirku. Aku tahu perkara ini tidak mudah, melepaskanmu, merelakanmu disaat cinta telah lama menetap. Aku rindu menatapmu, aku rindu larut dalam pelukan hangatmu yang tetap terasa bahkan saat kamu tak ada.
 
19 Juli. Hari pernikahanmu, juga hari ulang tahunku ke-27, sebuah dilema bagiku. Aku masih percaya kamu terpaksa menerima lamaran itu. Desakan keluargamu tak bisa ditolak. Aku percaya kamu masih mencintaiku. Aku juga tahu, aku tamu yang paling kamu tunggu.
 
Kamu memang beda, hidangan di pernikahanmu malam ini juga tak biasa, tiga jenis kopi favoritmu berada dalam satu meja yang sama. Mandailing, Yellow  Caturra dan Menoreh. Aku bahkan tak lupa janjimu, mengajakku ke Perkebunan Kopi Menoreh di Kulon Progo.
 
Aku terus menatapmu yang berdiri di pelaminan dengan dekorasi serba putih, warna kesukaanmu.Senyummu masih begitu hangat saat menatapku. Beberapa menit aku menunggu antrian orang-orang yang memberimu selamat. Kakiku ikut bergerak menuju pelaminan. Jantungku berdegup cepat, keringat dingin mulai membasahi kening. Aku menyalamimu lalu berbisik diantara kebisingan tamu undangan.
 
“Istrimu cantik sekali.”
 
Kita tertawa melihat tuxedo yang kita pakai datang dari desainer yang sama. Katamu, pakaian adalah bentuk manipulasi pertahanan diri.
 
[END]
Tags

About The Author

Zahid Paningrome 37
Ordinary

Zahid Paningrome

Creative Writer
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel