Selepas Senja

31 Aug 2016 11:10 2367 Hits 0 Comments
Cerpen
Selepas senja aku masih menatapmu di balik jendela yang tertutup embun hasil hujan sore tadi. Malam tadi aku memimpikanmu lagi, entah sudah berapa malam yang kuhabiskan untuk memimpikanmu. Aku melihatmu menyeka air mata yang terlampau deras membasahi pipi, matamu tak sekalipun menatap mataku, seakan aku tak pernah ada di depanmu. Di mimpi itu kau mengenakan gaun putih, rambutmu kau ikat dengan karet gelang pemberianku setahun yang lalu.
 
“Are you oke?”
 
“I’m Fine.”
 
Aku terbangun dari mimpi, setelah kamu pergi bersama seorang pria yang tak tampak jelas raut mukanya. Sudah sepuluh jam aku duduk di balik jendela ini. Menatapmu yang berbahagia menerima tamu yang datang di pernikahanmu. Aku tak sekuat yang kau kira, melihatmu bersanding bersama orang lain, mengucapkan janji sehidup—semati. Tidakkah kau lihat gelisah hati ini? Yang meminta kau kasihani meski hanya sedetik tersenyum dan menatapku manis. Aku bukan lautan yang berjarak dengan ombak, aku hanyalah hujan yang meneteskan air dari kesedihannya yang sudah tak bisa ia tahan sendiri.
 
Selepas senja, aku selalu bisa melihat wajahmu di buku-buku yang ku baca, melihatmu menjelma senja yang terbit di setiap halamannya. Asaku terpuruk ketika tahu itu hanyalah imajinasi yang tanpa ujung. Aku lelah membiarkan hujan memakan semua air mataku, mengingatkan diri pada perjuangan yang akhirnya mati hanya karena gengsi.
 
“Tak ada pertemuan tanpa perpisahan, sayang.”
 
“Aku tak ingin ada pertemuan.”
 
“Apa yang kamu mau?”
 
“Aku ingin perpisahan yang mengharap pertemuan.”
 
“Itu mustahil.”
 
“Aku tahu, aku terlalu lelah mengatakan aku kuat karena berpisah denganmu, padahal aku sangat mengharapkan pertemuan itu lagi.”
 
“Sayang, aku tak benar-benar berpisah darimu, aku hanya memberi jarak diantara kita.”
 
“Jarak menghasilkan ruang, kamu harus bertanggung jawab karena ada ruang yang kosong—tak terisi.”
 
“Biarkan ruang itu kosong, ada saat yang tepat untuk diisi oleh orang yang tepat. Kamu hanya perlu menantinya dan menunggu.”
 
“No!! cinta bukan soal menanti apalagi menunggu. Cinta soal menemukan dan ditemukan.”
 
“Kalau begitu, temukanlah.”
 
“Aku sudah menemukanmu.”
 
“Kau tahu, ini semua tidak mungkin. Aku sudah ditemukan oleh orang lain.”
 
“Tapi, aku yang menemukanmu dulu.”
 
“Tidak, kamu salah. Kamu menemukanku bukan disaat yang tepat. Tapi dia, menemukanku  disaat yang tepat.”
 
Selepas senja, aku menyadari kenangan tak pernah berubah menjadi apa-apa, kenangan akan tetap sama seperti semula. Aku yang terlalu berharap kenangan berubah menjadi apa yang aku mau.
 
Selepas senja, aku butuh hujan untuk menyamarkan air mata. Kenanganmu hanya membuatku merasa ada bukan memiliki. Ini menyakitkan, sekeras apapun aku mencoba melupakanmu, hatiku selalu mudah menemukanmu lagi.
 
Selepas senja, aku menyadari. Aku tak pernah bisa memberikan apa yang kau mau dan kamu selalu memberikanku apa yang aku mau, Aku sadar, kau lebih mencintaiku karena kau menerima apa yang tak ada di antara kita.
 
Selepas senja, aku tahu ini tak semudah yang aku bayangkan. Aku masih rajin menatap ponsel, berharap ada pesan masuk darimu. Senja tak pernah sama, selalu ada garis yang berbeda warna, selalu ada awan yang berbeda bentuk. Yang sama hanya satu, kesetianku dalam menatapmu. Menanti dan menunggu dalam ketidakmungkinan yang sengaja kau ciptakan untuk menyakitiku.
 
Selepas senja aku bertanya, apakah aku akan berhenti jika penantianku ditumbuhi sepi. Aku selalu takut malam. Aku tak ingin mengulangi kejadian malam itu, aku memilih menghindari malam dengan memimpikanmu selepas senja.
 
Selepas senja, tidakkah kau melihat lumpur-lumpur yang menyelimuti rindu, aku belum siap untuk tidak merinduimu.
 
Selepas senja, aku memutuskan membiarkan hatiku tersesat, memilih ditemukan tidak lagi menemukan. Aku memaksa merawat hatiku yang luka untuk menjaga kenanganmu yang terlanjur berakar di pikiran.
 
“Kamu salah, melepaskan bukan sebuah kesalahan.”
 
“Aku tak pernah punya niat untuk melepaskanmu.”
 
“Kamu justru akan menyakiti hatimu sendiri.”
 
“Hatiku sudah terbiasa dengan luka yang kamu beri.”
 
“Tapi hatiku tak terbiasa melihat luka di hatimu.”
 
“Aku cemburu melihatmu bersanding pada seseorang yang tak pernah berusaha keras mendapatkanmu, tapi  bisa mendapatkan perhatianmu.”
 
“Kamu butuh waktu yang tepat, sayang.”
 
“Waktu tak pernah memihakku, waktu selalu menahanku maju, waktu memaksaku menggadaikan rasa.”
 
Selepas senja, kau mendatangiku mengobati seduh yang teramat pedih, aku terpaksa merebahkan cemas. Aku tak pernah ingin pergi dan menjadi orang asing, kau perempuanku yang lahir dari sajak-sajak pengganti rindu. Kisah kita belum usai, aku butuh pemeran utama untuk membuat ending. Karena kisah tanpa ending bukanlah sebuah kisah.
 
“Aku kembali, kini menjadi istrimu. ”
 
“Aku tahu kau bosan. Tapi bosan tidak bisa kau jadikan alasan untuk berpisah.”
 
“Aku tak bosan, sayang. Aku hanya butuh kita kembali, mengulang semua dari awal, lalu saling mengenal lagi, lewat pernikahan kita.”
 
“Aku berhak atas tubuhmu, aku suamimu.”
 
“Tenang, sayang. Kau tak pernah benar-benar kehilanganku.”
 
Selepas senja, kau membiarkanku merebahkan tubuhmu. Aku rindu bibir yang pernah melumatku. Kau memberikannya malam ini. Hujan menyembunyikan sunyi. Malam ini jadi malam pertamaku melihat perubahanmu, dan jadi malam pertamamu melihat aku yang kau mau. Aku berubah jadi sosok yang selalu kau inginkan—tak seperti dulu. Kau berubah jadi sosok yang selalu ku tunggu.
 
“Aku ingin merubah kebencianmu terhadap malam. Lupakan kejadian malam itu—ada aku di sini.”
 
Selepas senja, aku menyetubuhimu—melupakan semua yang sempat menghalangi kita untuk saling mencinta, merobohkan dinding yang terlampau tinggi untuk dipanjat. Menghapuskan jarak yang terlalu lama tercipta. Kau tertidur setelah dua jam kau membiarkanku menikmati tubuhmu. Ponselku berdering melihat satu pesan yang tak asing.
 
“Lihat keluar jendela, sayang. Aku rindu kamu.”
 
Aku menatap ke luar jendela, perempuan yang membuatku memandanginya sepuluh jam dari balik jendela selepas senja melambaikan tangan ke arahku, aku tersnyum.
 
 
“Aku tak pernah mengenal angka, dalam mencinta.”
 
Tags

About The Author

Zahid Paningrome 37
Ordinary

Zahid Paningrome

Creative Writer
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel