âKatakanlah kepadaku, Paman, keputusan bijak apa yang harus kuambil? Telah kuterima sayembara ini atas keinginanku sendiri. Jauh di dalam hati, Paman, aku menyadari bahwa cintaku tidak akan pernah bisa disandingkan dengan Putri Adipati.â
âTidak perlu sedemikian risau, Ananda,â jawab sang Paman. âDi hutan ini tidak ada yang perlu engkau cemaskan. Ayahanda telah membekalimu dengan ilmu dan pengetahuan layaknya seorang ksatria. Dan jiwamu adalah jiwa ksatria. Semua hal yang harus dimiliki oleh seorang ksatria telah melekat padamu. Dan semua hal yang ingin dimiliki oleh setiap ksatria telah mengikutimu. Putuskanlah apa yang engkau anggap bijak, wahai, Anakku. Pamanmu ini akan selalu mendukungmu.â
âTinggalkanlah kami Paman. Bawalah orang-orang bersamamu, kecuali orang-orang yang telah mengikutiku membuka Hutan Kitri*. Aku akan pergi ke barat bersama mereka. Kemarin kami menemukan kotoran hewan kecil yang serupa gunung. Penduduk menamai hewan itu dengan sebutan Kupang**. Aku rasa hewan itu membangun kerajaannya di dekat sini.â
âJika itu keputusan Ananda, Paman tidak dapat mencegahnya. Paman bersama rombongan akan menunggu Ananda di dekat pelabuhan. Paman akan mengirim orang untuk menghadap Adipati agar kita diijinkan membangun pesanggrahan di dekat pelabuhan.â
Pagi di hutan pinggiran Kadipaten Surabaya. Embun mulai menampakan diri di atas hijau dedaunan. Di bawah sinar matahari pagi kabut bergelayut tipis, seolah enggan dipisahkan dari alam. Dari kejauhan terdengar samar guman dengung aktivitas penduduk.
Adalah pangeran Haryo Gajah Situbondo yang tengah bermeditasi di tepi sungai semenjak hari masih petang. Pikirannya dipusatkan ke satu arah tujuan yang hendak dicapainya. Sudah terlalu panjang jalan yang ditempuh apabila ingin kembali. Hutan Kitri telah dibabat tanpa halangan berarti. Kini dia hendak bergerak ke barat, ke tempat di mana konon dipenuhi bangsa lelembut yang bisa mengubah dirinya menjadi hewan jejadian.
Ketika meditasinya hampir mencapai titik tertinggi, sesosok bayangan perempuan melintas membuyarkan konsentrasinya. Tak ayal lagi dia harus mengulangi meditasinya dari awal. Dengan tenang dia ulangi semuanya perlahan-perlahan. Namun bayangan perempuan itu tak mau enyah begitu saja. Seperti pecahan kayu menelusup dalam daging minta dicabut.
Akhirnya dia putuskan mengejar bayangan itu dalam alam meditasinya. Ditemuinya bayangan itu, terkadang nampak tersenyum, terkadang nampak diam, terkadang juga tertawa dan seolah-olah menggodanya. Seperti seorang gadis pemalu yang memberi isyarat agar dia mau menggapainya. Namun dari semua bayangan itu, latar belakangnya berwarna muram dan murung. Tak lain adalah kegelisahan hati alam meditasi bertempat.
Lelah bermain-main dengan perasaannya, dia bangkit memerintahkan orang-orang untuk segera bersiap-siap. Hutan yang hendak dibabat telah terbentang di hadapan mata. Semak belukar, rawa berlumpur, hewan liar merupakan olah kanuragan.
Dia sudah memahami bahwa sayembara untuk membuka hutan ini hanyalah cara agar dirinya tidak dapat meminang Sang Putri. Mungkin orang-orang yang merencanakan ini berharap dia akan mati sewaktu membuka hutan, entah diterkam hewan buas, entah dibunuh kawanan rampok, entah dimakan bangsa lelembut, tak jadi soal. Yang paling penting adalah, dia tidak jadi mengawini Sang Putri.
Tapi ini bukan soal utama. Kabar bahwa putra Adipati dari daerah selatan hendak mengajaknya adu tanding membuatnya cemas. Dia telah mengukur kemampuan pesaingnya. Kesimpulannya: Raden Haryo Gajah Situbondo bisa mengalahkannya. Dari namanya bisa diketahui bahwa ilmu kanuragan yang dimiliki cukup mumpuni.
Padahal yang membesarkan hatinya, dia ingin dikalahkan sekiranya Raden Joko Taruna menantangnya olah kanuragan. Dia berpikir sambil tersenyum bangga, âlalu siapa lagi yang harus kuhadapi agar bisa mundur dari sayembara ini?! Sabarlah, Adinda. Aku hanya ingin engkau bersuamikan lelaki yang lebih baik dari aku. Lelaki yang melebihi aku dalam ilmu dan pengetahuan, dan lelaki yang tidak memiliki kekurangankuâ¦.â
Keberhasilannya membuka Hutan Kitri telah tersebar. Penduduk yakin bahwa Raden Situbondo akan berhasil membuka hutan lebih luas lagi. Karena itu banyak penduduk beramai-ramai turut membantu Raden Situbondo. Selain ingin melihat langsung sosok orang yang tengah jadi buah bibir itu, mereka juga ingin memperoleh bagian dari tempat baru itu. Ada juga dari mereka yang ikut berasal dari kalangan pendekar yang merasa penasaran. Selama ini hutan kawasan barat terkenal angker. Bukan hanya hewan buas yang tinggal di sana, tapi juga bangsa lelembut jahat berdiam di wilayah itu. Ketika dirasa ada orang yang mumpuni untuk menaklukan wilayah itu, orang-orang segera bergegas mengikutinya.
Lepas dari tempat gunung kotoran hewan Kupang itu, Raden Situbondo bersama rombongannya menyisiri bagian barat hutan. Semakin ke barat hutan semakin rendah. Begitu juga dengan hutan di sebelah utara. Rombongan itu dibagi menjadi tiga kelompok. Di sayap kanan di bagian utara hutan yang lebih rendah dipimpin oleh Gajah Seta yang perkasa. Di sayap kiri di bagian selatan hutan yang lebih tinggi dipimpin oleh Gajah Menggala yang pemberani. Raden Situbondo berada di bagian tengah.
Di tengah perjalanan Gajah Seta melihat ada seorang pemuda di dalam hutan. Pemuda itu pun mengetahui ada rombongan yang mendekatinya dan menghentikan pekerjaannya. Setelah cukup dekat, beberapa orang dari penduduk mengenali pemuda itu sebagai Joko Jumput*** anak pembuat jamu di daerah Praban. Pemuda itu tengah mencari tumbuhan ramuan bahan jamu.
Raden Situbondo merasa heran, hampir semua penduduk Surabaya tidak berani merambah hutan ini, tapi pemuda ini malah asyik mencari ramuan seorang diri di sini. Tentunya ada rahasia tersendiri yang dimiliki pemuda ini. Dilihatnya, sama sekali tidak tampak kebangsawanan dalam diri pemuda itu. Penampilannya cukup bersahaja ditambah dengan keranjang di punggungnya. Kecuali nada bicara dan tatapan matanya, pemuda itu tak ubahnya orang biasa.
âTumbuhan apa yang kau cari, hai, Tuan? Dan apakah kau tidak takut berada di tengah hutan angker ini sendirian?â Tanya Raden Situbondo.
âApalagi yang perlu hamba takutkan, Tuan? Hewan-hewan buas di sini telah habis diburu oleh tuan-tuan penjajah. Mereka pada lari bersembunyi, mencari hutan yang lebih lebat di gunung-gunung sana. Kalau soal jin, peri, atau gandarwa mereka tidak akan mau memakan hamba. Daging rakyat jelata seperti hamba terlalu pahit bagi mereka. Tuan sendiri bagaimana, apakah tuan tidak tidak takut dengan keangkeran hutan ini?â Tanya pemuda itu.
âSepertinya engkau mengenal hutan ini,â jawab Raden Situbondo mengabaikan pertanyaan pemuda itu. âMaukah kau menjadi pandu bagi rombongan kami untuk membuka hutan di wilayah ini? Bila engkau bersedia akan kuberi upah yang layak. Dan bila nanti kami kembali, mungkin kau bisa turut dengan kami. Aku perhatikan engkau cukup mengenal tumbuh-tumbuhan obat. Akan kuberi kau tempat yang layak di Kadipaten kami.â
âTidak, tuan. Ibu hamba adalah seorang janda yang sudah tua yang membutuhkan tenaga hamba. Hamba tidak bisa membantu tuan. Akan tetapi saya akan menceritakan kepada tuan apa-apa yang hamba ketahui mengenai hutan ini sejauh pengalaman hamba.
Raden Situbondo memutuskan bahwa hari ini rombongan harus membabat hutan tempat mereka bertemu dengan Joko Jumput. Dia menyampaikan bahwa tempat pertemuan selalu membawa berkah, baik bagi yang ditemui atau pun yang menemui.
Di antara kesibukan orang membuka hutan, Raden Situbondo dan Joko Jumput berbincang-bincang. Mendengar tuturan Joko Jumput, tanpa disadari telah tumbuh kasih dalam hati Raden Situbondo. Mungkin karena tutur halusnya. Mungkin karena ketampanannya. Mungkin juga karena Joko Jumput dianugerahi bentuk tubuh yang sempurna. Dia membayangkan, seandainya dia serupa dengan pemuda itu, tentu Sang Putri tidak akan menolak lamarannya. Hutan di pinggiran Surabaya akan dibabat setelah pernikahan dilangsungkan sebagai kewajiban seorang pimpinan terhadap rakyat untuk memenuhi kebutuhan mereka akan papan dan ladang.
 âSeandainya dia yang melamar Sang Putri, tentu aku akan mengalah,â pikir Raden Situbondo.
âDi barat hutan yang kita buka saat ini, Tuan, merupakan tempat persembunyian para perampok,â kata Joko Jumput kemudian merenung sebentar dan melanjutkan. âYang hamba ketahui pimpinan mereka mempunyai jurus yang menakutkan. Konon mereka bisa berubah wujud mereka menjadi hewan mengerikan semacam harimau. Ditambah lagi, ada orang-orang yang gemar bercerita tentang jin-jin penunggu hutan. Mungkin ada juga di antara mereka orang suruhan para perampok agar hutan yang mereka tinggal tetap aman dan tidak terjamah. Pastinya para perampok itu juga memerlukan pergi ke pasar untuk kebutuhan pangan mereka. Nah, di antara kesibukannya ke pasar mungkin mereka menyebar cerita yang menakutkan kepada penduduk sehingga akhirnya menjadi seperti sekarang ini.â
âEngkau memiliki kepandaian yang mengagumkan,â kata Raden Situbondo. âEngkau menyingkirkan tahayul dalam pandanganmu agar tahu benar letak persoalannya.â
Hari hampir sore ketika Joko Jumput pulang. Konon Joko Jumput adalah keturunan bangsawan Mataram. Dia dilarikan ke Surabaya bersama ibunya ketika masih kecil karena di sana tengah terjadi konflik perebutan kekuasaan. Setelah sekian tahun, mungkin orang yang mengirim mereka telah terbunuh sehingga tidak dapat menjemput mereka kembali. Atau mungkin juga dua orang itu memang ditinggalkan untuk dilupakan. Tapi darah ksatria yang mengalir dalam dirinya menyala bak bara api yang tak hendak padam.
Gajah Seta, Gajah Menggala, dan Raden Situbondo duduk melingkari perapian. Hari beranjak malam. Sebagian besar rombongan beristirahat untuk meleramkan tenaga mereka. Sebagian lagi masih terjaga sambil berbincang-bincang. Penjagaan dilakukan bergiliran antara prajurit Raden Situbondo bersama penduduk yang ikut dalam rombongan.
Gajah Seta menatap tuannya yang sedang termenung. Dalam hati ia merasa iba terhadap nasib tuannya itu. Bagaimana tidak, memiliki ilmu dan pengetahuan yang mumpuni, ditambah lagi dengan darah sebagai keturunan Cakraningrat, tapi masih dipandang rendah oleh orang lain hanya karena tubuhnya cacat.
âApa yang sedang Raden pikirkan,â tanya Gajah Menggala kepada tuannya. Berat bagi mereka melihat tuannya termenung berlama-lama. Terlebih karena soal asmara. Seandainya yang dirisaukan adalah kesulitan mengalahkan seorang lawan, tentu dia akan maju menjajal ketebalan kulit sang lawan. Tapi ini adalah soal asmara. Tajamnya keris dan ampuhnya jurus terbungkam mulutnya di sini.
âTidak ada, paman Menggala,â jawab Raden Situbondo. Dia tidak ingin pamannya menebak-nebak apa yang tengah dia pikirkan. âEsok pagi kita akan luaskan wilayah ini. Ada beberapa pohon besar di pinggiran sana. Kayunya bagus. Suruhlah orang untuk memanggil beberapa tukang kayu lagi karena kita akan membutuhkannya. Atau ajaklah penduduk untuk bergabung agar mereka tahu bahwa tidak ada yang perlu ditakuti di hutan ini. Aku ingin hasil karyaku kelak dapat memakmurkan rakyat banyak. Aku serahkan pekerjaan ini kepada paman. Esok aku akan masuk ke dalam hutan. Aku ingin menjelajah terlebih dahulu. Cukup Paman Seta yang akan menemaniku. Aku harap paman tidak keberatan.â
âBaik, Raden. Perintah dari Raden akan hamba laksanakan,â jawab Gajah Menggala.
Esoknya pagi-pagi sekali, Raden Situbondo ditemani Gajah Seta telah pergi ke dalam hutan. Selain ingin mengetahui seluk-beluk hutan itu, Raden Situbondo ingin mengetahui persembunyian para perampok seperti yang diceritakan oleh Joko Jumput.
Hampir tengah hari mereka menjelajah, tapi tanda-tanda keberadaan kawanan rampok belum juga nampak. Yang terdengar malah suara teriakan dari kejauhan seolah-olah memanggil nama seseorang untuk diajak adu tanding. Raden Situbondo dan Gajah Seta berusaha mendengarkan teriakan itu. Setelah teriakan itu terdengar cukup jelas, barulah mereka tahu bahwa itu adalah rombongan Raden Joko Taruna yang sedang mencarinya.
Mendengar nama tuannya disebut-sebut, Gajah Seta merasa geram. Dia sudah akan meloncat menyerbu sekiranya Raden Situbondo tidak menghalanginya. âBiarkan saja paman, sebaiknya kita menyingkir,â pinta Raden Situbondo.
Mereka berdua menyingkir menjauhi arah datangnya teriakan itu dan bersembunyi di balik rimbun belukar. Ketika rombongan itu lewat, dilihatnya Raden Joko Taruna berjalan dengan angkuh di tengah rombongan. Sebilah keris dan sebuah sumpit untuk berburu terikat di perutnya. Di depannya beberapa orang bergolok membabat tumbuhan untuk jalan. Sedang di belakangnya lagi, seorang berkulit gelap meneriakan tantangan terhadap Raden Situbondo. Rombongan itu terus bergerak melewati tempat persembunyian Raden Situbondo sambil terus meneriakkan tantangan dan menghilang di kedalaman hutan.
Akhirnya mereka memutuskan kembali ke rombongan. Tapi setelah berjalan beberapa langkah mereka merasa ada yang aneh. Teriakan itu sudah tidak terdengar lagi. Mereka berhenti sesaat untuk menerka apa yang terjadi. Beberapa saat kemudian dari arah hilangnya suara itu muncul suara gaduh seolah sorak sorai perang. Raden Situbondo dan Gajah Seta saling pandang. Segera mereka bergerak menghampiri sumber kegaduhan itu.
Di sana rombongan Raden Joko Taruna telah dikepung oleh gerombolan bersenjata lengkap dengan jumlah hampir tiga kali lipat. Raden Joko Taruna berlindung di tengah rombongan sambil mengancam bahwa bila sesuatu terjadi padanya maka seluruh prajurit Surabaya dan Kediri akan membalaskan dendam.
Geram dengan ancaman itu, Trung si pemimpin gerombolan memerintahkan untuk menyerang rombongan Raden Joko Taruna. Karena sebagian besar rombongan Raden Joko Taruna hanyalah pelayan dan bukan prajurit, maka dalam sekejap rombongan itu dapat dihancurkan menyisakan Raden Joko Taruna seorang.
âSekarang, siapakah yang akan menuntut balas kematianmu, hai, Raden?â ejek Trung dengan memberi tekanan pada kata Raden.
âBangunlah kau dan hadapi aku,â bentak Trung. âJangan seperti anak kecil yang menangis. Akulah raja hutan ini yang akan mencabik-cabik dagingmu.â
Meskipun badannya gemetar karena takut, Raden Joko Taruna melayani tantangannya. Namun dalam waktu singkat Raden Joko Taruna sudah babak belur. Pakaian yang dikenakan pun berhias tanah dan sobek di sana-sini termakan taring-taring ranting. Melihat keadaan ini, Raden Situbondo dan Gajah Seta segera menyerbu barisan musuh. Gerombolan yang tidak siap dengan datangnya lawan baru ini langsung kocar-kacir. Banyak dari mereka yang lari menyelamatkan diri atau berlindung di belakang pimpinan mereka.
âSiapakah engkau, Kisana, tiba-tiba menyerang kami?â tanya Trung.
âLepaskan saudaraku dan aku akan membiarkanmu hidup,âjawab Raden Situbondo.
âHahahahaâ¦apa yang akan kau berikan kepadaku sebagai gantinya?â
âNyawamu, hai, orang biadab.â
Mendengar hinaan itu Trung segera maju menyerbu. Pertarungan sengit pun tak terhindarkan. Pukulan dan elakan silih berganti. Pokok pohon dan ranting di hutan itu merasakan kerasnya pukulan masing-masing. Daun-daun kering berterbangan di tengah tarian dua orang pesilat. Dalam satu gerakan cepat, Raden Situbondo berhasil meloloskan pukulannya mengenai dagu lawannya yang kemudian jatuh tersungkur. Belum sempat memainkan satu jurus dari bangkitnya, sebuah sepakan masuk lagi mengenai perutnya. Kali ini Trung berguling-guling di tanah.
Akhirnya Trung duduk bersila dan mengeluarkan mantranya. Seketika itu juga udara panas menyelimuti tubuhnya. Tubuhnya kemudian menggeliat dan berguling-guling di atas tanah. Tak lama kemudian Trung menghadapi Raden Situbondo dengan kuda-kuda seekor harimau dengan kuku-kuku mencengkram tanah.
Menghadapi situasi ini Raden Situbondo bersiap melontarkan jurus pamungkasnya. Raden Situbondo melompat menyerang ketika Trung menerkam menerjang. Terkaman Trung lolos, namun pukulan Raden Situbondo mendarat tepat di muka Trung yang kemudian jatuh tersungkur tak sadarkan diri.
Melihat pimpinannya kalah gerombolan itu segera melarikan diri. Raden Joko Taruna merasa kecut. Sekalipun dia baru saja dikalahkan oleh Trung, selama pertarungan tadi dia berharap Raden Situbondo dikalahkan. Kini dia hanya bisa berharap belas kasihan Raden Situbondo. Dilihatnya dua orang itu sibuk mengikat Trung. Melihat kesempatan dirinya tak diperhatikan segera dia bangkit dan dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki berlari secepat mungkin.
Raden Situbondo dan Gajah Seta yang melihat kejadian itu hanya membiarkannya. Perhatian mereka kini tertuju pada Trung yang mulai siuman. Gajah Seta memberikan bekal airnya untuk diminum si pendekar yang ditinggalkan sukma harimaunya.
âKau baik-baik saja, Kisana?â tanya Gajah Seta.
âKurang ajar! Berani-beraninya kalian mengikatku seperti ini! Hei kau!â bentaknya sambil menoleh ke arah Raden Situbondo. âMengapa kau mengganggu pertarunganku, hampir saja kuremukan kepala bocah itu kalau saja kalian tidak muncul. Sungguh, demi seluruh sukma harimau di tempat ini, saudara-saudaraku sebentar lagi akan datang membebaskanku. Mereka akan mencabik-cabik daging kalian.â Sesudah mengucapkan sumpah serapah itu dia meneriakkan sesuatu dari dasar tenggorokannya, seolah aum harimau.
âDiamlah, Kisana! Kami hanya tidak ingin kau melukai saudara kami. Ijinkan kami memperkenalkan diri. Aku adalah Haryo Gajah Situbondo, dan ini adalah pamanku Gajah Seta. Kedatangan kami kemari hendak membuka hutan di wilayah ini. Aku harap kedatangan kami tidak mengganggumu.â
âAh, persetan kalian. Ini pasti ulah para penjajah. Dasar kau antek penjajah, mau saja kalian diperalat mereka. Katakan pada mereka, Aku Trung dari selatan, tidak gentar dengan bedil-bedil mereka. Telah kuhabisi serombongan dari mereka di tapal batas Pasuruan. Kalau mereka hendak datang kemari, biar kuhabisi serombongan lagi di hutan ini.â Sehabis mengucapkan itu kembali dia mengaum.
âDengar, Kisana. Aku juga tidak senang penjajah ada di tanahku. Terlebih mereka kerap memanfaatkan kita untuk meraup keuntungan. Lihatlah daerah-daerah di pesisir utara jawa telah mereka kuasai. Dan sekarang mereka hendak menguasai wilayah timur juga. Tiap perselisihan di antara kita, dimanfaatkan betul oleh mereka.
âMungkin sebaiknya, Paman,â kali ini mengarah pada Gajah Seta. âSetelah membuka hutan ini aku akan pergi ke timur,â kata Raden Situbondo kemudian merenung.
âCeritakanlah padaku, Kisana,â tanya Gajah Seta. âSiapa engkau dan bagaimana engkau dan orang-orangmu bisa berada di hutan ini?â
âKami berasal dari selatan,â kata Trung. âSebuah tempat keramat bernama Lodaya. Suatu ketika kami membantu Bupati Pasuruan untuk mengenyahkan para penjajah. Pertempuran demi pertempuran kami menangkan. Ketika para prajurit mulai bersemangat, datang berita bahwa bangsawan-bangsawan yang semula mendukung kami jadi memusuhi kami. Akibatnya para prajurit menjadi terpecah. Dengan mudah laskar-laskar kami dipukul mundur dan kocar-kacir. Entah bagaimana nasib yang lain, aku beserta saudara-saudaraku dan dua ratus orang memilih tinggal dan bersembunyi di hutan ini atas bantuan Adipati Jangrana. Tidak mungkin kami kembali ke Lodaya karena pasti dengan mudah kami akan ditemukan.
âKini jumlah kami tinggal sembilan puluh orang,â lanjutnya sambil menunjuk keliling dengan wajahnya. âItulah saudara-saudaraku beserta rombongannya.â
Raden Situbondo dan Gajah Seta kaget karena ternyata di balik hutan kejauhan serombongan orang datang mendekat dengan senjata lengkap. Jawara di antara mereka nampak mengenakan ikat kepala bermotif loreng harimau. Dengan cepat dua orang berikat kepala itu mendahului rombongan, meloncati belukar dan akar-akar pohon yang menyeruak. Mereka mendarat beberapa langkah di hadapan Raden Situbondo dan Gajah Seta.
âSiapa kalian? Berani-beraninya kalian mengganggu ketenangan kami?â tanya salah seorang di antara mereka.
âLepaskan kakang kami atau kalian akan binasa di sini,â sahut yang lain.
âDengarkan aku, Kisana,â Gajah Seta memulai. âKami tak hendak memulai pertarungan. Lepaskanlah saudara kalian, dan jamulah kami berdua di tempat kalian. Sebagai orang jauh, tentu suatu kehormatan bagi kami bila dapat singgah di tempat kalian. Kelak kami akan bercerita tentang keramahan kalian di tempat yang tidak kalian tahu.â
âKalian diterima di sini, mari kita berkumpul di rumahku,â kata Trung setelah terlepas dari ikatan. âNamaku Trung, ini Wage dan Kalang beserta orang-orang kami. Kalian pasti lapar setelah mengalahkanku. Istri-istri kami pandai memasak. Kalian pasti akan menghabiskan banyak beras kami nanti,â kata Trung kemudian tertawa. Malam itu Raden Situbondo dan Gajah Seta bermalam di perkampungan Simo Bersaudaraâdisebut demikian karena jurus harimau yang mereka miliki. Mereka dijamu dengan meriah meskipun makanannya ala kadarnya mengingat kampung ini merupakan tempat persembunyian.
Sementara itu di bagian lain hutan Raden Joko Taruna nyaris pingsan. Tubuhnya terhuyung di antara pepohonan dan semak belukar. Lama dia berjalan serupa itu hingga suatu saat kakinya tersandung akar pohon. Tubuhnya terjerembab ke dalam semak-semak berduri. Kaki dan tangannya tersangkut tak bisa bergerak. Dia hanya bisa berteriak minta tolong dengan suaranya yang parau di tengah hutan itu sebelum pada akhirnya tak sadarkan diri.
Joko Jumput yang kebetulan berada tak jauh dari tempat itu segera mencari sumber teriakan. Dia menemukan Raden Joko Taruna pingsan. Segera dia angkat tubuh itu dan membawanya ke tempat yang lapang. Di sana dia rawat luka-luka Raden Joko Taruna sambil membersihkan bagian-bagian tubuh yang kotor. Tidak mungkin membawa si sakit keluar hutan dalam keadaan serupa itu. Demi menunggui si pingsan, Joko Jumput rela bermalam di dalam hutan.
Esoknya Raden Situbondo memerintahkan agar menjemput Gajah Menggala beserta rombongannya di hutan timur untuk bergabung. Telah disepakati bahwa hutan tempat Simo bersaudara tinggal akan dibuka. Akan tetapi jati diri mereka tetap dirahasiakan. Mereka disamarkan sebagai rombongan Raden Situbondo. Raden Situbondo juga berpesan agar kelak jika tempat itu menjadi ramai agar diberi nama sesuai dengan nama mereka****. Trung, Wage, Kalang, dan yang lain setuju. Mereka juga bertanggung jawab menjaga keamanan di wilayah itu karena merekalah yang dianggap sebagai tetua.
Raden Situbondo merasa bahwa tugasnya membuka hutan telah selesai. Baginya sudah tidak penting lagi apakah Sang Putri menerima lamarannya atau tidak. Sekarang dia berharap bisa menyelesaikan tugas ini dengan sempurna kemudian berlayar pulang. Dia juga berangan-angan hendak menyebrangi laut dan menetap di sebuah tempat sekitar bekas kerajaan Blambangan, menjaga wilayah itu dari tangan-tangan penjajah. Kepedihannya padam disiram berbagai pengalaman selama membuka hutan dan cita-cita barunya menjaga tanah airnya dari penjajah. âPerjuangan membela tanah air masih panjang,â pikirnya.
Ketika orang-orang sibuk bekerja datanglah Joko Jumput. Kedatangannya kali ini menampakkan sikap permusuhan. Dia melewati orang-orang tanpa menghiraukannya. Kemudian dia berteriak.
âHai, kau, Raden Situbondo. Ternyata aku keliru mengira kau sebagai seorang ksatria pilih tanding. Ternyata kau seorang pengecut yang menggunakan tangan orang lain untuk mengalahkan musuhmu. Kemari dan hadapilah aku jika kau seorang ksatria.â
Raden Situbondo yang merasa heran menghampiri Joko Jumput. Dengan segera dia menjawab, âApa yang engkau maksud?â
 âAku hendak menuntut balas Raden Joko Taruna karena kalian telah memperlakukannya semena-mena.â
Tiba-tiba sebuah sumpit melayang mengenai tubuh Raden Situbondo. Semua orang terkejut, tak terkecuali Joko Jumput. Segera mereka memperhatikan sekeliling hutan mencari pemanah gelap itu. Gajah Seta dan beberapa orang lainnya mendekati Raden Situbondo. Beruntung Raden Situbondo cukup sigap sehingga sumpit itu tidak mengenai bagian tubuhnya yang vital. Meski begitu, sumpit itu telah dilumuri racun tua dari saripati pohon upas yang telah direndam. Bagian kulit yang terkena mata sumpit langsung merah terbakar.
Joko Jumput yang kaget melihat kejadian itu segera berbalik dan berteriak, âPengecut kau, hai, Joko Taruna! Kenapa kau tidak keluar menantang Raden Situbondo dan malah melemparkan sumpit. Hendak aku bantu kau mengalahkan musuh-musuhmu, kini kau malah mengkhianati adu tandingku. Jangan lari kau, rasakan pembalasanku.â
âTunggu!â Teriak Raden Situbondo mencegah Joko Jumput. âBiarkanlah dia pergi. Kelak dia akan memetik buah perbuatannya sendiri. Kalau kau sudi, bantulah aku menawar racun dalam senjata ini.â
âSebelumnya, hamba sampaikan beribu maaf, Raden. Sepertinya hamba termakan tipuan Raden Joko Taruna.â Kata Joko Jumput sambil menghampiri Raden Situbondo. âDia mengatakan bahwa engkau telah memerintahkan Trung untuk mengalahkannya. Lalu dia meminta bantuan hamba karena dia tidak dapat melawan kalian seorang diri.â
âBukan begitu ceritanya,â Kata Trung. âAkulah yang telah menghajarnya. Dia pemuda yang tak mengenal tata krama. Di hutan dia terus berteriak tanpa henti sehingga mengganggu pekerjaan kami. Hewan-hewan pada lari mendengar suaranya sehingga kami kesulitan berburu. Karena itu kami beri dia pelajaran. Raden Situbondo yang menyelamatkan dia dari kami. Seandainya Raden Situbondo tidak datang, tentu dia sudah jadi bulan-bulanan.â
 âAku kenal racun ini,â kata Joko Jumput. âIni seperti racun yang digunakan oleh pejuang-pejuang Maluku melawan penjajah. Aku bisa menyembuhkannya.â
âPaman,â kata Joko Jumput kepada Gajah Seta kemudian. âLekas kejarlah Paman Menggala agar tidak melukai Joko Taruna. Kakang Trung ajaklah beberapa orang mencari tumbuhan penawar dan pergilah ke Kedung Gempol. Di sana ada sebuah sumber mata air yang segar. Kita akan membawa Raden Situbondo ke sana untuk diobati. Aku juga akan mencari penawarnya di hutan. Biarlah kakang Wage dan yang lainnya yang membawa Raden Situbondo ke Kedung Gempol. Letaknya tak jauh dari hutan yang telah kalian buka kemaren.â
Hampir tengah hari ketika Raden Situbondo tiba di Kedung Gempol. Mereka merebahkan tubuh Raden Situbondo tak jauh dari mata air. Begitu segar sumber air itu sampai-sampai orang berebut meminumnya, lupa dengan Raden Situbondo. Ketika seseorang teringat, mereka segera mengambilkan air dan meminumkannya kepada Raden Situbondo.
Tak lama kemudian Gajah Seta dan Gajah Menggala hadir. Raut wajah mereka dilumuri amarah. Tidak terima keponakannya menderita serupa itu. Mereka berjalan mondar-mandir di dekat aliran air tak sabar.
Beberapa saat kemudian datanglah rombongan Trung membawa tumbuh-tumbuhan penawar. Joko Jumput menyusul kemudian dengan langkah kaki yang lebih cepat. Segera dia bekerja dengan ramuan yang sudah didapat. Sebagian ada yang diperintahkan untuk menyiapkan perapian untuk merebus ramuan, sebagian lagi ditumbuk untuk dioleskan ke luka.
Racun yang menyerang itu membuat tubuh Raden Situbondo merasa demam. Keringat dingin keluar dari sekujur tubuhnya. Joko Jumput memerintahkan Gajah Seta agar memberi minum dari sumber air.
Malam itu Raden Situbondo merasakan demam. Tubuhnya serasa terbakar. Joko Jumput menolaknya dengan memberinya minum dalam jumlah yang lebih banyak dan mengompresnya.
âMinumlah ini, Raden.â Kata Joko Jumput. âAir ini adalah sumber kehidupan. Takkan racun itu meremas jantungmu selama kau meminum air ini.â
Sementara itu beberapa orang yang diutus untuk mengetahui keberadaan Raden Joko Taruna telah kembali. Mereka bercerita bahwa Raden Joko Taruna telah mengatakan kepada Adipati Surabaya bahwa Raden Situbondo telah berhasil dikalahkan dan dibunuh. Dengan demikian dialah yang menjadi pemenang sayembara untuk meminang Putri Adipati.
Segera diumumkan kepada penduduk bahwa Raden Joko Taruna yang telah memenangkan sayembara akan segera dikawinkan dengan Sang Putri. Akan diadakan pesta rakyat dalam perkawinan itu. Kadipaten akan menggelar hiburan untuk rakyat berupa tari-tarian tiga hari tiga malam. Gajah Seta dan Gajah Menggala mendengar cerita itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Esoknya Raden Situbondo bangun pagi sekali. Demamnya telah turun. Namun tubuhnya masih terasa lemas. Dia tengah berbincang dengan Joko Jumput di dekat mata air.
âTuan, terima kasih telah menolong saya. Jasa tuan akan tinggal di dalam lubuk hati saya. Hamba hendak berpesan, kelak bila di tempat ini telah ramai berilah nama Banyu Urip***** agar waktu tidak menanggalkan kebaikan tuan. Dan ini adalah tempat yang bagus untuk pengobatan. Mungkin kelak sebuah balai pengobatan bisa dibangun di sini.
âKalau tidak keberatan, hamba hendak meminta bantuan sekali lagi. Susullah Raden Joko Taruna. Sampaikan kepada Adipati dan Sang Dewi kejadian yang sebenarnya di hutan ini. Aku tidak ingin Adipati dan Sang Dewi tertipu meski sebenarnya mereka juga gembira apabila Raden Joko Taruna yang muncul sebagai pemenang. Kabarkanlah bahwa engkaulah yang telah mengalahkanku dalam pertarungan. Aku lebih rela Sang Dewi menikah denganmu. Kau seorang ksatria pilih tanding yang menyembunyikan jati dirimu. Kau memiliki darah bangsawan Mataram. Kelak semua orang akan mengetahuinya.
âBawalah keris pusaka milikku sebagai bukti. Aku pasrahkan keris ini padamu. Aku yakin Adipati dan Sang Dewi lebih percaya padamu.â
Dengan berbekal keris pemberian Raden Situbondo, berangkatlah Joko Jumput menuju Kadipaten. Dia merasa heran, bagaimana dirinya bisa terlibat dalam konflik perebutan Putri Adipati. Tapi membayangkan sosok Sang Dewi membuat pikirannya mantap. Dia bertekad hendak mengungkap kecurangan Joko Taruna dan kemudian mempersunting Sang Dewi. Dia membayangkan bahwa ibunya yang telah tua akan merasa gembira.
Hampir tengah hari ketika Joko Jumput tiba di halaman Kadipaten. Kepada prajurit jaga dia mengatakan hendak bertemu dengan Adipati untuk mengambil imbalan karena telah memenangkan sayembara. Sempat terjadi perselisihan karena pemenang sayembara telah diumumkan. Tapi ketika Joko Jumput menunjukkan keris milik Raden Situbondo yang dibawanya, para prajurit jaga yang semula hendak mengusirnya kini berbondong-bondong mengantarkan Joko Jumput menuju halaman pendopo.
Adipati yang mendengar berita itu segera datang dan memerintahkan orang untuk memanggil Raden Joko Taruna. Para pembesar Kadipaten juga dipanggil. Ketika semua telah berkumpul, Joko Jumput dipersilahkan naik ke dalam pendopo.
âMohon ampun sebelumnya, Paduka. Hamba kemari hendak menyampaikan bahwa Raden Situbondo telah hamba kalahkan.â
âSiapa sebenarnya engkau? Apakah benar engkau telah mengalahkan Raden Situbondo yang terkenal sebagai ksatria pilih tanding yang sakti mandraguna?â Tanya Adipati.
âNama hamba Joko Jumput, Paduka. Ibu hamba adalah janda penjual jamu yang tinggal di daerah Praban. Mengenai perihal Raden Situbondo, hamba membawa bukti berupa keris milik Raden Situbondo.â
Semua orang yang hadir terkejut. Begitu juga dengan Adipati. Semua yang hadir mulai memperhatikan sosok Joko Jumput dengan lebih serius sambil melirik-lirik ke arah Raden Joko Taruna. Raden Joko Taruna merasa gelisah.
âKatakanlah padaku, hai, anak muda. Manakah yang harus kupercaya, orang yang pertama datang atau yang kemudian? Menurut hematku, kalaupun kalian berdua bersatu melawan Raden Situbondo, belum tentu kalian dapat mengalahkannya.
âRaden Joko Taruna,â Sekarang Adipati beralih pertanyaannya. âApakah benar engkau telah mengalahkan Raden Situbondo? Kenapa tiba-tiba ada orang lain yang mengakui kemenanganmu?â
âIjinkan hamba bicara,â jawab Raden Joko Taruna. âMemang benar saya telah mengalahkan Raden Situbondo. Dia memang ksatria pilih tanding namun ternyata dia tidak tahan menghadapi jurus pamungkas hamba hingga dia terpental dan jatuh. Hamba tidak tahu apakah dia mati atau sekedar pingsan. Tapi hamba yakin Raden Situbondo pasti mati karena selama ini belum ada seorang pun yang dapat hidup menahan jurus pamungkas hamba. Hamba tidak meneruskan pertarungan karena musuh telah nyata-nyata hamba kalahkan.
âMungkin kebetulan pemuda ini berada di dekat situ kemudian mengambil keris milik Raden Situbondo yang sedang sekarat. Kemudian dia datang kemari berharap dapat menemukan kehidupan mulya dengan keris yang dicurinya.â
âKalau memang benar begitu, Raden,â sela Joko Jumput sambil bangkit. â ijinkan hamba menerima jurus pamungkas yang Raden miliki. Tak salah apa yang dikatakan Raden Situbondo. Engkau tidak dapat memahami belas kasih orang lain. Bukankah Raden Situbondo sendiri yang menyelamatkan engkau di hutan sana? Bukankah tangan hamba ini yang membebaskan engkau dari semak berduri? Hatimu seperti batu. Kelak engkau akan dikenal sebagai orang yang terbuat dari batu,â ucap Joko Jumput menggeledek.
Adipati tertarik dengan kata-kata yang dilontarkan Joko Jumput. Dia hendak bertanya lebih jauh mengenai kejadian sebenarnya di dalam hutan. Namun salah seorang pembesar Adipati yang masih berkerabat dengan Raden Joko Taruna menukas.
âKenapa tidak diadakan adu tanding saja di antara mereka berdua. Barangsiapa yang keluar jadi pemenangnya, dialah yang akan mempersunting Sang Dewi karena tentu dialah yang dapat mengalahkan Raden Situbondo yang terkenal dengan ajian Gajah Panodya itu.â Dalam pikiran pembesar ini, kisah Raden Joko Taruna lebih bisa dia terima dibandingkan kisah dari pemuda gembel itu.
âTidak!â Jawab Joko Jumput. âHamba kemari tidak untuk bertarung demi memperebutkan Sang Dewi. Hamba kemari membawa sebuah kebenaran. Kebenaran ini harus diungkap. Kalau soal pertarungan, hamba yakin semua orang tahu siapa yang akan keluar jadi pemenangnya. Raden Joko Taruna bukan lawan yang sepadan bagi hamba.â
Mendengar dirinya dihina Raden Joko Taruna menjadi amarah. Dia pusatkan konsentrasi dan merapal ajian pamungkasnya. Dalam waktu singkat tubuhnya melesat menyerang ke tengah pendapa. Joko Jumput yang tidak siap menerima serangan itu terpental hingga ke halaman pendopo. Mulutnya berdarah namun dia segera bangkit menyongsong ulah tanding Raden Joko Taruna.
Pertarungan di halaman pendopo berlangsung seru. Raden Joko Taruna mengeluarkan segenap kesaktiannya. Namun setiap pukulan dan tendangannya selalu dapat dielakan. Dalam satu gerakan ceroboh Raden Joko Taruna terhuyung kehilangan keseimbangan. Joko Jumput dengan mudah menjatuhkan lawannya. Dengan satu jurus cepat Raden Joko Taruna rubuh tidak berdaya.
Orang-orang yang menyaksikan segera mengangkat Raden Joko Taruna dari tanah. Dengan dikalahkannya Raden Joko Taruna, maka Joko Jumput berhak menjadi pemenang sayembara. Adipati memutuskan bahwa Joko Jumputlah yang akan meminang Sang Putri. Segera dibuat pengumuman baru dan disebarkan kepada rakyat. Adipati merasa senang karena calon menantunya ini bukanlah seorang ksatria kacangan. Apalagi sang calon menantu memiliki keris sakti milik Raden Situbondo. Konon keris itu telah banyak digunakan di berbagai medan pertempuran dan tidak sedikit menyadap darah lawan-lawannya.
Malamnya diam-diam Raden Situbondo mendatangi wilayah keputrian, tempat di mana sang dewi berada. Dia hendak menyaksikan sang dewi untuk kali penghabisan. Dengan ajian bayu puputan dia masuk ke dalam istana keputrian tanpa diketahui.
âTuan Putri,â tegur Raden Situbondo.
Sang dewi yang tengah memikirkan Joko Jumput tersentak mendengar namanya dipanggil. Hampir saja dia berteriak mengetahui ada sosok dalam gelap memanggilnya.
âBagaimana engkau bisa kemari? Apakah yang hendak engkau perbuat padaku? Aku akan berteriak memanggil prajurit untuk menangkapmu.â
âTunggu, tuan putri,â sela Raden Situbondo. âKedatangan hamba kemari hanya untuk memastikan kebahagiaan tuan putri kelak. Hamba merasa lega karena Joko Jumputlah yang akan mempersunting engkau. Melihat engkau bahagia, meski pun dari jauh sudah cukup bagi hamba. Sebagai hadiah pernikahan, terimalah batu hijau bertuah ini. Kenakanlah sebagai perhiasan agar terpancar kecantikanmu. Dengan begitu gelora cinta hamba dapat terpuaskan. Kelak bila kalian telah tua, lihatlah batu itu dan kenanglah kalian berdua akan hamba yang hina ini.
Setelah menyerahkan batu hijau bertuah itu, Raden Situbondo segera pergi dan menghilang dalam kepekatan malam. Sejak saat itu tidak banyak yang mendengar kabar mengenai dirinya. Sebagian orang mengatakan setelah kembali ke tanah Madura, dia menyebrangi laut dan membuka hutan di bekas wilayah Blambangan. Sebagian lagi mengatakan dia mati dalam perjalanan pulang ke tanah asalnya. Yang pasti, hutan-hutan yang telah dia buka kini menjadi perkampungan yang padat penduduknya. Di banyak tempat terpampang patung harimau untuk mengenang kisah Simo bersaudara.
Catatan :
* Hutan Kitri = Wonokitri, nama salah satu kampung yang ada di Surabaya
** Kupang menjadi nama depan kampung di Surabaya seperti Kupang Krajan, Kupang Gunung, Kupang Segunting, dan sebagainya.
*** Di daerah Praban Surabaya terdapat makam kuno yang dipercaya sebagai tempat peristirahatan Joko Jumput.
**** Konon nama-nama kampung seperti Simo Katrungan, Simo Kewagean, atau pun Simo Kalangan berasal dari nama-nama yang ada dalam cerita ini.
***** Perkampungan yang terletak di sebelah timur perkampungan Simo.
ÂÂ