Labirin Tak Berujung - Part 2

26 Aug 2016 00:35 10008 Hits 2 Comments
Kelanjutan cerita sebelumnya.

sumber gambar diambil dari google image

 

Kisah sebelumnya : Labirin Tak Berujung - Part 1

 

Rasa Terpendam

 

Bimo tidak dapat tidur. Entah sudah berapa ratus kali ia memejamkan mata, bahkan mungkin sudah lebih dari seribu kali ia menghitung domba yang loncat pagar di alam fikirannya, namun Bimo tak jua terbuai di alam mimpi. Pulau kapuk itu terasa jauh dilampaui.

Akhirnya Bimo tahu juga dari ibunya yang menelepon dia malam-malam demi memberitahukan kepadanya kalau Dira sudah menikah. Senda gurau yang sempat tercipta dengan sahabat-sahabatnya saat itu telah dirusak oleh kisah bahagia Dira dan Ario, yang justru tidak ingin didengar Bimo.

Bimo merasa disakiti Dira. Ia begitu mencintai Dira, tapi Dira melakukan sebaliknya. Bimo memang tidak pernah mengungkapkan perasaannya ini secara langsung kepada sang pujaan, karena ia berprinsip, mengapa harus diungkapkan dengan kata-kata, jika dari perbuatan sudah menunjukkan perasaan yang sebenarnya.

Harus diakui Bimo, kalau itu memang kelemahan terbesarnya. Ia bukan Don Juan yang puitis dan pandai merayu. Ia juga bukan playboy yang biasa mengibuli perempuan-perempuan seenak dewe. Ia bahkan merasa heran kenapa justru banyak wanita yang senang dan terbuai dengan rayuan gombal dari tipe lelaki seperti itu, sementara orang-orang jujur seperti dirinya terabaikan.

Bimo memutuskan keluar dari tendanya. Otaknya yang panas perlu didinginkan oleh udara malam di kaki gunung yang dingin menusuk. Sambil menghisap rokok kreteknya dalam-dalam, ia membiarkan rasa frustrasi keluar dari tubuhnya. Ia mencoba melupakan Dira, karena toh Dira sudah jadi milik orang lain.

 

“Belum tidur kau Bim?” Suara berat dengan logat Batak yang khas mengganggu lamunan kesendirian Bimo.

“Oh, kau Sar. Ngagetin aja. Belum ngantuk bro.” Bimo menoleh ke arah sahabat kentalnya yang bernama Binsar.

“Aku tau. Kau pasti lagi mikirin Dira kan? Haaa, betul kan?”

“Sok tahu kau. Ngapain juga mikirin dia. Dira kan udah kawin, Sar.”

“Aaakh, yang betul kau? Kau koq nggak datang? Tak mungkin kau tak diundang.”

“Emang aku nggak tau bro. Aku ya baru tau hari ini, dari ibu yang nelpon tadi.”

“Alamak! Sadis nian si cantik itu ya! Nggak nyangka aku.”

“Hahaha! Yah, sebenarnya ibu juga yang salah. Undangannya sebenarnya sudah dikirim ke rumah tiga hari yang lalu. Ibu lupa, baru hari ini dia ingat.”

“Koq gak dikirim ke apartemen kau? Sudah kau tanya ke Satpam? Jangan-jangan dia lupa juga kayak Mamak kau!”

“Hahaha! Yah, itu yang aku tidak mengerti, Sar. Sulit sekali memang memahami dia.”

Gantian Binsar yang tertawa. “Hahaha! Kau yang tidak mengerti dia. Sudah kubilang kan dari dulu, dari jaman kuliah dulu, Tembak Bim! Sebelum orang lain yang tembak dia! Tapi nggak juga kau tembak. Masih ingat kau kan waktu itu aku bilang begitu?”

“Ya, tapi untuk apa harus begituan Sar? Walaupun aku nggak mengungkapkan dengan kata-kata, tapi aku kan selalu ada saat dia membutuhkan. Aku datang waktu ia suruh aku ke tempat kos-nya, kita jalan bareng, nonton bareng, bahkan belajar bareng. Apa itu nggak cukup menunjukkan perhatianku padanya?”

“Nah, itulah kau. Bandel kali kalau kubilang. Nggak cukup bro. Kau tetap harus sampaikan perasaan kau itu, dengan kata-kata. Baru jelas buat Dira, begitu!”

Bimo terpaku. Diam-diam dia merasa menyesal, mengapa dulu tidak mengungkapkan perasaan sayangnya ke Dira. Sekarang sudah terlambat, ia harus melupakan semua kenangan manis itu.

Bimo membuang jauh-jauh batang rokok yang sedari tadi dihisapnya, seolah-olah sebagai isyarat ia membuang penyesalan itu jauh-jauh. Ia memasukkan kedua tangan ke sakunya, tatapan matanya kosong memandang langit.

Binsar mendekati dan menepuk pundak Bimo pelan. “Yah, begitulah Bim. Apa boleh buat, taik kambing bulat-bulat. Tak guna lagi kau sesali. Lagipula masih banyak cewek-cewek cantik diluar sana yang bisa kau kejar, meski... mereka juga belum tentu mau sama kau, tapi... setidaknya nggak usah lagi kau pikirkan si Dira itu lah...”

Bimo melengos mendengar kalimat terakhir Binsar, namun hatinya yang terdalam mengiyakan. Ia memang harus melupakan Dira.

 

Dalam Labirin Cinta - Part 2

sumber gambar diambil dari google image

 

 

Tiga tahun kemudian

 

Tak terasa sudah, bahtera pernikahan Ario dan Dira telah berjalan tiga tahun. Suka dan duka perkawinan telah mereka rasakan bersama. Berbagai peristiwa juga telah menghiasi lika-liku rumah tangga mereka. Gelak dan tawa selalu hadir dalam setiap perbincangan mereka. Kadang ada pertengkaran, namun semua masalah dapat mereka atasi.

Meskipun begitu, mereka berdua ternyata harus bersabar dalam menantikan kehadiran sang buah hati. Kehadiran seorang anak dalam bahtera setiap rumah tangga tentunya sangat diharapkan setiap pasangan suami istri, tak terkecuali mereka.

Tanpa kehadiran seorang anak, rasanya belum lengkap buat mereka. Terutama buat Ario. Sebagai seorang dokter ahli kandungan, dimata orang awam rasanya janggal jika ia justru belum memiliki anak. Tapi begitulah kenyataannya.

Telah berbagai cara mereka tempuh, bahkan dengan pengobatan tradisional sekalipun, namun hasil akhir selalu berakhir nihil.

Sampai pada suatu ketika...

 

“Diraaa, koq nggak bilang kalau mau datang kemari? Apa kabar sayaaang?” Mama-nya Dira kaget sekaligus berteriak senang begitu melihat anak perempuan satu-satunya datang menjenguknya tanpa memberitahu lebih dahulu.

“Mamaaa, iya ma biar surprise...” Mereka berdua berpelukan.

“Mama sehat kan?”

“Sehat, papa-mu juga sehat. Mana Ario, koq nggak ikut?”

“Nggak ma, Ario nggak bisa ikut, biasalah sibuk dengan pasien-pasiennya. Tapi dia  sudah tahu koq ma, kalau aku mau kemari. Papa mana ma?”

“Ada di dalam. Paa... ada Dira pa...”

“Diraaa...”

“Papaaa...” Mereka berdua berpelukan saling melepas rindu.

 

Singkat cerita, kini Dira berada sendiri di kamarnya. Kamar yang selama ini sebagai tempat ia melepaskan lelah dan sekaligus sebagai teman yang menemani kesehariannya. Begitu banyak kenangan yang pernah tercipta disini.

Dira mulai kembali membuka album foto miliknya. Sebentar-sebentar ia tersenyum, sebentar kemudian ia tertawa. Berbagai kenangan manis yang ia lihat di foto itu seolah-olah membuka alam fikirannya kembali terbang kesana. Ia sangat menikmatinya.

Lama Dira menikmati momen tersebut, sampai akhirnya matanya tertuju pada sebuah foto yang kembali melambungkan fikirannya kepada sebuah kisah cinta masa lalu, sebuah labirin cinta yang tak berujung. 

 

Dalam Labirin Cinta - Part 2

sumber gambar diambil dari google image

 

Ia memandang laki-laki itu dengan lekat. Masih teringat jelas tatapan matanya yang tajam dan senyum manisnya yang mempesona, persis seperti yang dia lihat di foto tersebut.

Seorang pria yang pernah mengisi hari-harinya lebih berwarna namun justru tidak pernah ia miliki. Seorang pria yang pernah menjadi idamannya namun tidak pernah ia rengkuh. Kekecewaan kembali hadir karena keinginan tulus ingin memiliki laki-laki itu sepenuhnya tidak pernah menjadi kenyataan. Luka itu menganga kembali.

Dira menutup lembaran album itu. Namun semenit kemudian ia membukanya kembali. Antara benci dan rindu kembali hadir. Perasaannya berkecamuk. Ingin ia melupakan lelaki itu, namun semakin keras ia mencoba melupakannya, semakin membuat ia ingin tahu keberadaan lelaki itu.

"Seperti apa ya dia sekarang? Apakah sudah berkeluarga? Istrinya pasti cantik, anaknya pasti lucu..." Begitulah sejumlah pertanyaan muncul dan berkecamuk di alam fikirannya. Hasrat penasarannya mulai bangkit menggebu. Ia benar-benar ingin tahu.

 

"Tok, tok!" Bunyi ketukan pintu membuyarkan lamunan Dira.

"Hai!" 

"Oh, hai Satriaaa!! Adikku yang ganteengg!!!"

“Apa kabar kakakku yang cantik. Wah, tambah cantik aja nih.” Mereka berpelukan hangat.

“Baiiikkk, duuhh... sudah lama banget ya kita nggak ketemu. Terakhir kapan ya kita ketemu?”

“Mmmm... lebaran tahun kemarin kayaknya ya kak. Nggak terasa ya sudah setahun ternyata.”

“Iya, waktu berjalan begitu cepat. Kamu sendiri bagaimana kabarnya? Kapan nih merit?”

“Bisa di-skip nggak pertanyaan yang terakhir? Malas jawabnya.” Wajah Satria mendadak jelek. Mulutnya manyun.

“Hahaha!! Ngambek nih yeee... iya deh nggak nanya lagi.” Dira tertawa lepas melihat rupa adiknya yang merengut. Ia menempelkan telunjuknya ke hidung adiknya.

“Kakak ngapain kemari kak? Tumben, kemari nggak bilang-bilang.”

“Boleh dong, sekali-sekali kasih surprise, biar seru, hahaha!” Tawa Dira kembali menggema.

“Serius nih, nggak ada apa-apa?” Satria balik menggoda.

“Iya, serius! Nggak ada apa-apa koq. Aku hanya rindu kalian bertiga. Papa, mama, kamu. Senang rasanya kalau sudah kemari.”

“Ya sudah kalau begitu. Satria juga senang kalau tidak ada masalah. Oya, kakak sedang apa sekarang?”

Aku sedang lihat-lihat album foto. Ini kamu kan yang sedang main drum?”

“Iya itu aku. Kakak masih ingat kan dengan teman-teman band Satria?”

“Mmmm, lupa... hahaha!”

“Tapi kalau yang ini masih ingat kan?” Telunjuk Satria mengarah ke satu sosok yang sedang memegang gitar sambil bernyanyi.

Seketika Dira terdiam. Ia tahu tapi tidak bisa menjawab. Inilah sosok yang sejak tadi ia lihat, yang sejak tadi ia bayangkan.

“Masih kenal nggak?” Satria kembali bertanya. Dira tidak menjawab, ia hanya mengangguk.

“Cieee, kelihatannya CLBK nih?”

“Husshh, ada-ada saja. Kakak sudah merit, Satria. Nggak mungkin dong seperti itu.”

“Hahaha! Becanda kak!”

“Kamu tahu kabarnya sekarang?”

“Kabarnya dia? Nggak tahu lagi kalau sekarang kak. Tapi kabar terakhir yang Satria tahu, ia pengusaha kafe, kak.”

“Ohh, gitu ya. Alamatnya masih yang lama kan?”

“Dia sudah nggak tinggal di apartemen lagi, kak. Ia tinggal dengan ibunya sekarang, di rumahnya yang lama. Ayahnya sudah setahun yang lalu wafat. Itu yang terakhir Satria tahu.”

Dira terdiam, ia hanya memandangi wajah adiknya, serius mendengar penjelasannya.

“Sekitar tiga bulan yang lalu, dia telepon Satria, ngajak ngamen di kafenya. Kafenya baru opening saat itu. Disitulah Satria ketemu dengannya, juga dengan teman-teman band yang lain.”

Dira masih setia mendengarkan.

“Setelah perform, kami masih cerita panjang lebar, biasalah melepas rindu. Nanyain kabar masing-masing. Disitulah Satria baru tahu kalau dia ternyata belum merit. Syukur, ada teman, hahaha!” Satria tertawa senang, ia merasa lucu sendiri dengan perkataannya.

“Husshh, kamu ini! Nggak boleh gitu!” Dira menepuk pundak Satria. Satria melanjutkan tawanya.

“Jadi dia belum nikah?”

Satria menggelengkan kepalanya. “Dia... menanyakan kakak juga...”

Mendadak jantung Dira berdegup kencang. Darahnya berdesir. Ia tidak tahu mengapa tiba-tiba perasaannya seperti ini, tapi ia tidak mampu menepis rasa itu.

“Terus... kamu bilang apa?”

“Ya Satria bilang kalau kakak sudah nikah dengan dokter dan tinggal di Surabaya.”

“Terus... dia bilang...”

“Dia bilang......, nggak ada!”

“Ha?”

“Iya, nggak ada. Diam saja. Kakak kayak nggak tahu dia saja. Dia kan orangnya jarang ngomong.”

Dira tersenyum hambar. Yah, sudah diduga, pikir Dira dalam hati.

“Kenapa? Kakak mau jumpa ya?”

Pertanyaan Satria kembali mengagetkan Dira.

“Ahh, nggak. Ngapain?”

“Kirain. Kalau mau ke kafenya, Satria tahu koq di mana.”

“Ohh, nggak usah. Lain kali saja. Lagipula kakak nggak lama kok di sini.”

“Oke, kak. Nggak apa-apa.”

“Kakak sendiri kemari sebenarnya mau ketemu temannya Ario, dokter ahli kandungan juga. Katanya pasiennya banyak yang berhasil. Yah, kenapa nggak dicoba. Siapa tahu kakak juga berhasil.”

“Oohh, gitu. Semoga ya kak.”

“Thanks.”

“Oya kak. Aku mandi dulu yah. Sudah gatal nih badan. Minta disabunin.Hahaha!”

“Dasar kamu! Ya sudah, sana!”

Tak lama, Satria sudah meninggalkan kamar kakaknya. Dira pun kembali sendiri. Ia mengamati lembaran album foto yang masih terbuka di lembaran yang sama.

Matanya tertuju pada satu wajah. Wajah laki-laki yang sempat diperbincangkan bersama adiknya. Wajah yang sempat membuat darahnya kembali berdesir. Wajah yang sempat singgah dihatinya. Wajah yang masih rupawan. Wajah yang bernama ....

 

Bimo.

 

Tags

About The Author

Arya Janson Medianta 47
Ordinary

Arya Janson Medianta

0813 7652 0559 (WA) Arya_janson@yahoo.com
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel