Ziarah

16 Aug 2016 08:15 2670 Hits 5 Comments
kisah tentang seorang ibu

Ketika datang lagi satu setengah tahun kemudian, kubur ayah masih terawat. Tidak nampak rumput berkeliaran di sana. Mawar merah menghitam di atas tanah kering musim kemarau yang panjang. Pohon kamboja yang dulu di tanam, kini tingginya lebih dari dua meter. Menaungi kubur ayah.

Ibu membayar juru kunci secara rutin untuk merawat kubur ayah–entah bagaimana ibu menyisihkan uang untuk itu. Pilu sesaat mendera menyaksikan kubur ayah terawat. Kami, aku dan saudara perempuanku, jarang berziarah kemari. Dan kami tidak pernah berpesan agar ibu menyisihkan uang untuk merawat kubur ayah. Kami meninggalkan kota yang dipilih ayah sebagai pusaranya, menempuh hidup masing-masing. Tinggal ibu yang ada di kota ini. Sendiri saja.

Kami sudah berusaha membujuk ibu untuk tinggal bersama kakak perempuanku di kota asal kami. Tapi ibu menolak. Padahal sudah kami yakinkan bahwa rumah dinas yang sekarang ditinggali harus dikembalikan pada perusahaan. Ibu beralasan bahwa perusahaan mengijinkannya tinggal dengan membayar sewa.

Pada kesempatan lain kami mengemukakan agar ibu bersedia merawat cucunya, anak-anak kakak perempuanku. Tapi ibu tetap tak bergeming. Berat meninggalkan tempat yang telah didiaminya selama hampir tiga puluh tahun. Baginya lebih mudah tinggal bersama segala sesuatu yang sudah dikenal ketimbang memulai hidup di tempat yang baru. Semua yang ada di sekeliling memiliki kenang-kenangan tersendiri. Kalaupun pada akhirnya perusahaan meminta kembali rumah dinas itu, ibu memilih untuk tinggal di rumah yang telah dibeli ayah.

Kami tidak berasal dari kota ini. Kampung halaman kami terletak di antara pesisir selatan dan gunung Kelud. Aku dan kakak perempuanku dilahirkan di sana. Hanya adik perempuanku yang lahir di kota ini.

Pada tahun 80an ayah merantau ke kota ini dan meninggalkan ibu yang saat itu tengah mengandung kakak perempuanku. Setiap bulan ayah selalu pulang menjenguk ibu. Gaji ayah waktu itu belum cukup untuk memboyong ibu ke sana. Hal itu berlangsung sampai aku lahir dan berusia dua tahun. Selama itu, ayah menumpang di rumah saudara perempuannya.

Ketika ibu mengandung adik perempuanku, ayah memboyong kami ke kota ini. Ayah menyewa sebuah kamar milik kenalannya untuk kami tinggali. Letaknya tak jauh dari pelabuhan tempat ayah bekerja. Kecil saja kamar itu. Tapi aku yakin ayah sangat bahagia. Kami bisa berkumpul setiap hari mulai saat itu. Apalagi adik perempuanku akan segera lahir.

Bagi ayah kelahiran adik perempuanku merupakan proses yang mengesankan. Ayah menunggui ibu mulai dari awal proses persalinan hingga bayi perempuan mungilnya menangis keras-keras setelah dilahirkan. Kemudian ayah menanam ari-arinya di halaman rumah yang kami tinggali. Dan pada malam hari ayah turut mendengar tangisnya. Tidak seperti pada kakak perempuanku dan aku.

Ketika usia adik perempuanku tiga tahun, perusahaan mengumumkan bahwa ada sebuah rumah dinas yang bisa ditempati bagi karyawan yang telah diangkat. Ayah membuat pengajuan dan diterima. Meski letaknya hampir 20 kilo dari pelabuhan, paling tidak pengeluaran bulanan untuk ongkos sewa bisa dipangkas. Tempatnya juga tidak jauh dari rumah saudara perempuan ayah. Lagipula tinggal di dalam bilik orang lain, selalu saja ada perasaan tidak enak meski tuan rumah adalah orang yang baik.

Pada masa itu ayah belum memiliki sepeda motor. Ayah harus oper angkutan sebanyak dua kali dan harus berjalan setengah kilo dari rumah menuju jalan besar. Pada sore-sore tertentu, seperti pada tanggal gajian atau tanggal keluarnya jatah uang makan, ibu mengajak kami menjemput ayah di jalan besar itu.

Aku dan kakak perempuanku sering bermain tebak-tebakan: angkot mana yang membawa ayah. Yang kalah harus memberikan sebagian jajan yang akan dibelikan oleh ayah nanti. Sedang adik perempuanku mengikuti saja salah satu dari kami meski seringnya dia tidak mau memberikan bagiannya.

Tapi tidak selalu di antara kami ada yang berhasil keluar menjadi pemenang. Sering juga kami menunggu hingga mendekati maghrib namun ayah belum juga nampak. Kadang ibu mengira angkot yang ditumpangi ayah mogok atau entah karena apa. Sehingga kami menunggu sampai benar-benar berkumandang adzan maghrib. Ayah pulang terlambat karena harus lembur. “Ada kapal pengedokan,” begitu kata ayah.

Suatu ketika ayah pulang dengan menaiki sepeda phoenix. Rangkanya berwarna merah dengan slebor berwarna putih. Sebuah keranjang tergantung di depan stir dan bel kecil di bagian stir sebelah kiri. Dan di bagian belakang, terdapat boncengan tempat duduk. Ayah membeli dari temannya yang kebetulan sedang membutuhkan uang.

Kami senang dengan kehadiran sepeda itu. Kepada teman-teman kami yang sebaya kami banggakan sepeda itu sebagai sesuatu yang tak ternilai. Baik bagian-bagiannya maupun cara mendapatkannya. Sepeda itu, menurut kami, ditakdirkan untuk menjadi bagian dari keluarga kami. Begitu yang sering kami banggakan, menerjemahkan kata-kata ayah yang berbunyi wes rejekine dhewe.

Sepeda itulah yang membawa kami berkeliling pada hari-hari libur sekolah. Aku duduk dibelakang bersama kakak perempuanku. Sedangkan adik perempuanku duduk di keranjang yang digantungkan di belakang stir. Kami sering bertengkar karena berebut dibonceng ayah. Masing-masing dari kami menghendaki dibonceng sendirian saja, terutama aku dan kakak perempuanku. Tidak menyenangkan bagi kami duduk berhimpit-himpitan di boncengan belakang. Dan akhir pertengkaran itu adalah kemarahan ibu. Ibu berkata jika kami terus bertengkar tidak akan ada lagi acara berkeliling. “Gak siji gak kabeh,” begitu katanya.

Menginjak kelas 3 SD barulah ayah memiliki sebuah sepeda motor. Bukan motor baru memang. Tapi dengan sisa-sisa kekuatannya motor itu sanggup membawa kami bertiga, aku dan dua saudara perempuanku berkeliling kota. Seperti sebelumnya adik mendapat tempat istimewa di depan, duduk di atas tangki bensin. Sekarang kami bisa menyaksikan tempat-tempat yang selama ini belum pernah kami kunjungi. Jembatan merah, tugu pahlawan, tunjungan, dan masih banyak lagi yang kami saksikan.

Bagi anak-anak seusia kami, pengalaman ini merupakan hal yang luar biasa. Kami jadi punya cerita untuk dibanggakan pada teman-teman sebaya kami tentang tempat-tempat yang kami kunjungi dan yang mungkin belum mereka tahu. Meski ada saja anak-anak lain yang menganggap hal itu tidak istimewa dan merendahkan pengalaman kami. Biasanya usia mereka lebih tua dari kami.

Tahun berlalu. Keluarga kami makin tumbuh dan tua. Tidak ada kegembiraan berlebih seperti gelar terop pada perayaan khitan, pesta ulang tahun atau pesta pagelaran ngunduh mantu pada perkawinan kakak dan adik perempuanku. Seolah-olah tak ingin dunia mengetahui kami telah berubah.

Selepas SMA kakak perempuanku tidak melanjutkan ke perguruan tinggi meski ayah memaksanya. Dia memilih kembali ke kota asal kami dan bekerja di sana. Meski begitu kelak dia diangkat sebagai pegawai negeri sipil di lingkungan pemerintah daerah di sana–pekerjaan yang menjadi dambaan orang banyak di jaman ini. Sedang adik perempuanku hanya bertahan lima semester di perguruan tinggi. Sesudah itu dia kawin dan pindah mengikuti suaminya. Hanya aku yang meneruskan ke perguruan tinggi dan menamatkannya.

Dalam pada itu ibu terjerat hutang yang tidak diketahui ayah. Suatu ketika datang seorang perempuan ke rumah kami. Dia berteriak-teriak di depan pintu, meminta agar ibu segera mengembalikan uang yang dipinjamnya. Perempuan itu juga meneriakkan bahwa ibu sudah berbulan-bulan tidak pernah mengangsur, kesalahan yang menurut perempuan itu memberinya hak untuk berlaku kasar.

Para tetangga yang mendengar itu melihat dari depan pintu rumah masing-masing. Sebagian dari mereka berjaga-jaga apabila terjadi sesuatu. Ayah yang tidak mengetahui duduk persoalan, meminta perempuan itu untuk masuk ke dalam rumah dan membicarakan permasalahan dengan tenang. Ibu tidak mau menerima perlakuan ayah terhadap perempuan itu begitu saja. Ibu ganti berteriak pada perempuan itu supaya segera keluar dari ruang tamu karena telah berbuat lancang. Tapi posisi ibu dan ayah lemah sehingga perempuan itu balik menghamburkan makian kepada ibu. Pada akhirnya, para tetangga ikut melerai agar pertengkaran tidak berlarut-larut. Para tetangga sudah pada keluar mengerumuni rumah kami. Merasa puas mempermalukan kami perempuan itu pergi sambil terus menghamburkan makiannya.

Kejadian itu benar-benar membuat ayah malu. Para tetangga kanan-kiri merupakan rekan kerja ayah di perusahaan. Kejadian seperti ini cepat atau lambat akan tersebar dan menjadi buah bibir. Orang-orang di perusahaan yang semula tidak tahu akan mendengar bisik-bisik tentang kejadian ini. Begitu juga dengan orang-orang di kampung kami. Bukan tidak mungkin telah timbul cap: penghutang! Pendeknya, pena sudah tergurat, dan cap itu akan terus mengikuti.

Pada hari-hari itu ayah seperti kehilangan semangat hidupnya. Apalagi koperasi perusahaan yang menjadi tempat satu-satunya mencari pinjaman untuk melunasi hutang itu hanya dapat memberikan kurang dari seperempat jumlah hutang yang ada. Itu pun sebagian harus dibayarkan ke koperasi lagi untuk menutup pinjaman sebelumnya: bunga-bunga itu benar-benar menghisap daging ayah.

Ke mana mencari pinjaman sisanya? Di rumah sama sekali tidak ada barang yang berharga. Pun di kampung halaman tidak ada pusaka yang dapat membantu. Tinggal dua buah sepeda motor yang dibeli dengan penuh perjuangan. Itulah yang membantu ayah. Sisanya ayah harus memadamkan harapan melunasi hutang itu sekaligus menanggung malu karena tidak dapat menepati janjinya melunasi hutang dan hidup melalui belas kasihan si pemberi hutang.

Sejak kejadian itu kami menjadi lumpuh. Sepeda motor ibarat kaki yang dapat membawa kita bepergian dengan murah dan cepat. Untuk berhemat –angsuran koperasi telah menunggu di depan mata– ayah berangkat dengan membonceng tetangga. Begitu juga dengan pulangnya. Kadang ayah meminjam sepeda motor rekannya yang kebagian giliran berjaga malam hari. Tapi lama-lama tidak enak juga. Bagaimana pun juga, satu dua kali pertolongan dapat dimaklumi. Selebihnya ayah mencoba berusaha sendiri. Pada akhirnya ayah memutuskan untuk naik angkot.

Beberapa bulan kemudian keadaan mulai membaik. Ayah membeli sepeda motor bekas secara kredit. Satu gaji ayah harus dibagi untuk: keluarga–pangan dan pendidikan, angsuran koperasi perusahaan, angsuran sepeda motor, dan angsuran hutang kepada perempuan itu, dan entah untuk apalagi. Meski begitu ayah berhasil melewati masa-masa itu, seperti yang yang sudah-sudah.

Dua atau tiga tahun kemudian pengajuan pembelian rumah yang diajukan oleh ayah disetujui oleh perusahaan dengan masa angsuran 15 tahun dan beberapa perjanjian kecil. Angsuran akan langsung dipotongkan pada gaji ayah. Waktu itu masa kerja ayah di perusahaan tinggal delapan tahun lagi. Sedangkan masa angsuran sisanya dijanjikan oleh ayah akan dilunasi dengan uang pensiun. Satu keluarga urban telah memiliki rumah tinggal tetap sekarang meski letaknya di daerah perbatasan kota.

Kini ayah telah berbaring di bawah pusara ini. Sebuah serangan tak terduga meremas jantungya di tengah-tengah jam istirahat kerjanya. Sampai di rumah sakit ayah dinyatakan telah meninggal. Ibu mengatakan kepada pihak berwajib bahwa keluarga mengikhlaskan kepergian ayah dan menunjukkan riwayat kesehatan ayah. Penyakit gula menggerogoti saluran jantungnya. Karena itu ibu meminta agar jenazah ayah segera bisa dibawa pulang dan dikebumikan.

Kami, aku dan saudara perempuanku, tiba sesaat sebelum jenazah ayah diberangkatkan. Selama itu para tetangga sudah mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan. Seandainya kami terlambat tentu kami tidak akan sempat mengikuti proses penguburan. Ibu memutuskan jenazah ayah harus segera dikebumikan tanpa perlu menunggu kedatangan keluarga yang lain. Meski begitu dua orang kakak laki-laki ayah beserta keponakannya dari luar kota tiba lebih dulu daripada kami–saudara perempuan ayah yang dulu sudah pindah dari kota ini.

Di pemakaman aku, saudara iparku, beserta bapak mertuaku menurunkan jenazah ayah dibantu saudara-saudara ayah beserta tetangga. Tidak banyak yang aku pikirkan waktu itu. Yang aku tahu ayah harus segera dikebumikan. Bapak mertuaku beradzan sebelum ayah dikuburkan. Kemudian dibantu para tetangga, bergantian kami menganyam tanah untuk menyelimuti ayah.

Ayah meninggal pada senin legi satu agustus dua ribu sebelas. Tepat pada hari pertama bulan ramadhan, persis satu bulan setelah perkawinanku. Lenyap musnah cahaya di langit. Tidak ada pesan yang ditinggalkan kepada kami. Tapi ayah tidak pernah berhenti berharap supaya kelak kami akan menemukan kebahagiaan masing-masing. Keinginan untuk hidup lebih lama bersama cucunya menjadi api yang menghangati doa kami.

Hampir lima tahun ayah berbaring di sana. Sebelum meninggal ayah baru bercucu dua. Kini telah bertambah menjadi lima: satu anak perempuanku. Pusaka yang ditinggalkannya adalah kami: aku dan dua saudara perempuanku dan sebuah rumah yang belum sempat didiaminya. Ibu adalah tema lain yang dipasrahkan kepada kami yang hidup.

Dan tema lain di atas menjadi tujuan ziarahku kali ini. Untuk kesekian kalinya aku akan mengajak ibu untuk bersedia tinggal bersama kakak perempuanku. Satu setengah tahun lalu aku sudah membujuk ibu lagi. Sekali lagi dan sekali lagi akan kubujuk ibu kali ini. Kalau perlu dengan sedikit paksaan. Kami tidak ingin ibu tinggal sendirian di kota ini tanpa ada anak-anaknya yang menjaga. Sedang rumah yang ditinggalkan ayah, bisa disewakan dalam jangka waktu yang agak lama.

Tapi tekadku surut ketika aku telah sampai di depan pintu rumah. Dari semua alasan penolakan yang diberikan oleh ibu, kami tidak ingin mendengar ibu berkata: aku ingin dikubur di samping suamiku.

Surabaya, 04 november 2015

Tags

About The Author

Chandra Krisnawan 24
Novice

Chandra Krisnawan

Buruh logistik yang tinggal di surabaya
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel