#ATHIRAH adalah bentuk kelembutan dari seorang sutradara. Riri Riza berhasil menyampaikan energi positif kepada penonton melalui film yang lembut dan lugas, tidak basa-basi. #ATHIRAH menyusun gambarnya secara acak, tanpa ikatan yang kuat. Garis besar film disampaikan hanya dalam beberapa scene. Membuat kemungkinan adanya penonton yang bosan ditengah film. Tapi, tidak bagi saya. Film ini sadar betul bahwa adanya kemungkinan rasa bosan saat menonton, hal itu ditutupi dengan menyisipkan musik-musik otentik yang ditempatkan pada adegan transisi & stock shoot yang indah dan efektif.
Â
Jelas Riri Riza & Miles Film jago membuat setting ditahun sekitar 50 hingga 60an. Kita tidak lupa film Gie, Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi yang juga punya Setting tempo dulu. Ruh itu terjadi di #ATHIRAH penggambaran setting yang sangat real membuat artistik film ini sangat meyakinkan. Tanpa menyalahi struktur tiga babak (awal, isi, akhir) #ATHIRAH seperti kapal yang berlayar dari satu perlabuhan ke pelabuhan yang lain. Pelan, lembut tapi lugas dan mengerti arah.
Â
Film ini benar-benar menaruh Cut Mini sebagai nyawa utama. Tanpa berebut pencapaian peran terhadap tokoh yang lain. Terbukti dari porsi dialog yang lebih banyak, gesture & ekspresi yang lebih di eksplor. Christofer Nelwan yang menjadi UCU Remaja pun sengaja dibuat tidak terlalu banyak berbicara pada film ini. Menghindari disorientasi terhadap tokoh #ATHIRAH yang juga dipampang sebagai judul filmnya.
Â
Jelas ada resiko besar bagi Produser untuk memutuskan mengangkat #ATHIRAH yang diangkat dari novel karya Alberthine Endah naik ke layar lebar. Isu yang diangkat #ATHIRAH secara cerita adalah isu yang universal. Bahkan hingga kini hal-hal itu masih terjadi. Film ini benar-benar memfokuskan diri pada sosok #ATHIRAH yang rapuh dan sakit hati tapi mencoba untuk kuat dan bangkit. Kisah cinta UCU juga disampaikan benar-benar sangat tegas dan lugas, tanpa basa-basi. Ini yang saya suka. Saya tidak perlu membagi fokus saya pada lebih dari satu objek film.
Suara Nelwan yang menjadi prolog atau pengantar film sungguh menggetarkan. Disampaikan dengan cukup singkat dan tentunya lugas juga tegas. Itu adalah awal dalam teori struktur tiga babak (awal, isi, akhir) Riri Riza cukup membuatnya seperti itu dan sekali lagi tanpa basa-basi. Film ini berisi kompleksitas tokoh #ATHIRAH yang satu per satu di bedah oleh Sang Sutradara. Caranya menahan kepedihan, menunjukkan amarah tanpa dialog dan menggoda suami dengan tampil cantik nan anggun dengan kedua anting yang memikat Sang Suami. Ini lucu sekaligus menggelitik, bagi saya. #ATHIRAH tetap dibumbui adegan kocak dengan bahasa gambar dari Riri Riza. Tanpa perlu kebanyakan dialog. Ini adalah bentuk kecerdasan dalam membuat film.
Â
Epilog atau akhir film ini juga lewat narasi suara tokoh UCU dewasa, yang "sialnya" suara tetap mirip dengan suara Nelwan dia narasi awal film. Hal ini membuat saya tersenyum dan berkata "sialan" dalam hati. Getaran suara, logat dan cara berbicara benar-benar persis. Padahal dari dua orang yang berbeda.
Â
Cara editing #ATHIRAH menunjukkan perasaan dan emosi tokoh-tokohnya. Contoh ketika UCU remaja membaca surat dari ibunya. Gambar dipotong tiga kali secara tegas hingga tokoh UCU memasukkan surat ke laci lalu menutupnya. Film ini padu dengan sangat baik. Sadar betul untuk tidak memaksakan durasi yang pada akhirnya akan merusak film itu sendiri.
Â
Saya sempat bertanya kenapa harus mengganti tokoh Ida & UCU saat dewasa, karena itu bisa mengganggu konsistensi film itu sendiri. Untungnya tokoh dewasa itu keluar hanya di akhir film tidak memakan waktu dan durasi. Sekali lagi disampaikan secara tegas dan lugas. Tanpa basa-basi.
Â
Terakhir. Menonton #ATHIRAH juga bisa membuat perut kita kenyang!!
Â
Sekian,
Terimaksih.
#BanggaFilmIndonesia
#ATHIRAH
Â