Antara Sepak Bola Anak-anak Kampung dan Iwan Fals

18 Sep 2016 19:19 4163 Hits 0 Comments
Dengan keterbatasan dan kendala yang dihadapi, anak-anak ini tetap asik memainkan si kulit bundar hampir setiap sore. Apalagi yang bisa mereka perbuat selain menerima saja jalanan kampung sebagai lapangan sekelas stadion San Siro atau sekaliber Wembley atau pada tingkat lokal seperti Gelora Bung Tomo, meski perbandingan ini cukup mengada-ada.

Menonton anak-anak bermain sepak bola di sore hari yang cerah di sebuah lapangan terbuka di halaman balai RW dekat tempat saya tinggal, mengingatkan saya pada lirik lagu Iwan Fals yang berjudul âMereka Ada Di Jalanâ. Dalam lagu tersebut dikisahkan beberapa kelompok anak bermain si kulit bundar di atas sebuah jalan yang belum jadi. Dengan perlengkapan seadanya seperti tiang gawang puing-puing yang dijadikan sebagai tempat untuk mencetak gol, berlari dan menendang tanpa menggunakan alas kaki, dan semangat anak-anak itu dalam memenangkan permainan telah menyedot perhatian penyanyi lagu berjudul âMereka Ada Di Jalanâ.

Gambaran yang dilukiskan oleh Iwan Fals dalam lagunya itu masih bisa ditemui meski lagu ini sendiri sudah dirilis sejak tahun 1992. Di jalan-jalan kampung di kota besar seperti Surabaya misalnya, sering ditemui pada sore hari sekelompok anak-anak tengah asyik memainkan si kulit bundar.

Jika diperhatikan sepak bola yang mereka mainkan memiliki keunikan tersendiri. Misalnya saja, untuk ukuran bidang permainan di jalanan kampung ini tidaklah menentu. Kadang lebar area permainan itu hanya 3-4 meter, dan lebar ini tidak bisa diganggu gugat dengan menambahkannya karena menyesuaikan ukuran jalan yang ada. Sedang panjang bisa berkisar antara 10-15 meter, tergantung kesepakatan anak-anak itu dan tergantung apakah di sepanjang jalan itu ada mobil yang diparkir atau tidak. Sebab jika ada mobil yang diparkir di situ, tentu mereka harus mengambil tempat yang agak jauh supaya tembakan dari kaki-kaki telanjang mereka tidak mengenai mobil.

Lucunya, dalam bidang permainan yang hanya selebar 3-4 meter, lebar itu hampir keseluruhannya menjadi gawang di ujung bidang permainan. Mistar gawang bayangan disusun dari tumpukan sandal. Sungguh hasil imajinasi anak-anak yang luar biasa. Dengan tumpukan sandal di kedua sisi itu mereka tidak hanya mengandaikan dua buah mistar gawang. Tetapi mereka juga mengandaikan mistar gawang yang menghubungkan kedua mistar gawang bayangan itu.

Mengenai tinggi dari si mistar gawang bayangan sangat tergantung dari postur pemain yang berperan menjadi penjaga gawang. Jika ada tendangan ke gawang yang melambung, keputusan gol atau tidak tergantung dari kesepakatan antar pemain apakah bola yang melewati gawang jauh dari jangkauan si penjaga gawang atau tidak. Jika sekiranya bola itu berada di atas jangkauan si penjaga gawang biasanya para pemain sepakat bahwa tembakan itu tidak gol alias melambung di atas mistar gawang. Tapi jika sekiranya bola yang lewat itu masih berada dalam jangkauan maka biasanya disepakati sebagai sebuah gol dan permainan kembali dilanjutkan di tengah lapangan yang garis tengahnya tidak sampai 10 meter itu.

Dan siapa saja bisa menjadi wasit. Apalagi kalau ada anak yang lebih unggul dari yang lain, biasanya anak itu akan ditunjuk menjadi pemimpin dari kelompok itu sekaligus menjadi penentu keputusan-keputusan dalam permainan. Pendeknya anak-anak itu bermain dengan aturan yang telah mereka sepakati sendiri. Memantulkan bola ke dinding untuk melewati lawan menjadi sah dalam permainan ini karena tidak ada lemparan ke dalam dari bidang sisi karena jalanan itu diapit oleh tembok dinding rumah atau pun pagar rumah. Termasuk menakut-nakuti lawan yang sedang menghadang dengan menendangkan bola yang basah yang baru saja tercebur selokan ke arah mereka adalah sah. Dalam bidang seluas itu mereka bebas bermain sekehendak hati. Juga kapan harus mengakhiri permainan jika tendangan mereka masuk ke halaman rumah orang atau pun tersangkut di atas genting.

Bentuk hukumannya pun cukup untuk membuat kita (baca: penulis) tersenyum. Salah satu bentuk hukuman bagi yang kalah adalah dengan melepas baju. Bagi tim yang gawangnya kebobolan mereka harus rela melepaskan kaos yang mereka kenakan dan hanya bertelanjang dada. Mereka baru boleh mengenakan kaos mereka lagi jika mereka sudah berhasil mencetak gol ke gawang lawan atau berhasil menyamakan kedudukan.

Bentuk hukuman lain yang bisa dikenakan adalah menggendong tim yang memenangkan pertandingan. Mengenai siapa menggendong siapa ditentukan dari berat badan tiap pemain, pemain yang kurus menggendong pemain kurus, sedang yang lebih besar juga menggendong yang sepadan, mulai dari ujung gawang satu sampai ujung gawang lainnya. Atau bisa juga bolak-balik. Tapi hukuman gendong ini sepertinya sudah jarang dipakai.

Keunikan lain dari permainan bola anak-anak ini mereka harus menyempatkan diri untuk break di tengah permainan karena ada pengendara atau pun pejalan kaki melintas. Biasanya pemain yang berada di paling ujung, sering si penjaga gawang, selain sebagai penjaga gawang mereka juga bertugas mengawasi sekiranya dari kejauhan akan ada pengendara akan melintasi lapangan permainan mereka. Jika sudah dekat pemain ini akan memberi aba-aba pada kawan-kawannya untuk menghentikan permainan dan memberi jalan pada si pengendara untuk lewat.

Meski demikian tidak jarang mereka tidak memperhatikan kedatangan pengendara yang akan melintas karena terlalu asyik mengolah si kulit bundar. Sering pula mereka terus merebut bola dari kaki lawannya meski pengendara membunyikan klakson dan sudah berada di atas bidang permainan mereka. Tabrakan kecil dikarenakan pengendara mau pun anak-anak itu tidak ada yang bersedia mengalah kadang terjadi. Si pengendara ingin terus melintas karena jalan itu memang jalan untuk berkendara dan bukan lapangan sepak bola. Sedangkan bagi anak-anak itu, jalan itu merupakan lapangan sepak bola di mana mereka harus bersaing mengalahkan lawan yang tengah dihadapi meski pemain dari tim lawan yang dihadapi adalah pemain yang itu-itu juga dan bahkan kadang menjadi satu tim.

Jika keadaan sudah seperti itu sangat disayangkan apabila si pengendara sampai mengeluarkan makian atau umpatan. Kelalaian memang ada pada kelompok anak-anak itu karena mereka bermain di tempat yang bukan semestinya. Tapi di mana lagi mereka bisa bermain kalau bukan di jalan itu! Sebagai orang yang lebih dewasa seharusnya pengendara itu bersedia mengalah dan menghentikan motornya di belakang penjaga gawang untuk sementara waktu guna memberi kesempatan kepada tim yang sedang berlaga dalam partai puncak itu untuk melakukan jeda waktu perhentian. Sudah sepatutnya pengendara itu meluangkan waktunya beberapa detik untuk membiarkan anak-anak itu meneruskan permainannya.

Situasi seperti itu kembali mengingatkan pada lirik lagu Iwan Fals yang berjudul Mereka Ada Di Jalan yang sudah disebutkan di atas, tepatnya pada larik yang berbunyi anak kota tak mampu beli sepatu/anak kota tak punya tanah lapang/sepak bola menjadi barang yang mahal/milik mereka yang punya uang saja/dan sementara kita di sini di jalan ini.

Lagu ini sendiri sudah beredar sejak tahun 1992 dengan durasi waktu kurang dari enam menit. Isi yang disampaikan merupakan realitas yang terjadi di sekeliling penyanyinya, tentang anak-anak yang tengah bermain bola di atas jalanan yang masih dalam pembangunan pada suatu sore. Instrumen musiknya pun cukup sederhana, hanya diiringi oleh petikan gitar dengan diselingi melodi harmonica. Liriknya terus bergerak larik demi larik mengisahkan tentang sekelompok anak yang tengah bermain bola. Tidak ada refrain atau pun pengulangan lirik seperti pada lagu-lagu umumnya.

Namun di balik kesederhanaannya lagu itu tetap memukau hingga saat ini. Bahkan sesudah kurang lebih duapuluh empat tahun sejak lagu ini dirilis pertama kali. Realitas sosial yang diangkat dalam lagu ini cukup kental dan didukung oleh kesederhanaan instrumen musiknya ternyata mampu bertahan di telinga penikmat musik tanah air hingga sekarang (paling tidak bagi penulis).

Juga kalau kita simak lagu-lagu Iwan Fals yang lain seperti Sore Tugu Pancoran, Siang Seberang Istana, atau Barang Antik; lagu ini jika diperdengarkan terasa seperti pertama kali dinyanyikan oleh penyanyinya. Ada semacam kerinduan sekaligus kemarahan yang bersembunyi di balik lirik dan instrumen lagu-lagu ini. Kerinduan karena sosok yang dikisahkan mengandaikan cita-cita yang ingin diraih. Dan kemarahan terhadap ketimpangan sosial yang ada di negeri ini.

Sepertinya lagu-lagu Iwan Fals akan bergema lebih lama meski penyanyinya kini sudah tak lagi produktif. Sepertinya juga, lagu-lagu Iwan Fals akan tetap menjadi idola di tengah hingar bingar perkembangan musik dewasa ini. Pernyataan ini merupakan pernyataan untuk masa depan. Lima atau sepuluh tahun lagi, apakah lagu-lagu iwan Fals masih terdengar aktual ataukah sudah dianggap kuno dan ketinggalan jaman oleh anak-anak muda pada masa nanti? Jika masih terdengar merdu dan aktual berarti masih ada anak-anak yang bermain sepak bola di jalanan dan kesejahteraan kurang berpihak pada kaum miskin seperti sosok anak penjual koran pada lagu yang berjudul âSore Tugu Pancoranâ, atau sosok bocah penyemir sepatu meski pekerjaan ini tidak kita temui lagi sekarang, dan seterusnya dan seterusnya.

Tapi tidak semua anak-anak kota tidak memiliki lapangan. Beruntunglah bagi anak-anak yang di kampung tempat mereka tinggal terdapat fasilitas berupa lapangan olah raga yang biasanya terletak di halaman balai RW. Lapangan ini biasanya menjadi satu dengan lapangan voli dan yang lebih baru lapangan futsal. Tapi pada umumnya anak-anak yang bermain di fasilitas ini memanfaatkan seluruh luas lapangan yang ada (yang sudah diplester) tanpa mengikuti ukuran dari garis-garis yang sudah diterakan di atas lapangan.

Juga beruntung pula bagi anak-anak yang dikampung mereka terdapat tanah kosong yang bisa digunakan sebagai bidang lapangan permainan. Meski yang terakhir ini tidak tahu kapan di atas tanah kosong itu akan didirikan bangunan atau dimanfaatkan untuk kepentingan lain seperti dijadikan untuk lahan parkir.

Terbatasnya lapangan olah raga ini menyebabkan para pemain yang berkumpul lebih banyak dari ketersediaan tempat. Lapangan berukuran kurang lebih 15x25 m itu harus dapat menampung hadirnya pemain yang berjumlah lebih dari belasan. Dan semua yang hadir harus bisa bermain karena semua memiliki kesempatan yang sama.

Untuk mengatasi hal ini biasanya mereka memberlakukan pola permainan yang disebut kloter. Entah siapa yang pertama kali memberi nama keloter dalam pola permainan sepak bola secara bergantian. Mungkin penggunaan kata keloter merujuk pada singkatan âkelompok terbangâ, istilah yang biasa digunakan untuk keberangkatan calon jamaah haji secara bergantian (keloter kesatu, kedua, dst).

Begitu pula dalam permainan ini, jumlah tim yang lebih dari dua harus bertanding secara bergantian. Dua tim pertama akan bertanding untuk memperebutkan kemenangan. Tim yang kalah harus bersedia mundur untuk digantikan oleh tim lain. Sedang tim yang menang melawan tim yang baru. Begitu juga pada pertandingan kedua, tim yang kalah harus menyingkir dari laga untuk digantikan oleh tim yang menunggu giliran keloter mereka di luar lapangan. Pola ini berulang terus sampai semua tim yang hadir mendapat giliran bermain.

Bagaimana jika jumlah pemain kurang? Jumlah pemain yang kurang bukanlah masalah besar bagi anak-anak ini. Misalnya saja anak yang berkumpul hanya ada sembilan anak sehingga untuk membentuk dua tim akan timpang di mana satu tim berjumlah lima pemain sedang tim satunya berjumlah empat pemain. Biasanya kekurangan pemain ini disiasati dengan menempatkan anak yang dianggap mempunyai kelebihan layaknya Cristiano Ronaldo atau pun Lionel Messi pada tim yang pemainnya berjumlah empat orang. Dengan cara itu kekurangan pemain bisa ditutupi.

Akan tetapi jika jumlah tim yang ada lebih dari dua sedang jumlah pemain yang ada kurang untuk membentuk tiga atau empat tim yang komplit maka digunakan cara yang lain. Untuk mengatasi kekurangan pemain biasanya tim yang kekurangan pemain akan mengajak pemain dari tim lain yang sedang tidak bertanding. Pemilihan pemain ini bebas terserah kepada tim yang menunjuk. Dengan cara itu lengkap sudah tim-tim yang akan bertanding bak tim-tim elit di Piala Dunia.

Kembali pada sekelompok anak yang bermain bola di atas jalan kampung di suatu sudut kota Surabaya. Dengan keterbatasan dan kendala yang dihadapi, anak-anak ini tetap asik memainkan si kulit bundar hampir setiap sore. Apalagi yang bisa mereka perbuat selain menerima saja jalanan kampung sebagai lapangan sekelas stadion San Siro atau sekaliber Wembley atau pada tingkat lokal seperti Gelora Bung Tomo, meski perbandingan ini cukup mengada-ada.

Pada akhirnya anak-anak itu membubarkan permainannya. Mungkin salah seorang dari pemain itu dipanggil oleh orang tuanya untuk mandi yang menyebabkan permainan tidak lagi seimbang. Mungkin juga karena hari sudah sore dan para pekerja berhamburan pulang yang menyebabkan mereka lebih sering berhenti menunggu kendaraan melintas ketimbang bergoyang samba. Apa pun yang menyebabkan mereka mengakhiri permaiannya, esok mereka akan tetap meliuk-liuk dan melakukan tembakan-tembakan dengan kakinya untuk meraih kemenangan.

Tags

About The Author

Chandra Krisnawan 24
Novice

Chandra Krisnawan

Buruh logistik yang tinggal di surabaya
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel