Puisi Toeti Heraty berjudul Dialog yang dipetik dari kumpulan puisi berjudul Mimpi dan Pretensi cukup menarik untuk dibincangkan. Bukan hanya dari bentuk topografinya yang unik, akan tetapi situasi yang coba diungkapkan melalui baris-baris kata menggugah emosi pembaca (baca: penulis) untuk turut larut dalam situasi itu. Terlebih apabila puisi itu diperbandingkan dengan puisi lain dari buku yang sama. Akan nampak betapa sebuah pertemuan menghadirkan makna yang berbeda bagi mereka yang saling bertemu. Berikut petikan pusi tersebut:
ÂÂ
Dialog
ÂÂ
di atas meja
           antara mereka berdua
           vas besar dengan kembang-kembang
           kembang kertas menutupi pandang
           belum ada yang menyisihkannya
ÂÂ
kata dan pandanglah
           yang melintasi kembang
           sementara itu sembumyi diam karena
           pertemuan yang terlampau telanjang
           dan tiba-tiba
           harus diatasi
ÂÂ
tak ada malam tapi bulan turut bicara
dan kerlap-kerlip bintang meluncur karena
kapal terlalu lancar tahu benar
apa yang dituju
asing dari kegagalan â
ÂÂ
di atas meja kini terang
dengan kelangsungan kata dan pandang
bunga-bunga,
telah disingkirkan olehnya
juni â67
(sumber: Toeti Heraty. Mimpi dan Pretensi. Jakarta: PT Balai Pustaka, 1982.)
ÂÂ
Bagaimana makna sebuah pertemuan nampak misalnya pada puisi berjudul Pertemuan misalnya terungkap bagaimana arti sebuah pertemuan bagi si aku lirik melalui baris-baris âSebenarnya lucu baru kini kita bertemu./lucu? sampai hati benar mengatakan ini!/ini, adalah suatu tragedi ââ. Melalui baris-baris itu terungkap paradoks pertemuan di mana kawan temu aku lirik menganggap pertemuan itu lucu, yang bagi aku lirik adalah tragedi. Pertemuan dengan siapa gerangan yang dapat menjadi tragedi? pertemuan yang dinanti-nanti, pertemuan yang lupa untuk disadari, atau juga pertemuan yang terjadi dengan tak disengaja. Pertemuan seperti itulah yang bagi si aku lirik merupakan tragedi. Sosok yang selalu dinanti itu ternyata membawakan kegelisahan tersendiri bagi si aku lirik.
Tulisan ini bukanlah karangan yang bersifat ilmiah. Oleh karena itu penulis tidak mempergunakan acuan-acuan yang bersifat teoretis. Akan tetapi lebih merupakan hasil pembacaan penulis atas puisi yang dimaksud. Dengan menuliskan pengalaman yang telah diperoleh ini, penulis berharap dapat membagikan pengalamannya kepada pembaca. Juga sebaliknya, kritik dan saran akan sangat membantu penulis dalam memahami puisi yang dimaksud. Dengan begitu pengalaman yang didapat bisa semakin luas. Jadi mari sekarang ijinkan penulis memulai pembahasan ini.
Pada bait pertama baris pertama puisi Dialog si aku lirik menghadirkan sebuah objek ruang yang akan menjadi simpul dalam puisi ini, yaitu di atas meja. Dikatakan menjadi sebuah simpul karena objek ini dihadirkan di awal bait pertama yang menjadi pembuka bagi puisi ini dan bait terakhir yang menjadi penutup. Juga nuansa yang dihadirkan di bagian awal sangat berbeda dengan bagian akhir. Sebab meja yang diungkap pada baris pertama ternyata nanti bukanlah meja yang sama seperti yang terungkap pada bait terakhir.
Penggunaan kata tempat âdiâ dimaksudkan untuk mengajak pembaca agar mengarahkan perhatiannya pada tempat yang ditunjuk. Frasa di atas meja dalam hal ini lebih menyaran makna yang bersifat denotatif, bukan merupakan lambang atau metafora tertentu. Dengan kata lain di atas meja mesti dipahami sebagaimana bentuk referen meja dan di atas sebagaimana wujudnya pada benda yang ada di dunia objek nyata dan ruang yang terletak di atas nya.
Baris pertama ini seolah menjadi pintu masuk bagi bait pertama. Sebab baris-baris berikutnya yang oleh aku lirik diletakkan dengan indensi yang lebih dalam seolah-olah menunjukkan bahwa baris-baris tersebut merupakan turunan dari induknya di baris pertama. Penyusunan topografi seperti ini tentu bertujuan untuk menciptakan efek puitik tertentu, yang dalam hal ini dapat dimaknai sebagai turunan dari fokus perhatian yang hendak diungkap oleh aku lirik.
Hal ini terasa tepat karena pada baris berikutnya aku lirik menulis antara mereka berdua. Pada baris ini ada pergerakan dari dunia benda ke dunia yang bernyawa yang diwakili oleh frasa mereke berdua. Objek pada baris pertama rupa-rupanya terletak antara subjek yang hendak dikisahkan oleh si aku lirik dalam puisinya. Kemudian juga terungkap adanya dua orang yang yang sama-sama bersinggungan dengan objek di atas meja. Yang patut menjadi pertanyaan pada baris ini adalah kata antara; seperti apakah ruang yang hendak diungkap dengan kata antara?
Pemahaman yang langsung ditangkap adalah situasi di mana terdapat dua orang duduk berseberangan dalam satu meja yang sama. Mungkin di sebuah restoran atau cafe. Tentunya sebuah tempat di mana seseorang dimungkinkan duduk di depan sebuah meja. Ini bentuk pemahaman awal dan dapat dijadikan sebagai acuan awal. Akan tetapi pemahaman tersebut harus ditinggalkan nantinya, karena justru pada situasi seperti inilah si aku lirik hendak menyembunyikan pertemuan yang dialami mereka berdua.
Baris ketiga terungkap objek lain yang masih berhubungan dengan objek meja, yaitu vas besar dengan kembang-kembang. Baris ini juga mesti dipahami berdasarkan makna denotatifnya. Artinya vas kembang dengan kembang-kembang lebih merujuk pada sebuah benda yang dimaksudkan sebagai jambangan tempat bunga untuk hiasan di atas meja. Begitu juga kembang-kembang mesti dipahami berdasarkan makna denotatifnya. Meski demikian, terasa ada yang aneh jika kita memahami baris kedua ini merupakan bentuk makna yang denotatif. Sebab jika kita kembali kepada bentuk pemahaman awal seperti telah disebutkan, terasa ada yang janggal dengan penataan yang ada: mungkinkah sebuah vas besar diletakkan di atas meja yang mana dapat mengganggu aktifitas orang yang akan menggunakan meja itu? Seandainya itu meja restoran, barangkali yang lebih tepat diletakkan di atas meja adalah vas kecil karena vas besar berpotensi mengganggu kenyamanan. Begitu juga seandainya itu meja cafe, tentu vas besar dapat mengganggu peruntukannya bercakap-cakap dengan kawan bicara. Tapi vas besar itu terletak di atas meja, dan penggambaran itu tidak dapat dimaknai secara langsung. Artinya, si aku lirik hendak menyampaikan sesuatu dengan meletakkan objek di tempat yang kurang semestinya.
Setelah pada baris-baris sebelumnya perhatian diarahkan kepada objek-objek yang diungkap oleh aku lirik, pada baris keempat perhatian diarahkan kepada hubungan antar objek tersebut. Pada baris ini terdapat objek kembang kertas yang dapat merujuk pada frasa kembang-kembang sebagai atributnya. Kini diketahui ciri objek yang disebut pada baris sebelumnya: kembang-kembang. Pemilihan objek kembang kertas mengesankan adanya sesuatu yang tidak alami dalam puisi ini. Barangkali di tempat yang hendak diungkap dalam puisi ini memang terdapat kembang kertas, tapi dengan mengangkat objek tersebut ke dalam sebuah puisi dapat menghadirkan asosiasi makna yang berbeda: sebuah pemandangan yang artifisial tengah hadir di hadapan.
Lebih jauh digambarkan bahwa kembang kertas ini memiliki daya hidup karena keberadaannya digambarkan mampu menutupi pandang. Pada baris keempat ini terungkap hubungan yang ada di antara subjek yang diwakili dengan kata mereka, yaitu adanya dua orang saling berhadapan akan tetapi pandang mereka saling terhalang. Hubungan antara dua subjek itu seolah-olah terpisah, padahal mereka bersama-sama di atas meja. Aneh, kenapa pelayan restoran meletakkan vas besar di antara mereka? Lebih aneh lagi, dua subjek itu pada akhir bait pertama digambarkan belum ada yang menyisihkannya. Bukankah seharusnya mereka terganggu oleh keberadaan vas besar itu? Baris terakhir ini mengesankan keengganan masing-masing subjek untuk menyisihkan sesuatu yang menghalangi mereka berdua.
Dalam hubungan antar objek yang ada pada baris pertama, keberadaan benda-benda seperti meja dan vas bunga mengungkapkan letak atau posisi dari subjek-subjek yang diwakili oleh kata mereka. Objek-objek tersebut seolah menjadi penanda jarak dalam hubungan interaksi mereka. Penanda jarak ini dipertegas lagi pada baris kelima, di mana masing-masing subjek enggan meniadakan jarak dengan tidak bertindak menyisihkannya.
Pada baris kedua perhatian bergeser pada masing-masing subjek. Katakanlah pada bait pertama telah diketahui bahwa ada mereka di suatu tempat yang oleh aku lirik hendak diungkap dalam puisinya. Pada bait kedua kita akan dibawa pada situasi interaksi yang terjalin antara mereka berdua. Baris pertama kata dan pandanglah menunjukkan objek yang digunakan oleh mereka untuk berinteraksi.
Sebagaimana halnya sebuah pertemuan antara dua orang di mana percakapan sangat mungkin terjadi, kata dan pandang menjadi sarana untuk bangun percakapan. Akan tetapi kalau bait pertama dipahami bahwa antara mereka berdua terdapat penanda jarak melalui objek vas besar yang diletakkan di antara mereka, bagaimana kata dan pandang dapat dijalin? Jika pandang bisa saja terjadi meski antara mereka tidak berada dalam jarak yang berdekatan, lain halnya dengan kata; kata yang diucapkan seperti apa yang dapat meniadakan jarak antara keduanya? Kata pada baris ini mesti dipahami sebagai kata yang lahir dari sebuah percakapan, ataukah sebagai ungkapan lain dari bukankah setiap kali gelisah kita/bicara tentang apa saja sebagaimana terungkap pada puisi Toeti Heraty lain yang berjudul Pertemuan?
Sepertinya makna kata pada baris ini lebih dekat maknanya sebagaimana terungkap dalam puisi berjudul Pertemuan, bukan sebagai kata yang lahir dari percakapan. Sebab pada bagian ini percakapan yang sesungguhnya belumlah berlangsung. Mereka masih berada pada situasi sebagaimana terungkap pada bait pertama.
Hal ini juga terungkap pada baris berikutnya yang menghadirkan lagi penanda jarak yang ada pada bait pertama yang melintasi kembang. Jika diperhatikan baris-baris sebelumnya, terdapat objek yang melakukan tindakan aktif positif seperti menutupi yang dilakukan oleh kembang kertas; sedangkan subjek cenderung melakukan tindakan aktif negatif menyisihkan karena tindakan itu diikuti oleh frasa belum ada. Dikatakan negatif karena tindakan itu hadir tapi tidak terlaksana atau belum terlaksana, sebagai kebalikan dari tindak positif.
Pada bait kedua baris kedua ini juga terdapat tindakan aktif positif yang dilakukan oleh objek kata dan pandang. Objek-objek itu bergerak yang melintasi kembang. Sedang mereka sebagai subjek sementara itu sembunyi diam karena/pertemuan yang terlampau telanjang. Jika bait pertama tidak dipahami sebagaimana yang telah diungkapkan, maka baris-baris sementara itu sembunyi diam akan terkesan janggal. Bukankah kata dan pandang sudah melintasi kembang yang berarti memang percakapan itu sedang berlangsung? Ya, tapi bagaimana dengan sementara itu sembunyi diam?
Keberadaan kembang kertas bagi mereka rupanya selain menutupi pandang juga menjadi semacam tempat untuk sembunyi diam. Kita dapat bertanya, mengapa begitu alot pertemuan yang terjadi? Tapi memang itulah yang hendak diungkap oleh Toeti Heraty. Pertemuan antara siapa dengan siapa sebenarnya yang terjadi?
Situasi pertemuan yang meliputi mereka terungkap pada baris keempat bait kedua pertemuan yang terlampau telanjang. Kata pertemuan sudah dapat diterka maknanya, tapi bagaimana dengan kata telanjang yang mendapat penekanan lagi melalui kata terlampau. Seperti apakah kata telanjang ini harus dimaknai? Pertemuan di mana masing-masing tidak lagi merasa ada sesuatu yang perlu ditutupi untuk berdialog, atau pertemuan  di mana masing-masing akan saling mengungkap isi hati tanpa merasa malu?
Untuk dapat memaknai kata telanjang yang mendapat tekanan terlampau perlu ditelusuri puisi lain yang juga mengangkat pertemuan sebagai tema. Hal ini dirasa perlu agar kata telanjang itu mendapat tempat yang semestinya sebagai lambang tertentu yang dihadirkan oleh Toeti Heraty. Sebab pertemuan seperti sudah disebutkan, mempunyai tragedinya sendiri. Seperti pada puisi berjudul Saat-saat Gelap terungkap baris saat-saat gelap pertemuan yang dapat menyaran pada situasi adanya pertemuan yang (dalam tanda kutip) âdisembunyikanâ. Atau pada puisi berjudul Impasse pada larik kedua bayangan gelap dalam kamar/amboi, tak âkan sampai pada pertemuan.
Pada petikan puisi-puisi tersebut menyiratkan bahwa pertemuan bagi aku lirik Toeti Heraty bernuansa gelap dan tersembunyi. Oleh sebab itu harus dirahasiakan, ditutupi, dan dikeramatkan. Tapi kini pada puisi berjudul Dialog yang terjadi sebaliknya, pertemuan itu berlangsung secara telanjang bahkan ketelanjangan itu berada pada tingkatan terlampau.
Nampaknya situasi terlampau telanjang inilah yang menyebabkan mereka belum berbuat menyisihkan objek-objek yang menutupi pertemuan mereka. Mungkin mereka merasa malu atas pertemuan itu. Malu karena pertemuan itu tidak berlangsung pada kegelapan malam yang dapat menyembunyikannya.
Ironis tersebut lebih kentara dengan mensejajarkan frasa dan tiba-tiba pada baris kelima bait kedua. Sebab selain keterbukaannya, pertemuan itu juga terjadi secara tiba-tiba. Atau meminjam istilah Toeti Heraty âinilah pertemuan yang dinanti-nanti/akhirnya lupa untuk disadariâ seperti terungkap pada puisi berjudul Pertemuan. Pensejajaran frasa dan tiba-tiba dengan terlampau telanjang memiliki hubungan makna yang dekat dengan baris-baris pada puisi Pertemuan seperti yang telah disebutkan. Mereka terjekut dan malu. Akan tetapi pertemuan itu harus diatasi oleh mereka berdua sebagaimana terungkap pada baris terakhir bait kedua.
Bait ketiga menghadirkan nuansa berbeda dengan dua bait sebelumnya. Secara umum, bait ketiga ini memiliki perbedaan bentuk dengan bait-bait lain dalam puisi ini. Bait ini ditulis mulai dari lajur kiri tanpa ada indensi pada baris-baris sesudah baris pertama seperti pada bait lain. Perbedaan bentuk ini dapat dipahami bahwa si aku lirik pada bait ini tengah mengungkapkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang bergerak lalu hadir di antara mereka.
Baris pertama tak ada malam tapi bulan turut bicara mengungkap bahwa situasi di mana pertemuan itu berlangsung di siang hari. Kata malam dan bulan pada baris ini mesti dimaknai sebagaimana malam dan bulan pada pengalaman di dunia nyata, yaitu waktu di mana matahari tak bersinar dan objek satelit bumi yang berada di angkasa pada waktu itu.
Makna ini merupakan makna yang ada pada teks puisi tersebut. Akan tetapi jika kita baca puisi lain yang mengangkat tema pertemuan, akan tampak bahwa malam merupakan simbol dari semacam tempat persembunyian. Baris pertemuan yang terlampau telanjang/dan tiba-tiba/ ini segera harus diatasi dengan cara menyembunyikan pertemuan itu lewat kegelapan malam. Nuansa malam yang dibangun melalui baris ini lebih mengungkap fungsinya sebagai âpenyembunyiâ daripada sebagai penanda waktu.
Baris berikutnya dan kerlap-kerlip bintang meluncur karena mengungkap kehadiran atribut lain dari malam. Pada baris ini terdapat sebuah kata kerja meluncur yang merupakan tindakan dari subjek kerlap-kerlip bintang. Pertanyaannya adalah: meluncur ke mana subjek dalam baris ini? Meluncur pergi yang mana berakibat pada ketiadaan eksistensinya ataukah meluncur datang yang berakibat pada kehadiran eksistensinya? Tidak diungkap ke mana meluncur nya. Akan tetapi jika dihubungkan dengan baris sebelumnya di mana nuansa malam dihadirkan, maka meluncur pada baris ini dapat dimaknai sebagai meluncur hadir bersama bulan. Nuansa malam yang dibangun menghadirkan objek-objek yang hanya nampak pada malam hari, yaitu bulan dan kerlap-kerlip bintang.
Baris berikutnya kapal terlalu lancar tahu benar memiliki sebab-akibat dengan baris sebelumnya. Kehadiran objek-objek pada baris sebelumnya merupakan akibat dari keberadaan kapal pada baris ini. Kapal sebagai sarana untuk menjelajah lautan digambarkan terlalu lancar. Tidak diketahui apakah kapal di sini menggunakan tenaga mesin ataukah tenaga angin dengan layar terkembangnya, akan tetapi penggunaan kapal menunjukkan adanya tingkat teknologi baru pada sarana penjelajah lautan ini. Ini berarti kapal pada baris ini lebih dekat pada sebuah kapal motor ketimbang perahu layar. Sebuah kapal motor tentu saja tidak lagi bergantung pada alam untuk mendorong lajunya. Dengan kata lain kecepatan laju bergantung sepenuhnya pada diri kapal ini. Maka alam tidak lagi menjadi penghalang bagi kapal ini, kecuali badai.
Tapi tidak ada badai dalam baris ini, juga pada puisi ini keseluruhan. Laut yang tersirat dalam baris ini adalah laut yang tengah tenang. Yang menggelitik pertanyaan saya adalah: kenapa tidak dipilih kata perahu yang dapat membawa asosiasi makna yang lebih sendu? Karena baris-baris ini mencoba memutar estetika yang digaungkan oleh Chairil Anwar. Secara sepintas akan dibahas hubungan puisi Toeti Heraty berjudul Dialog dengan puisi Chairil Anwar yang berjudul Cintaku Jauh Di Pulau.
Pembahasan ini dirasa perlu mengingat kedua puisi tersebut sama-sama mengangkat tema tentang pertemuan. Selain itu kedua puisi tersebut juga menghadirkan nuansa kapal atau perahu dan laut, juga bulan. Hubungan kedua puisi tersebut mengandaikan hubungan intertekstual, di mana puisi Chairil dapat dianggap sebagai hipogram dari puisi Toeti Heraty. Berikut akan dikutip sajak Chairil Anwar yang berjudul Cintaku Jauh di Pulau.
ÂÂ
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri.
ÂÂ
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan oleh-oleh buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak âkan sampai padanya.
ÂÂ
Di air yang tenang, di angin mendayu
di perasaan penghabisan segala melaju
ajal bertakhta, sambil berkata:
âTujukan perahu ke pangkuanku saja.â
ÂÂ
Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama âkan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
ÂÂ
Manisku jauh di pulau,
Kalau âku mati, dia mati iseng sendiri.
(sumber: Chairil Anwar. Aku Ini Binatang Jalang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007).
ÂÂ
Puisi Chairil di atas mengungkapkan kerinduan si aku lirik pada sosok gadis manis, yang pada baris lain disebut sebagai si pacar. Rindu akan sebuah pertemuan. Kalau kita perhatikan pada puisi Chairil di atas terdapat frasa seperti peralu melancar, bulan memancar, angin membantu, laut terang pada bait kedua. Frasa-frasa tersebut mengungkap nuansa laut yang tenang dan tepat untuk berlaut. Perlu diperhatikan pula, dalam sajak ini Chairil menggunakan kata perahu yang berbeda dengan kapal seperti pada sajak Senja di Pelabuhan Kecil di mana disebutkan Kapal, perahu tiada berlaut. Penggunaan kata perahu menyaran pada adanya ketergantungan objek tersebut pada alam untuk melajukannya.
Akan tetapi keadaan yang tepat buat berlaut itu ternyata membawa kegelisahan pada si aku lirik Chairil. Karena ternyata badai justru berlangsung di dalam batin aku lirik sebab ternyata Ajal memanggil dulu. Pertemuan yang diandaikan melalui laju perahu di laut yang terang dan tenang ternyata tidak terjadi.
Kebalikannnya, pada puisi Toeti Heraty kontras ditunjukkan melalui penggunaan kata kapal di mana tidak lagi perlu angin membantu. Kata kapal ini mesti dipahami sebagai kebalikan dari kata perahu pada sajak Chairil. Hal tersebut juga terungkap lewat penekanan terlalu lancar. Jadi di sini angin membantu bukan lagi pertimbangan untuk melangsungkan sebuah pertemuan. Seolah penekanan itu hendak meninggalkan perahu pada Sajak Chairil.
Kontras lain antara kedua puisi di atas adalah akhir dari pertemuan yang diandaikan. Pada Chairil pertemuan yang diandaikan rupa-rupanya tidak pernah berlangsung. Sebab Ajal memanggul dulu,/Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!. Sedangkan bagi Toeti Heraty kapal dalam puisinya asing dari kegagalan. Dengan kata lain kapal tersebut selalu berhasil mencapai maksudnya, yaitu melangsungkan sebuah pertemuan.
Demikian sepintas pembahasan intertekstual antara Sajak Chairil Anwar dan Toeti Heraty. Mestinya pembahasan ini ditulis terpisah. Namun untuk kali ini, pembahasan ini diselipkan dalam pembahasan puisi Toeti Heraty berjudul Dialog khususnya bait ketiga dengan harapan dapat tergali makna yang utuh dalam pembahasan kali ini. Untuk selanjutnya fokus pembahasan akan kembali pada puisi Toeti Heraty.
Bait keempat merupakan bait terakhir dalam puisi ini. Setelah pada baris ketiga bentuk topografi awal ditinggalkan, bentuk topografi pada bait keempat ini kembali menggunakan pola seperti pada bait pertama dan kedua. Persamaan bentuk ini menyiratkan bahwa yang hendak diungkap dalam bait ini adalah mereka yang sama seperti pada bait pertama dan kedua. Akan tetapi keadaan kini telah berbeda seperti sebelumnya. Bait ketiga seolah-olah menjadi pemisah. Ada sesuatu yang bergerak di bait ketiga, yang menyebabkan nuansa pertemuan itu berubah pada bait keempat.
Baris pertama dimulai dengan di atas meja kini terang. Baris ini mengungkap frasa yang sama dengan awal puisi. Akan tetapi sekarang telah menjadi terang. Kalau sebelumnya disebutkan bahwa meja yang ada pada awal dan akhir ini bukanlah meja yang sama, kini terbukti sudah. Entah meja siapa yang ditinggalkan, yang pasti sekarang kata dan pandang tidak lagi terhalang oleh sebuah objek seperti pada bait kedua, tapi kini terang/dengan kelangsungan kata dan pandang sebagaimana terungkap.
Begitu juga dengan baris-baris berikutnya bunga-bunga,/telah disingkirkan olehnya menunjukkan nuansa yang berbeda dengan bait-bait awal. Akan tetapi yang patut dpertanyakan adalah kata olehnya: siapakah yang dimaksud dengan ânya pada kata ini? Kalau kita membayangkan pertemuan ini berlangsung antara seorang lelaki dan perempuan¸siapakah di antara keduanya yang telah menyingkirkan bunga-bunga itu?
Saya lebih suka memaknainya sebagai keduanya. Sebagaimana judul puisi ini Dialog, mengandaikan adanya percakapan antara dua orang, maka mereka dalam puisi ini diandaikan saling menyingkirkan penghalang yang menutupi dialog mereka.