Baru-baru ini, wacana mengenai rencana pemerintah menaikkan harga rokok menjadi 50 ribu per bungkus begitu menyita perhatian hampir seluruh masyarakat Indonesia, menjadi obrolan di mana pun berada, mengenai jumlah orang meninggal karena rokok hingga kerugian pemerintah (dihitung dengan nominal) karena menurunnya produktivitas masyarakat akibat dampak rokok, dan kali ini mari kita lihat dari sisi yang berbeda dan memaparkannya dengan data, terlepas penulis pro atau kontra mengenai wacana tersebut, artikel ini sekaligus menjawab pertanyaan dari salah satu idola penulis yang begitu pedas menyudutkan perokok, terlepas bahwa rokok dan perokoknya membuat banyak kerugian.
Dirilis dari tempo.co (23/8), Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa pemerintah tidak memiliki rencana menaikkan harga rokok menjadi 50 ribu per bungkus, informasi soal harga baru rokok yang ramai beredar belakangan ini hanya berupa kajian akademis dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia.
Image www.aktualita.co
“Belum ada kebijakan baru mengenai harga jual eceran maupun tarif cukai,†ujar Sri di kantornya, Senin 22 Agustus 2016. Selain itu, dia berpendapat, masih banyak cara meningkatkan penerimaan negara yang lebih baik ketimbang menempuh kebijakan ekstrem di satu pos Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi menimpali, kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribu per bungkus akan terhalang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Undang-undang tersebut membatasi kenaikan cukai maksimal 250 persen dari harga produksi pabrik dan 55 persen dari harga eceran.
Jadi jika ada yang mengatakan bahwa menaikkan harga rokok adalah cara yang tepat untuk meningkatkan pendapatan negara, tentu saja itu bertolak belakang dengan apa yang disebutkan oleh Sri Mulyani, dan tentunya kita tidak perlu mempertanyakan kredibilitasnya sebagai seorang yang ahli di bidang tersebut, berbeda dengan pendapat para elit politik negeri ini, yang tentu saja menjadikan momen ini sebagai ajang eksistensi, dan bisa kita lihat, siapa yang berkomentar di balik rencana ini, kita bisa menilai sendiri, seberapa handalnya beliau-beliau di bidang ini.
Yang kedua pendapat mengenai Direktur Jenderal Bea dan Cukai, yang mengatakan bahwa kenaikan harga rokok akan terhalang oleh Undang-Undang tahun 1995, jadi isu mengenai kenaikan harga rokok, bisa disimpulkan, memiliki tujuan yang berbeda, entah isu apa yang ditutupi dengan perkara ini.
Image cdn.tmpo.co
Menarik, pernyataan dari Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Prof. Hasbullah Thabrany mengatakan, pemerintah seharusnya mengedepankan kepentingan kesehatan masyarakat,pernyataan tersebut dikutip dari kompas.com, (22/16).
Merokok jelas merusak kesehatan. Menurut data Global Adult Tobacco Survey (GATS) tahun 2014, setidaknya 190.260 orang di Indonesia meninggal dunia akibat konsumsi rokok.
"Itu artinya setiap hari 500 orang mati karena rokok. Kenapa yang ditakuti industri rokok bangkrut? Kenapa industri dibela?".
Jika menyimak, tentu benar adanya, bahwa merokok merusak kesehatan, dan ada lebih dari 500 orang meninggal karena rokok, dan industri rokok tidak akan bangkrut, yang jadi percontohan adalah Singapura dengan harga rokok mencapai Rp 120.000 atau di Australia dengan harga Rp 200.000. Negara yang notabenya tentu tidak bisa dibandingkan dengan Indonesia, jika mengenai perkembangan ekonomi, Industri kedua negara tersebut terbilang maju, bahkan dari hampir semua aspek.
Jika mengutip dari hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2013, tingginya kerugian negara akibat konsumsi rokok dibanding pendapatan yang diterima negara dari rokok. Kerugian total selama 2013 mencapai Rp 378,75 triliun, meliputi hilangnya produktivitas akibat sakit, disabilitas, kematian prematur di usia muda, dan biaya berobat akibat penyakit-penyakit terkait tembakau. Jumlah itu 3,7 kali lebih besar dibanding cukai tembakau yang diperoleh negara sebesar Rp 103,02 triliun di tahun yang sama.
Dana BPJS Kesehatan pun paling banyak digunakan untuk membiayai penyakit terkait rokok. Sejatinya, usulan kenaikan harga rokok efektif untuk menurunkan jumlah perokok di Indonesia, khususnya mencegah orang kurang mampu dan anak-anak usia sekolah membeli rokok.
Image komunitaskretek.or.id
Menurut Hasbullah, dengan menaikkan harga rokok sekitar Rp 50.000 per bungkus, setidaknya pemerintah memeroleh Rp 70 triliun yang dapat digunakan di bidang kesehatan.
Oke, fakta-fakta tersebut memang benar adanya, dan tentu saja menjadi pertimbangan bagi masyarakat yang mengkonsumsi rokok. Dan kerugian akibat merokok, menembus angka fantastis.
Tapi, jika kita bergeser sedikit, kerugian negara tidak hanya disebabkan oleh rokok, ada banyak faktor, dan yang paling besar tentu saja angka korupsi yang masih menjadi momok menakutkan bagi bangsa ini, dilansir dari kompas.com, April 2015, nilai kerugian negara akibat tindak pidana korupsi di Indonesia selama 2001-2015 mencapai Rp203,9 triliun. Hasil kajian Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), juga menghitung hukuman berupa denda dan sita aset hanya terkumpul Rp21,26 triliun.
Dari selisih kerugian negara dengan hukuman denda itu, siapa yang menanggung kerugian? Negara? Tentu saja bukan, tentu saja para pembayar pajak yang budiman. Ibu-ibu pembeli susu formula, mahasiswa dan pelajar yang membeli teks, orang sakit yang membeli obat, atau bahkan para perokok dan tentu saja generasi masa depan yang belum lahir.
Image assets.kompas.com
Dan kerugian 70 triliun yang diklaim sebagai kerugian besar akibat perokok, berapa persen dari angka korupsi tersebut? Belum lagi jika dihitung kerugian negara akibat tidak efektitnya para aparat pemerintah yang bekerja tanpa hasil, tidak efektif. Mungkin, jika dikalikan perhari, bulan atau tahun, bisa menembus angka yang tidak kalah fantastis.
Dan jika menyimak tulisan dari salah satu penulis kondang negeri ini, yang tentu saja juga salah satu idola penulis, mengenai fakta vs candu, yang membahas mengenai wacana kenaikan harga rokok, tentu hampir semuanya benar, mengenai pegawai yang di PHK meski harga rokok tak naik, mengenai petani tembakau yang tentunya tetap akan kehilangan sumber pemasukan meski harga rokok tidak naik, lantaran para pengusaha akan lebih suka meng-impor tembakau yang harganya bisa menjerat para petani tembakau. Kemudian, dalam tulisannya, beliau mengatakan, bahwa para pengusaha rokok akan tetap tajir dan petani akan semakin ‘kere’, sementara anggaran pemerintah terus membengkak karena banyaknya yang menggunakan dana BPJS akibat rokok, belum lagi jumlah remaja yang kemudian merokok karena murahnya harga rokok.
Mengenai remaja atau anak-anak yang merokok, seharusnya kita bisa menanyakannya kepada diri sendiri, kepada orang tua si remaja, atau bagaimana kita atau pemerintah negeri ini menciptakan lingkungan bagi generasi penerus bangsa ini. bukannya menuding salah satu pihak, karena tentu saja ini tidak bisa membuat kita sebagai orang tua kemudian lepas dari kesalahan.
Dan apakah benar, semua itu bisa disalahkan karena rokok? Penulis hanya melihat ini dari sudut pandang yang lebih luas. Bahwasannya, tidak tepat jika menaikkan harga rokok untuk meningkatkan pendapatan negara, hal tersebut dituturkan oleh Meneteri Keuangan, Sri Mulyani. Terlebih menaikkan harga rokok juga akan menyalahi Undang-undang, pernyataan yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi.
Ada banyak aspek, terlepas bahwa ‘Merokok Berbahaya, Bagi Perokok Atau Bagi Orang Yang Tidak Merokok’ saya setuju dengan itu. Tapi, pembunuh paling mematikan, bukan karena rokok. Mengenai pergolakan politik, kekurangan gizi warga, penduduk tidak mengenyam pendidikan tinggi, bodohnya orang tua yang tidak bisa mendidik anaknya, hingga mata rantai kemiskinan akan terus menjerat generasi penerus bangsa ini. Atau mengenai kelaparan yang masih saja terjadi, mengenai masyarakat pelosok yang tidak tersentuh subsidi lantaran uang yang seyogyanya menjadi hak mereka, telah disunat  dari pusat oleh para pejabat.
Image askrida.com
Masyarakat Indonesia, jangan hakimi para perokok negeri ini, setidaknya mereka bekerja halal untuk mendapatkan ‘racun’ yang akan membunuh itu, ada banyak hal yang bisa dicermati, karena, hanya dengan menyadarkan semuanya bisa teratasi, caranya, bisa dengan banyak hal, meskipun benar, wacana ini adalah salah satu cara untuk mengatasi permasalahan dana BPJS yang terus terpakai oleh perokok.
Meski pada akhirnya, penulis juga merampungkan tulisan ini, dan tulisan-tulisan sebelumnya, hingga draft yang masih tersusun dalam beberapa bagian, dengan menikmati secangkir espresso dan tembakau yang mengepul.
Â
Sumber: kompas.com, tempo.co, facebook
Image:Â lh3.googleusercontent.com