Kisah Kedua

30 Aug 2016 17:35 2547 Hits 0 Comments
Cerpen

Aroma tubuh Alfa masih tercium bahkan saat Alfa telah berada di dalam kereta. Sekali lagi Ratih harus menerima kenyataan yang tak pernah di harapkan. Kesalahan dia perbuat lagi, menunggu seseorang yang pada akhirnya telah bersama pasangan hidupnya dan seorang anak. Hal yang tak pasti memang lebih menakutkan sehingga kita melupakan hal-hal pasti yang pada akhirnya bukan milik kita.

 

Jeans biru muda dan blus putih serta sepatu kets yang membuat Ratih tampak cantik berubah jadi badai haru karena muka yang berubah layu. Rambut pirang yang dikuncir terlihat melemas seiring tubrukan rasa dalam hatinya. Kereta yang dinaiki Alfa telah berangkat menuju Malang setengah jam yang lalu. Ratih masih duduk di  ruang tunggu Stasiun. Mendapati kenyataan yang berlalu tak seperti kehendak diri. Sepuluh tahun menunggu hilang pupus, sekali lagi Ratih harus menerima hatinya untuk tertutup lagi.

 

Kecantikan Ratih memang tak bisa dibohongi, meskipun dalam keadaan terpuruk sekalipun, auranya tetap menyita para porter yang sesekali meliriknya, para calon penumpang dan petugas stasiun yang sengaja mondar-mandir hanya untuk menatapnya. Sepasang matanya tetap terlihat indah meski air mata telah jatuh hingga membasahi pipi.

 

Lebih dari setengah jam Ratih tertahan di stasiun, setelah menghapus semua air mata yang jatuh di pipi, dengan langkah pasti Ratih menuju Honda Jazz Silvernya, mencoba terus tersenyum dan menyibukkan otak dengan memikirkan hal-hal lain selain kenangannya bersama Alfa. Tepat saat Ratih menutup pintu mobil, ponselnya berdering, ada satu pesan masuk. Tanpa basa-basi Ratih membacanya.

 

“Kamu dimana, Tih?? Aku dirumahmu nih,”  Satu pesan dari Rama mengubah mood Ratih seketika.

 

“Di Stasiun nih, tunggu ya aku otw,” (SENT)

 

Honda Jazz Siver yang dikendarai Ratih langsung meninggalkan Stasiun. Senyum Ratih menghiasi mobilnya, lalu Ratih menyalakan Radio tempat pelariannya selain Rama. Sahabatnya masa kuliah, partner in crime. Ratih selalu bingung, kenapa setiap dia mengalami keterpurkkan Rama selalu ada, saat dia sedih Rama selalu ada, saat dia terpukul juga Rama selalu ada. Tuhan seperti memberikan Rama sebagai teman Ratih untuk menceritakan banyak hal.

 

Rama adalah seorang penulis artikel disalah satu koran terkenal, sikapnya yang tenang membuat banyak perempuan mendekatinya. Rama pria yang sederhana, gaya berpakaian sehari-hari sangat sederhana. Kaos polos, celana chino, arloji yang dipakai di tangan kanan adalah ciri khas Rama. Rama hanya memakai sepatu saat celana yang dia pakai panjang dan memakai sandal hanya saat dia memakai celana pendek, sederhana tapi berkelas.

 

Rambut cepak selaras dengan bentuk wajahnya, warna kulitnya mirip warna kulit Ratih, lesung pipit di pipi kanannya menjadi daya tarik sendiri, apalagi saat Rama memakai kacamata, aksesoris favoritnya. Keluarga Rama dan Ratih sudah saling mengenal bahkan terlihat seperti keluarga. Tetap saja Ratih tak pernah memusingkan perkataan teman-temannya yang menyarankan untuk menjalin hubungan dengan Rama. Baginya Rama adalah bagian dari keluarga, yang mengerti Ratih luar-dalam.

 

Mobil Ratih berhenti—menutupi setengah pagar rumah. Terlihat mobil Rama yang terparkir tak jauh dari rumahnya. Rama menunggu di teras rumah Ratih. Hal yang biasa dilakukan Rama saat menunggu Ratih mandi atau make up yang memakan waktu lama. Kursi kayu itu bahkan beraroma tubuh Rama, spray cologne bold, aroma cool yang menenangkan.

“Kok nggak masuk, Ma??” Ratih menutup pagar rumahnya.

 

“Kayanya nggak ada orang deh, makanya aku sms kamu.”

 

“Ah masa??” Ratih menuju pintu rumahnya. Lalu mendorong gagang pintu. Pintu terkunci—Rama benar, tak ada orang di rumah. Tak biasanya orang tua dan kedua adik Ratih pergi tanpa mengajaknya, apalagi saat hari Sabtu. Ratih meraba bagian bawah salah satu pot yang ada di teras rumahnya. Tempat biasa kunci rumahnya disembunyikan. Setelah pintu terbuka Ratih menyuruh Rama masuk.

 

“Duduk, Ma. Aku ke belakang dulu,”

 

“Siap bos!!” Senyum Rama.

 

Dirumah Ratih, Rama merasa berada di tempat paling nyaman. Suasana rumah Ratih yang bersahabat membuat dirinya merasa berada di rumah sendiri. Foto keluarga yang dipasang di ruang tamu itu terasa meneduhkan, senyuman dari satu keluarga yang bahagia. Tak pernah bosan Rama menatap foto itu, senyum-senyum sendiri membuat Ratih selalu bertanya saat Rama ketahuan.

 

“Kenapa lagi nih anak?? Senyum-senyum sendiri,” Ratih membawa satu air mineral dingin untuk Rama. Air dingin adalah minuman kesukaan Rama, dimana-mana saat Ratih dan Rama pergi makan, Rama selalu memesan air mineral dingin.

 

“Aha!!” Sontak Rama menanggapi.

 

“Aha-aha apa??” Senyum Ratih meletakkan air mineral dingin tepat di depan meja.

 

“Duduk sini, Tih. Aku mau cerita,” Rama menepuk sofa ruang tamu Ratih.

 

“Cerita apa nih?? Serius looh jangan bercanda lagi.”

 

“Iya ini serius, dengerin yaa.” Kata Rama antusias.

 

“Iya nih didengerin,” Senyum Ratih melihat tingkah laku Rama.

 

“Aku cinta kamu, Tih,” Kata Rama dengan suara pelan, mengubah senyum Ratih.

 

“Ha??” Tanya Ratih, kaget. Jantungnya berdegup kencang mendengar kalimat Rama.

 

“Bercanda, Tih,” Rama mengangkat alisnya, membuat Ratih sebal dan memukul pundak Rama.

 

“Kamu yaaa… Sumpah nyebelin,” Ratih memalingkan muka, melipat tangannya di dada.

Mendengar candaan Rama, Ratih merasakan keanehan di pikirannya. Seperti ada yang menghalangi, seperti tembok yang menutup sesuatu—entah apa. Hatinya seperti tertusuk jarum yang berlangsung sesaat. Rama bercerita tentang seorang wanita yang telah lama dekat denganya. Rama mencintai wanita itu sejak lama. Dia merahasiakannya pada setiap orang termasuk Ratih.

 

Seperti cerita kebanyakan orang. Soal cinta, manusia hanya terbagi menjadi dua kubu. Kubu yang mencintai diam-diam—menyimpan seorang di dalam hati dan kubu yang menunggu kepastian padahal belum tentu seorang itu yang akan mengisi hati dan pikiran mereka. Manusia memang lemah urusan cinta, ada yang menggenggam sangat kuat, membuatnya kehilangan rasa nyaman dan akhirnya pergi perlahan. Ada yang memilih untuk saling percaya sampai akhirnya salah satu dari mereka melanggar kepercayaan yang telah dibuat.

 

Ratih dan Rama adalah dua orang yang punya cerita serupa. Ratih pernah menjalin kasih selama lima tahun dengan orang yang salah. Rama merasakan tiga tahun lamanya menyendiri setelah terkahir seorang wanita menyelingkuhinya bahkan saat cincin pertunangan sudah menghiasi jari manis. Rama kehilangan kepercayaan atas cinta.

 

Satu jam Rama bercerita, Ratih merasakan hal yang aneh dari cerita Rama. Ratih merasa mengenali wanita yang diceritakan Rama. Sosok itu terasa begitu dekat dengan dirinya. Ratih mengenali sosok yang Rama maksud.

 

“Kamu ngomongin aku yaa??” Tanya Ratih, memotong pembicaraan. Rama berhenti bicara, bibirnya terkatup, Rama merunduk pelan. Bibir Ratih melengkung manis, raut mukanya berubah—terasa teduh dan meneduhkan, melihat sahabatnya mati kutu atas kejujuran dari perasaan yang telah lama dipendam.

 

“Hey… It’s okee,” Ratih memegang pundak Rama—menatap muka Rama yang merunduk.

 

“Enggak… Nggapapa,” Rama mengangkat kepalanya—tersenyum menatap Ratih.

 

“Aku ngerti,” Ratih mengangguk.

 

Mata mereka saling menatap, Rama dan Ratih saling memberi senyum. Seperti dua orang yang saling menemukan mereka berada dalam satu tatap yang sama, satu degup jantung yang seirama. Dan seperti buku, Ratih dan Rama menemukan kisah keduanya hari itu. Membuka halaman baru, menemukan kertas kosong tanpa noda yang siap dituliskan.

 

“Tapi aku nggak bisa, Ma… Sorry,” Kata Ratih.

 

“It’s okee… Aku paham,” Rama tesenyum.

 

Kisah kedua adalah halaman yang tersembunyi dalam satu buku, dibutuhkan dua orang untuk menemukannya. Dibutuhkan keyakinan dan kepercayaan, saat halaman tersembunyi itu ditemukan, kisah kedua bersiap untuk dituliskan. Tanda bahwa dua orang telah saling menemukan.

 

Dalam beberapa detik, kecanggungan mulai merajai tubuh mereka, sekali lagi selepas mata mereka saling menatap, lengkungan indah dalam pikirannya saling mengenang. Kenangan yang mengukir senyum di bibir. Perlahan Ratih menyentuh lembut tangan Rama yang dingin, Ratih mendekat, tangan mereka saling menggenggam. Ibu Jari Rama menegelus lembut punggung tangan Ratih. Rama tersenyum sekali lagi, mata Ratih berkedip pelan, mata dan lengkungan bibir yang meneduhkan hati Rama. Jantung yang berdegup seirama menandakan sesuatu.

 

Nafas mereka saling bertabrakan, hingga kening dan hidung bersentuhan. Satu tangan Rama yang lain menyentuh pinggang Ratih. Ruangan yang tak sedikitpun panas itu justru menimbulkan keringat di leher. Ratih dan Rama tersenyum, bibir mereka bertemu dalam detak jantung yang melepas keraguan.

 

 

 

[END]

 

 

                                                           

Tags

About The Author

Zahid Paningrome 38
Ordinary

Zahid Paningrome

Creative Writer
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel